Baper 28

97 6 1
                                    

Sudah Lima hari berselang. Tapi Alandia belum bertemu dengan Dewa ataupun Raka. Raka yang katanya saat kelulusan akan menemui Alan, tapi apa? Hanya janji palsu. Bahkan saat Alan menanyainya Balik, dengan mudahnya Raka berkata "maaf Lan, aku masih Banyak kerjaan." Simpel banget ya jadi cowok. Gampang ngingkari janji. Lebih mentingin kerjaan, game, atau apapun yang jadi kesenangannya.

Lain halnya dengan Dewa. Setelah percakapan singkat kemarin, sepertinya Dewa menarik diri dari Alan. Entah apa maksudnya. Dihubungi pun tak bisa. Kemana perginya anak itu? Bahkan Alan sempat ke rumah Dewa untuk mecarinya. Tapi nihil. Nenek bilang, Dewa sedang ada kepentingan di luar. Dan beberapa hari ini pulang agak kemalaman.

Alan frustasi. Dewa dan Raka sama saja. Sama-sama membuatnya kesal. Sama-sama membuatnya sepi. Dan sama-sama membuatnya..... Rindu.

                         *********

"Lan ada temennya itu di depan."

"Siapa bun?"

"Gak tau sih, tadi bunda cuma liat sekilas. Samperin dulu nak."

Alan berdiri dari posisi nyamannya. Setengah tak rela tapi akhirnya keluar juga.

"Woii Lan.. Lama Amat sih.."

"Lho, elo. Tumbenan. Mana yang lain?"

"Ya gak ada lah. Orang gue datengnya sendiri trus lo malah nanya yang lain. Parah banget sih."

Iya, dia kiki. Salah satu teman alan saat SMA. Walaupun dekat, tapi kini mereka tak selalu bertemu.

Jujur saja, sebenarnya hari ini Alan sedang tak ingin dikunjungi siapapun. Ia masih kesal dengan Raka dan Dewa. Tapi tiba-tiba saja Kiki datang ke rumahnya. Mau apa?

"Lan, Bima udah tuga hari dirawat di rumah sakit. Makanya gue di suruh kesini nanyain lo."

"Bima sakit apa Ki? Serius lo? Kok gak bilang?"

"Gimana gue mau bilang kalo hp lo gak pernah aktif?"

Dan alan teringat. Memang akhir-akhir ini ia jarang sekali mengaktifkan ponselnya. Katakanlah dia ingin balas dendam jika nanti ada salah satu diantara Raka atau Dewa yang mencarinya.

"Trus sekarang Bima dimana?"

"Dirumah sakit. Dan gue mau ngajak lo ke rumah sakit. Bisa?"

"OK tunggu, gue ganti baju. Lima menit."

Alan berlari menuju kamarnya. Dan benar, lima menit berikutnya ia telah menemui kiki dan siap untuk pergi. Tak lupa berpamitan dengan bunda.  Kini kiki dan Alan sudah berada diatas motor yang di kendarai. Melaju stabil menuju rumah sakit dimana Bima di rawat. Tak jauh memang, lima jelas menit perjalanan lebih kurang.

                       ************

"Biiiimmmmm... Lo sakit apa?"

Alan segera berlari menuju Bima tanpa menghiraukan teman-temannya yang lain. Sambil meletakkan sekantong apel di nakas sebelah tempat tidur Bima.

"Ya elaahh... Dicuekin kita. Mentang-mentang Bima yang sakit." Celetuk Anton.

Alan hanya melirik. Dan kemudian menghiraukan perkataan Anton.

"Biimm, kok bisa sih dirawat gini?"

"Ya bisalah. Namanya jug manusia." Kali ini giliran kiki yang menjahili.

Entahlah terkadang Alan sayang sekali dengan teman-teman ajaibnya ini. Tapi disisi lain mereka selalu saja sukses membuat Alan kesal.

Sudah hampir dua puluh menit Alandia di sana. Mereka hanya berbincang. Seperti tak ada yang sakit. Gelak tawa tak hentinya terdengar dari ruang rawat Bima. Mungkin memang benar, teman adalah obat. Bahkan Bima pun ikut tertawa mendengar cerita konyol teman-temannya. Bahkan cerita konyol yang hampir setiap hari diulang-ulang oleh kiki. Tapi tetap saja, mereka tertawa.

Seseorang mengetuk pintu dr arah luar. Sebelumnya tadi, ibu Bima memang yang menjaga Bima sejak dirawat. Tapi kini, beliau sedang keluar dan memeli beberapa kebutuhan toiletries.

"Sini gue aja yang buka pintunya. Mungkin ibunya Bima." Alan yang tadinya duduk di ranjang Bima kini berjalan menuju pintu.

Pintu terbuka, tapi Alan terkejut. Melihat seseorang lelaki yang kini membelakanginya. Dia familiar bagi Alan. Sangat familiar. Lelaki yang di tunggu-tunggunya sejak Acara kelulusan selesai. Lelaki yang seminggu ini membuatnya kesal. Lelaki yang hingga saat ini membuatnya rindu.

Mendengar pintu terbuka, lelaki itu berbalik dan ingin masuk ke ruang rawat inap Bima. Tapi sama seperti alan, ia pun terkejut.

Alan yang sudah dengan pasti melihat wajahnya, segera berlari keluar meninggalkan Bima dan teman-temannya yang lain. Ia menerka-nerka, bagaimana bisa Raka saat ini berada di depan ruang rawat Bima? Bukankah Bima bilang ia tak kenal Raka? Apa yang sebenarnya terjadi?

Alan berlari hingga parkiran, menunggu taksi yang sudah di pesannya sebelumnya. Dan raka kini mengejar Alan menuju parkiran. Ingin menjelaskan semuanya.

"Laann... Alan....."

Alan tak menjawab. Ia hanya berharap semoga taksinya cepat tiba.

"Lan dengerin aku dulu Lan."

Masih tak bergeming. Ia seperti tak mendengar apa-apa. Tapi kini Raka sudah berdiri tepat di sebelah Alan. Ia tau Alan akan Marah.

"Lan, aku minta maaf Lan."

alan masih seperti tak mendengar apa-apa.

Kini raka berdiri tepat di hadapan Alan. Sungguh, Alan kesal. Tapi jauh dalam hatinya ia rindu. Rasanya ia ingin memeluk lelaki ini erat. Erat sekali.

BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang