Baper 32

8 1 0
                                    

Alan dan Mila kini berada di aula jurusan. Seperti yang mereka katakan pada Abdi bahwa mereka akan datang setelah semua kegiatan usai. Mereka duduk di bangku paling sudut sebelah Kiri. Sementara di atas pentas sana, Abdi tampak dengan sibuknya mengurusi segala keperluan yang berhubungan dengan rapat malam penutupan ospek.

Mereka sesekali bercanda bahkan bercerita entah tentang apa Saja sambil menunggu rapat di mulai.

Abdi membuka pertemuan ini. Seperti yang Biasa di lakukan di pertemuan-pertemuan perdana, perkenalan adalah salah satunya. Memang tak Banyak anak baru yang di ajak untuk mengisi Acara malam penutupan. Dan beruntunglah Alandia dan Mila berada di sini. Karena walau bagaimanapun, kegiatan penting perdana bagi mereka yang mungkin akan membawa keuntungan lainnya di saat masa perkuliahan nanti. Salah satunya, diajak berorganisasi mungkin? Itu pun jika mereka mau. Karena biasanya setiap mahasiswa tak luput dari kegiatan organisasi untuk mengukur tingkat eksistensi mereka selama berada kampus.

Hampir tiga jam, semua di jelaskan sedetail mungkin oleh abdi. Mila dan Alan hanya terpaku mendengarkan penjelasannya. Sambil sesekali mereka berpandangan dan menerka-nerka terkadang apa yang di maksud oleh Abdi.

"Dan sebelum pertemuan kita ini Saya tutup, Saya minta Tolong kepada teman-teman untuk memberikan data diri di depan sini. Yang berisikan nama, program studi, Nomor ponsel dan alamat."

Lebih kurang seratus orang yang akan berpartisipasi dalam acara penutupan ospek. Untuk susunan Acara sudah ada, tapi belum di pastikan. Dan nantinya akan ada pertemuan kedua, ketiga, bahkan seterusnya hingga malam Acara dimulai.

Pertemuan ini diakhiri oleh Abdi. Dengan adanya Nomor ponsel para peserta, maka Abdi dan pihak panitia akan dengan mudah untuk saling berhubungan.

"Alandia!!!" Pekik seseorang dari belakang.

Alan hanya terus berjalan. Sedikit mengabaikan teriakan tersebut walaupun sebenarnya ia mendengar dengan jelas.

"Lan!! Alandia...!"

Suara itu makin mendekat dari arah belakangnya. Mau tak mau Alan menoleh. Lelaki itu kini sejajar di sebelah kirinya. Berjalan beriringan berdua. Sambil saling melemparkan senyum.

"Kamu pulang sendiri?" Tanyanya.

"Eh Kak Abdi. Iya Kak. Mila udah pulang duluan. Ada perlu katanya."

Abdi mengangguk. Sementara Alan menjadi kikuk.

"Bareng Saya aja."

"Gak usah Kak. Nanti ngerepotin."

"Rumah kamu di mana?"

"Griya anyelir Kak."

"Kita searah. Saya di Pondok Kenanga." Lalu hening.

"Kenanga lho, bukan kenangan." Ucapnya lagi.

Alan tergelak, sementara Abdi mencoba mencairkan suasana. "Kak Abdi bisa aja."

"Jadi, tawaran Saya?"

"Takut ngerepotin. Saya naik ojek online aja Kak. Gak papa kok. Udah Biasa." Ucapnya lagi meyakinkan.

"Sayang uangnya. Bisa di tabung untuk Jajan bakso." Mereka kembali tergelak.

"Jadi?" Lanjut abdi.

"Hmm, ya sudah kalau memang Kak abdi tidak keberatan."

Abdi hanya tersenyum, dan mengajak alan berjalan ke arah parkiran.

Abdi mengaluarkan motor matic hitamnya dari jejeran motor lain yang terparkir di sana. Mengambil helmet dan memberikan yang satunya pada Alan.

"Yuk..."

Alan menaiki motor tersebut. Hening. Hanya suara angin dan klakson kendaraan yang mereka dengarkan.

"Saya boleh tanya sesuatu?" Hingga setengah jalan, abdi membuka suara.

"Boleh, silahkan."

"Kenapa kamu Masuk jurusan ini?"

Klise.

"Entahlah.. Hanya mengikuti naluri." Kemudian mereka kembali hening.

Alan adalah sosok humble tapi terkesan cuek dengan orang baru. Seperti abdi saat ini. Hanya diam. Kecuali abdi yang memulai duluan.

Tak Banyak percakapan mereka. Tapi begitulah. Alan tak terlalu terbuka dengan orang baru. Apalagi lelaki. Entahlah, mungkin bisa dikatakan dia trauma atau apapun itu sebutannya.

"Belok Kiri Kak." Ucap alan.

Abdi membelokkan motornya dan tak jauh dari itu motor tersebut berhenti di salah satu rumah dengan cat putih. Itu rumah Alan.

"Masuk dulu Kak?". Ucap alan basa-basi. Tapi alan lebih berharap untuk abdi langsung pulang saja. Ia merasa tidak karuan saat ini. Ingin langsung Masuk kamar dan beristirahat.

"Gak usah. Lain Kali saja." Ucap abdi sambil melemparkan senyum.

Alan membuka helmet biru tersebut dari kepalanya dan memberikannya  pada Abdi.

"Terima kasih udah nganterin aku."

"You are welcome. Kalo gitu Saya pamit."

Alan mengangguk. "Hati-hati." Ucapnya.

Alan melihat motor itu menjauh. Hingga berbelok dan tak tampak lagi. Alan berjalan menuju pagar rumahnya. Dan menutupnya kembali. Tapi seketika kakinya kaku. Ia melihat seseorang yang beberapa bulan ini menghilang. Melihatnya dari bawah pohon di seberang jalan. Matanya perih, panas. Seperti ingin mengeluarkan sesuatu. Ia berbalik, tapi tetap saja tak tertahan. Air mata itu jatuh tak tertahan. Alan berjalan secepatnya memasuki rumah. Bahkan lupa untuk membaca salam. Ia langsung menuju kamarnya, dan mengunci diri.

Alan menangis. Entah apa yang dirasakannya sedih pasti. Marah juga pasti. Tapi rindu? Itu adalah faktor terbesar yang menyebabkannya berurai air mata saat ini. Katakanlah ia gadis cengeng. Tapi untuk saat ini memang begitu adanya. Ia tak tau harus berbuat apa. Alan hanya bisa menangis hingga ia tertidur tanpa sempat mengganti baju seragamnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang