Tepat pukul tujuh malam. Bunda mengantarkan makan malam untuk Alandia. Sejak setelah makan siang, bunda menyuruh Alan untuk beristirahat saja di kamar. Beliau tau anemia yang diderita anaknya selama ini. Lama tak kambuh, akhirnya hari ini Alandia mendapat gilirannya. Beristirahat sejenak dari semua aktivitas.
"Dewa temenmu nduk?" Tanya bunda.
Alan menggeleng refleks, sambil tetap mengunyah suapan nasi yang diberikan bunda.
"Lho, itu tadi nganterin."
"Dia anak Kelas sebelah bun. Anak baru. Aku gak tau kenapa dia yang nganterin aku pulang."
"Jangan gitu. Dewa anak yang baik kok kalo bunda lihat." Jawab bunda sambil tersenyum.
Dalam hati Alan berbisik. Bagaimana bisa Dewa baik di depan bunda, sementara didepannya saja sangat acuh.
"Ya mungkin karna dia ketemu bunda makanya dia pencitraan. Kalau disekolah sih gak begitu." Alan mendelik. Percakapan ini membuat Nafsu makannya berkurang. Bunda sepertinya tertarik dengan Dewa. Maksudnya, sepertinya menginginkan Alan berteman dengan Dewa. Tapi faktanya, Dewa bukan orang yang tepat untuk diajak berteman.
Sesuap demi sesuap sembari bercakap akhirnya Alan menghabiskan makan malamnya dengan sedikit paksaan dari bunda. Ia pun heran. Bagaimana bisa Dewa terlihat panik saat ia berada di UKS tadi? Bukannya selama ini Dewa terlalu dingin dan terlihat seperti memusuhinya?
Ponsel putihnya bergetar. Sebuah nama yang tak pernah absen menghubungi Alan selama hampir dua bulan ini. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Tapi yang namanya Raka, hingga saat ini belum pernah ia tau wujudnya. Terkadang Raka hanya seperti halusinasi yang membuat rasanya membucah, rindunya menggebu, dan perasaannya tak karuan. Pikiran pun sulit untuk membedakan mana yang nyata, mana yang maya. Semua hampir sama saja.
Setiap malam berbincang. Tawa tak tertahan, senang berada di ujung hati. Bahkan terkadang mengeluarkan unek-unek keluhan hatinya. Bagaimana bisa? Tapi semakin hari, rasa sayangnya semakin besar pada Raka. Walau Raka tak menampakkan wujudnya, tapi dia selalu ada. Ada saat Alan merasa sangat sedih atau tertawa lepas sekalipun. Begitulah mereka. Semua berjalan tanpa kepastian. Tanpa pernah tau, kapankah mereka bertemu. Bertatapan, berpegang tangan.
"Gimana? Udah enakan?"
"Aku gak papa kok. Tenang aja. Everything is fine."
"Kalau fine, kamu gak bakal pingsan tadi pagi."
"Kok kamu tau?"
Hanya tawa ringan yang terdengar dari ujung sana. Membuat Alan semakin dan semakin penasaran dengan sosok Raka.
"Gak perlu aku jawab, kamu juga udah tau jawabannya."
Alan pun ikut tersenyum ringan. "Ya.. Ya.. Ya.. Karna aku selalu ketemu kamu." Jawabnya saat menirukan gaya Raka bertutur.
**************
Selasa, pukul 15.00 wib. Terdengar ketukan pintu depan yang di barengi ucapan salam.
"Assalamualaikum..."
Alan menggeliat dari tidurnya. Ia mendengar, tapi merasa enggan untuk bangkit. Kepalanya masih sedikit pusing. Ketukan kembali terdengar. Lebih keras. Begitu juga dengan Salam. Alan yang merasa terganggu memanggil bunda. Berharap bunda yang akan membukakan pintu untuk tamu-tamu tersebut.
"Bun... Bunda..." Panggilnya lemah. "Ada tamu bun..."
Nihil. Tak ada jawaban. "Buunnnn.." Panggilnya lagi.
Tetap saja suara bunda tak terdengar. Dan pada akhirnya, Alan keluar dari kamarnya. Sebelum menuju pintu depan, Alan mencoba mencari bunda di dapur. Tapi yang di dapatkannya hanya rumah kosong dengan ia seorang.
Alan membukakan pintu tanpa melirik.
"Lama amat sih bukain pintu nya. Panas nih." Ketus Bima pada Alan.
Bima, Putra, kiki, Ari dan Anton segera masuk tanpa disuruh. Alan maklum. Teman-temannya memang begitu. Mereka dekat, seperti tak ada jarak. Setiap mereka bertandang ke rumah Alan sebelumnya pun, mereka akan tetap nyaman. Karena bunda, ayah ataupun saudara-saudara Alan sangat welcome dengan mereka.
Alan beruntung mempunyai keluarga utuh yang harmonis. Orang tua yang selalu mendukung keinginan anak-anaknya dengan positif. Saudara-saudara yang selalu ada kapanpun dan dimanapun. Mereka akur. Bayangan family goal yang di idam-idamkan banyak anak-anak seusianya. Di tambah lagi dengan hadirnya kelima sahabatnya ini. Alan sungguh merasa bersyukur. Bukan hanya merasa selalu dilindungi oleh para lelaki ini, tapi juga sebagai sahabat siaga. Siap antar jaga. Indahnya hidup.
Alan sengaja membuka lebar kedua daun pintu rumahnya. Ia tau, hanya sendiri di rumah. Dalam keadaan lemas, Alan menghempaskan badannya di sofa dan melebur diantara ke lima sahabatnya.
"Gimana Lan, udah enakan?" Anton membuka suara.
"Ya gini deh, gue masih lemes. Masih pusing juga." Alan mengeluarkan ponselnya yang tadi ia bawa saat akan keluar kamar. "Lo pada kalo mau minum, ambil sendiri deh ya." Tambahnya.
"Ambilin kek Lan. Tiap kita kesini perasaan disuruh ambil sendiri mulu. Berasa Lagi makan prasmanan." Celetuk Kiki.
Semua tertawa. Kiki memang paling bisa mencairkan suasana. Selain gaya bicaranya yang kocak, apa yang di ucapkan seperti spontan keluar dari mulutnya, selalu membuat teman-temannya tertawa geli.
Lama mereka menemani Alan yang sendirian dirumah. Hingga bunda sudah kembali ke rumah pun mereka masih disini. Friendship goals. Seperti itulah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper
Teen FictionCewek baper yang bertemu dengan murid baru disekolahnya. Cowok tersebut adalah teman dekatnya semasa kecil. Dewa, begitu dia di panggil. Kembali ke kota dimana dia mengukir kenangan bersama seorang teman kecilnya, Alandia. Dewa berjanji akan selalu...