Baper 12

163 7 10
                                    

"Lan... Aku suka kamu."

"Kenapa?"

"Karna gak ada alasan buat gak suka sama kamu."

Pipinya merah bersemu. Walaupun Raka tidak dapat melihat hal itu. Alan senang, sekaligus meragu di hatinya. Belum pernah bertemu akan selalu menjadi salah satu alasan besar yang mengganjal. Bagaimana bisa saling suka tanpa pernah bertemu. Kalau memang seperti kata Raka mereka selalu bertemu, maka itu tidaklah adil untuk Alan.

"Tapi....."

"Tapi kita belum pernah ketemu?"

Alan mengangguk lemah. Sebelah hatinya berbunga, sebelah lainnya meragu.

"Kita pasti ketemu. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat."

Hening. Alan tak sanggup berkata. Ia ingin bicara tapi rasanya tertahan. Ingin mengatakan 'ya, aku mau' tapi lidahnya kelu.

"Kapan?"

"Soon. Kita akan ketemu. Dan kamu gak harus bertanya-tanya lagi tentang siapa aku. Mengapa aku kenal kamu, dan bagaimana aku bisa suka sama kamu."

Raka memberi sedikit jeda, dan menyambung lagi kata-katanya.

"Aku minta maaf kalau selama ini kamu merasa gak adil. Karna aku tau kamu akan merasa seperti itu. Gak adil karena aku sudah kenal kamu lebih dulu. Gak adil karna kita hanya bisa berhubungan melalui telfon."

"Tapi, gimana kalau kita ketemu dan keadaan berubah jadi... awkward? Gimana kalau kita ketemu dan kamu gak suka sama aku. Atauu... Malah aku yang menjauh dari kamu."

Nada bicaranya merendah. Kalimat terakhir ia ucapkan dengan berbisik. Tapi yang Alan dengar hanya tawa renyah khas seorang Raka.

"Kalau aku yang menjauh itu gak mungkin. Kita gak akan pernah jauh. Tapi kalau kamu yang menjauh, aku bakal ngejar kamu sampai kamu sadar kalau cuma aku yang bisa di samping kamu."

Alan tak sadar buliran bening menetes jatuh dari sudut matanya. Ia tidak mengira kalau Raka akan berpikir sejauh itu. Dan tentu saja, kalimat-kalimat tersebut sukses membuatnya semakin dan akan terus menyukai Raka.

Setiap harinya Alan selalu berpikir tentang Raka. Tentang perasaannya. Tentang hubungan asmaranya. Semua terasa rumit. Bagaimana bisa ia menyukai Raka?

                          **************

Dewa's POV

"Perasaan gue makin gak karuan. Setiap gue udah niat buat menghubungi Alan, tapi gue malah dengan begonya gak berani buat ngetik satu katapun. Dewa, lo kenapa jadi cemen begini sih? Udah lama lo merhatiin dia. Udah lama rasa lo ada buat dia. Dan sekarang? Lo malah bikin Alan benci sama lo. Benci karena lo selalu acuh dan cuek sama dia. Selalu berperan seolah-olah lo gak suka, nyatanya lo cinta sama dia. Selalu berlagak lo benci dia, sampai akhirnya sekarang dia yang benci lo."

Dewa termenung diatas kursi yang berada di balkon kamarnya. Kakinya terangkat, menyilang dan tangannya menumpu kepada kedua kakinya. Ia menyandarkan dagu dan menghadap ke arah langit yang saat ini di penuhi bintang. Dewa mencaci dirinya sendiri. Mengakui kebodohannya. Sudah cukup rasanya ia menahan diri untuk berperan menjadi pribadi yang dingin. Ia ingin Alan yang dulu. Yang kemana-mana selalu di sampingnya.

Jujur, Dewa mengakui kebodohannya. Kebodohan yang membuatnya malah menjauh dari Alan. Dewa salah strategi semenjak awal. Niatnya untuk mencuri perhatian Alan, malah menjadi bumerang baginya. Dan kini ia sadar, tak ada lagi yang harus ia tutupi. Rasanya semakin besar dan membesar kepada gadis berparas manis tersebut.

Terkadang Dewa berpikir, bagaimana bisa Alandia tidak ingat sedikitpun akan keberadaannya. Tidak bisa mengingat barang sedetikpun kalau dulu mereka pernah bersama. Bersama semenjak kecilnya. Bermain bersama, bersekolah bersama, dan saling menjaga. Alandia, si gadis manis yang terkesan tomboy, cuek, tapi dia tetaplah gadis manis yang selalu menjadi pujaan Dewa.

Lewat sudah tiga jam Dewa merenung. Duduk di bawah remangnya sinar bulan. Tulangnya merasakan dingin, diterpa angin malam berhembus. Hatinya? Tak ada yang tau. Apakah terang seperti bulan yang menemaninya saat ini, ataukah seperti langit malam yang kelam dan kosong tanpa adanya bintang diatas sana. Cukup dirinya yang tau.

Kini Dewa beranjak dari posisinya. Memilih untuk meringkuk di Balik selimut hangat di dalam kamarnya. Terlelap, dan membiarkan semua kegundahannya melebur bersama mimpi yang akan mendatanginya.

BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang