"Alhamdulillah kamu udah sadar nak."
"Bunda." Kepalaku masih terasa berat. Bau minyak angin dimana-mana. Membuatku semakin bertambah mual.
"Kamu kenapa sih dek? Bikin bunda panik terus." Ucap bunda sambil menyuguhkan secangkir teh hangat untukku. Raut wajah panik tampak jelas di wajah bunda yang putih.
Aku melihat ke sekeliling. Ramai. Kamarku yang kecil seperti bertambah kecil. Bunda, dan kedua kakakku ada disini. Dan, Dewa? Dia belum pulang? Astaga, aku hanya pingsan. Kepalaku hanya terasa pusing. Tak perlu khawatir seperti ini.
**************
Satu jam yang lalu...
"Bun, Dewa boleh bertanya?"
"Apa nak? Silahkan kalau memang bisa bunda jawab." Senyum ramah masih mengukir bingkai wajah bunda. Menemani Dewa yang saat ini sedang menyesap teh hangat miliknya.
"Apa bunda masih ingat Dewa?"
Bunda menyipitkan matanya. Kening beliau berkerut menandakan berpikir.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya nak Dewa?"
Dewa mengangguk lemah. Bahkan bunda pun tak mengingatnya sama sekali.
"Ini Dewa bun, teman kecilnya Dia. Teman Dia saat berada di taman kanak-kanak." Nadanya merendah. Rasanya Dewa sudah pasrah akan nasibnya yang tak diingat oleh Alandia bahkan bunda.
"Ya ampuunn!? Kamu Dewa? Si Dewa kecil yang selalu nemenin Alan sepedaan di depan rumah?"
Bunda memeluk Dewa dengan hangat. Lama. Dewa pun begitu. Memeluk bunda seperti ia memeluk ibunya sendiri.
"Sudah besar kamu nak. Gagah seperti ayahmu." Dewa hanya tersenyum, tak bisa berkata apa-apa.
"Orang tuamu dimana sekarang nak? Sudah lama bunda gak berkabar dengan mereka."
"Mama dan papa alhamdulillah sehat bun. Sampai dua tahun kedepan papa masih tugas di Sulawesi. Entah kapan akan kembali ke sini."
"Sampaikan salam bunda untuk orang tuamu."
Dewa mengangguk. Hatinya menghangat. Satu titik terang mulai muncul di dalam hidupnya. Dewa semakin yakin akan Alan. Yakin jika dia bisa kembali seperti dulu dengan Alan.
"Lalu, mengapa Dia gak inget Dewa bun?"
Bunda terdiam. Ingatannya kembali ke beberapa tahun yang lalu. Tahun yang saat itu membuatnya hampir kehilangan anak perempuan satu-satunya.
Tiba-tiba saja telpon berdering dengan kencang. Bunda yang saat itu berada di dapur tergesa-gesa untuk segera mengangkat.
"Hallo..."
"Dimana???"
"Baiklah Saya segera kesana."
Tanpa menunggu aba-aba, bunda segera berganti pakaian. Mengambil beberapa helai pakaian untuk Alan dan memasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing. Tak lama berselang taksi pun datang. Dengan tidak tenang, bunda menghubungi ke dua kakak Alan dan Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper
Ficção AdolescenteCewek baper yang bertemu dengan murid baru disekolahnya. Cowok tersebut adalah teman dekatnya semasa kecil. Dewa, begitu dia di panggil. Kembali ke kota dimana dia mengukir kenangan bersama seorang teman kecilnya, Alandia. Dewa berjanji akan selalu...