Baper 10

176 10 5
                                    

Baper itu 11-12 dengan sensitif

"Arigetasdotcom"

Matahari mulai menyengat kulit. Semua siswa siswi sedang berbaris rapi Beriringan berdasarkan Kelas mereka. Upacara bendera saat ini sedang berlangsung. Lagu Indonesia Raya berkumandang. Bendera pun hampir tiba di puncak tiang. Walaupun upacara berjalan dengan khidmat, tak sedikit pula siswa siswi yang mencuri-curi kesempatan untuk berbincang satu dan yang lainnya. Terlebih pada barisan belakang. Untungnya tidak dengan Alandia. Ia memilih untuk tidak berdiri di barisan belakang. Tapi sialnya, Alan berdiri berdampingan dengan Dewa. Dewa si manusia kulkas yang sombong, menurutnya. Jangankan untuk sekedar bertukar sapa, bertatap pun Alan enggan dibuatnya. 

Semua terasa asing, dengan Dewa di sebelahnya. Alandia mulai tak konsentrasi. Ia merasakan pening di kepalanya. Semua terasa berputar. Seketika pandangannya mengabur. Gelap.

                             ************

"Lan.. Lan.. Lo gak papa?"

Alan mulai membuka mata saat mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Pandangannya kabur, membuat ia mengerjap. Semakin lama suara itu semakin jelas. Begitu juga dengan pandangannya. Alan menoleh ke kanan, mendapati seseorang yang sedang menjaganya di UKS sekolah. Alan menjauhkan kepala. Tak menyangka dengan siapa ia saat ini.

Ya, dia Dewa. Alan terkejut. Mau apa Dewa menungguinya disini? Kemana teman-temannya? Anggota PMR? Dokter jaga? Alan menghembus napasnya kasar.

"Kenapa lo disini?" Ucapnya lemah.

"Temen-temen lo lagi ada ulangan. Dan anggota PMR ataupun dokter jaga juga tadi udah pergi." Dewa sedikit tersenyum. Membuat Alan merasakan hangat didadanya. Tapi tak lama, ia menepis rasa. Ini Dewa. Cowok yang selama ini disukainya secara diam-diam, tapi juga menggugurkan rasa karena sifatnya pada Alandia.

Alan tak habis fikir. Mengapa Dewa tiba-tiba terlihat panik saat ini? Apakah dia juga punya rasa yang sama? Kalau memang iya, mengapa selama ini Dewa berlaku demikian?

Alan mengernyit. Banyak hal yang saat ini dipikirkannya. Tentang perasaannya, tentang hubungannya dengan Raka, dan juga teman-temannya. Ia mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Tapi tak sanggup. Alan memegang kepalanya yang masih terasa pening dan lemas disekujur badannya.

"Gak usah duduk dulu. Lo masih lemes."

Tapi Alan tak mengacuhkan perkataan Dewa. Ia tetap saja ingin bangkit dan kembali ke kelas. Sekuat apa Alan ingin meninggalkan ruangan ini, sekuat itu pula Dewa melarang.

"Gak usah larang gue. Gue mau balik ke kelas." Kukuhnya.

"Lo tunggu disini, gue mau ngasih surat izin lo ke meja piket."

Alan terdiam. Percuma rasanya melawan manusia keras kepala seperti Dewa. Siapa dia? Dengan seenaknya melarang bahkan memerintah Alan seenak hidupnya.

                         **************

Dewa berjalan menyusuri lorong teras sekolah. Mengantarkan secarik surat untuk Alandia. Setelah mendapatkan tanda tangan pada Surat tersebut, Dewa memasuki kelas Alandia. Memperlihatkan surat kepada pengawas ujian dan segera mengambil tas ransel milik gadis tersebut. Dewa bergegas meninggalkan kelas. Kini ia menuju ke kelasnya sendiri. Memberikan Surat izin dan mengambil ransel miliknya pula.

Dari jauh Dewa melihat Alan berjalan dengan langkah gontai menuju kelasnya. "Dasar keras kepala." Dewa merutuk dan memperbesar langkahnya. Menjemput Alan yang masih terus berjalan kearahnya. Semakin dekat.

"Kan udah gue bilang tunggu di UKS. Lo malah jalan ke kelas."

Alan hanya mendelik ke arah Dewa. Masih dengan kepalanya yang terasa pening.

"Gue anter pulang."

Matanya membulat. Alan hanya menggeleng, menandakan ia tidak ingin mendengarkan kata Dewa.

"Gue ada ulangan. Gue udah belajar semalem." Jawabnya.

"Lo ujian susulan. Dan sekarang lo istirahat dirumah. Ayo, gue anter." Terkesan bossy tapi mampu membuat Alan menurut. Menurut bukan berarti Alan mau saja diperintah oleh Dewa. Tapi ia memilih untuk menahan, karena memang saat ini Alan sudah tidak punya cadangan tenaga untuk melawan Dewa.

Dewa memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Dengan Alan yang masih lemas di belakangnya. Sebelumnya Dewa memberikan jaket miliknya untuk dipakai Alan. Sementara di belakang, Alan membuang gengsinya. Ia melingkarkan tangannya memeluk Dewa. "Sorry, gue pusing banget." Ucapnya. Dewa hanya mengangguk. Tersenyum, tanpa diketahui Alan. Alan menyenderkan kepalanya pada punggung Dewa selama diperjalanan. Hingga akhirnya, Alan sudah berada dirumahnya dan beristirahat.

BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang