"Tau gak hari ini gue lagi kesel banget. Banget. Banget. Bad day ever lah pokoknya."
"Kenapa?"
"Gara-gara lo sih. Tumben banget gak nelpon gue pagi-pagi. Kan gue jadi telat bangun. Kesel deh."
"Oh jadi kamu pengen aku bangunin tiap pagi?"
"...."
"Hmm...?"
"Ya gak gitu juga. Maksudnya...."
"Maksudnya apa? Pengen di bangunin kan? Jangan gengsi. Besok aku bangunin deh biar gak telat."
Alan mesem-mesem. Senang, sekaligus malu. Malu tapi mau. Pipinya memerah. Diberi perhatian sedemikian rupa. Alandia merasa memiliki seseorang yang bisa menjadi telinga untuk mendengar keluh kesah dan curahan hatinya. Raka pun demikian. Senang mendengar suara Alan bahagia. Karena tujuan hidupnya memang untuk membuat gadis tersebut bahagia.
Lama mereka berbincang membuat Alandia semakin penasaran dengan sosok Raka. Ingin bertanya siapa Raka, ingin bertanya bagaimana Raka bisa mengenal dirinya. Bagaimana rupa Raka yang selama ini hanya ia kenal suaranya. Suara berat yang tegas. Apakah rupanya akan setampan jika dinilai dari suaranya? Alan mencoba mengorek informasi lebih dalam tentang Raka.
"Ka, gue boleh nanya?"
"Silahkan.."
"Apapun?"
"Hmm.."
"Lo kok bisa tiba-tiba ngubungin gue?" Tanyanya ragu. "Jangan bilang lo ngetik nomer ngasal kaya orang-orang rese' yang pengen kenalan." Alan hanya mendengar tawa dari seberang sana. Namun tak lama. Raka kembali menjawab pertanyaan Alan tersebut dengan santai.
"Gak kok, aku emang sengaja cari tau nomer ponsel kamu. Aku tau kamu. Tapi mungkin kamu gak tau aku."
Raka menjawab ringan. Sementara Alan merasa terdiam mendengar setiap kata dari jawaban Raka. Jawaban dengan nada yang membuat penasaran Alan menjadi berkali-kali lipat.
Cerita mengalir dari mulut masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan ringan hingga berat terlontar begitu saja dari bibir mungil Alandia. Raka pun begitu. Menjawab setiap pertanyaan yang diberikan padanya dengan santai. Tak lupa, Raka pun mulai bertanya tentang pribadi Alan yang mungkin banyak belum ia ketahui.
"Kenapa gue?"
"Karena ada sesuatu hal yang mungkin untuk sekarang ini belum bisa aku jelaskan alasannya."
"Kalau gitu kita ketemuan. Biar lo lebih gampang buat cerita." Alan tersenyum, berharap Raka menyetujui permintaannya untuk saling bertemu. Alan berharap cemas, jika memang Raka ingin bertemu dengannya maka Alan patut cemas. Karena untuk pertama kalinya ia akan bertemu dengan orang asing yang selama ini masuk dihidupnya. Apakah ia bisa terima atau malah Raka yang tidak bisa menerima Alan. Entahlah.
"Aku sering ketemu kamu." Raka menjawab ringan. Membuat Alandia sedikit terkejut dan tak percaya.
"Bohong."
"Serius. Aku hampir setiap hari ketemu kamu."
"Aku gak percaya."
Alan terdiam. "What? Aku? Sejak kapan gue jadi aku-kamu sama Raka. Pasti otak gue salah. Ini sih gak bener." Seru otaknya. Ada apa dengan Alan? Kenapa tiba-tiba dia merasa aneh. Tangannya meremang. Alan merasa ada hal lain Kali ini. Ia seperti di mata-matai. Tapi dalam bentuk perhatian.
"Apa yang bisa bikin kamu percaya?" Tantang Raka dan membuyarkan pikiran Alan.
"Apapun yang bisa yakinin aku kalau kamu memang ketemu aku." Ucapnya ngotot.
"Okay. Tadi pagi kamu masuk kelas dengan kaki pincang karena jatuh. Hmm? Aku salah?"
Alan terdiam. Ia memutar memorinya. Mengingat-ingat siapa saja yang ada di sekitarnya saat kejadian itu. Tapi sayang, Alan gagal. Tak satupun orang yang ia perhatikan. Hanya si sombong Dewa satu-satunya makhluk yang ia lihat pagi itu. Alan menggeleng. Mengenyahkan pikirannya yang menebak kalau Raka adalah Dewa. Tapi ia menolak otaknya. Tidak mungkin kalau Raka adalah Dewa. Mereka adalah dua orang yang sangat berbeda. Bagai langit dan bumi. Dewa dengan sifat angkuhnya, sementara Raka dengan perhatiannya. Tidak mungkin.
"Kamu tau dari mana?"
"Kan aku udah bilang. Tiap hari aku ketemu kamu. Kamunya yang gak percaya."
"......."
"Jadi sekarang udah percaya belum?"
Alan masih terdiam. Masih menerka-nerka siapa Raka sebenarnya. Alan percaya atas ucapan Raka, tapi yang tidak dia percaya adalah bagaimana bisa Raka berada disekitarnya tanpa ia tau.
"One day, kita pasti ketemu. Tapi mungkin belum sekarang."
Alandia merasa dadanya menghangat. Ia semakin tak sabar untuk bertemu dengan Raka. Entah apa jadinya dua orang yang hanya saling kenal lewat aplikasi sosial bertemu dan bertatap muka. Akankah mereka masih merasa akrab seperti biasanya? Ataukah akan sangat canggung? Entahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper
Teen FictionCewek baper yang bertemu dengan murid baru disekolahnya. Cowok tersebut adalah teman dekatnya semasa kecil. Dewa, begitu dia di panggil. Kembali ke kota dimana dia mengukir kenangan bersama seorang teman kecilnya, Alandia. Dewa berjanji akan selalu...