L.E.O

3.7K 370 23
                                    

H-1 Lebaran!!! Masih ada yang sempat baca Wattpad?? Semoga ada ya. Anggap aja cerita yang nggak seberapa ini THR.

Selamat Lebaran, mohon maaf lahir dan batin!!!

Happy Reading Guys!!!

***

"Aku terlajur rapuh terhadapmu. Dan kamu terlalu malang karena dicintai orang bodoh sepertiku."

***

Aku masih tidak mengerti apa sebenarnya maksud Tuhan menggariskan takdir yang seperti ini padaku. Kenapa aku tidak pernah bisa memiliki hidupku sendiri seperti orang-orang lainnya? Kenapa aku tidak pernah bisa menyerah meskipun saat aku benar-benar sudah lelah? Dan kenapa aku tidak pernah bisa lari dari orang-orang yang merasa memiliki hidupku meskipun aku sudah berusaha berlari sejauh mungkin?

Hampir satu jam aku duduk di halte bis ini tanpa berniat menaiki satupun kendaraan yang sejak tadi berlalu lalang di depanku. Rasanya takdir memang tidak pernah bosan memberikan kejutan yang sangat ampuh untuk menyiksaku.

Sudah seminggu ini aku kabur dari rumah Leo. Hari pertama aku menghilang, suami brengsekku itu terus menerorku dengan menelfonku tanpa henti dan mengirimkan beratus-ratus pesan yang tidak aku tanggapi satupun, sampai aku memilih mematikan handphoneku karena bosan melihat setiap notifikasi darinya.

Aku kira aku bisa lebih tenang setelah itu, tapi nyatanya tubuhku sedang tidak dapat diajak kompromi. Sejak hari kedua aku kabur, aku terus saja mual-mual dan jadi sangat pilih-pilih makanan. Awalnya aku kira hanya masuk angin, namun anehnya gejala itu terus berlangsung sampai hari ini. Hingga tadi pagi aku memutuskan untuk pergi kedokter.

Awalnya tidak ada yang salah, sampai aku dirujuk ke poli kandungan dan berujung dengan vonis hamil dari dokter yang kebetulan sudah aku kenal karena pernah konsultasi saat aku meminta obat pencegah kehamilan saat awal menikah dulu. Aku dan dokter yang memeriksaku sama terkejutnya dengan hal ini. Aku selalu rutin minum pil dan beberapa minggu yang lalu aku masih datang bulan.

Semuanya serba membingungkan sampai dokterku meminta untuk melihat obat yang saat ini aku konsumsi. Botolnya masih sama persis dengan yang pertama kali dia resepkan untukku dulu, kecuali isinya yang tidak lagi pil KB melainkan hanya vitamin biasa. Dan pelakunya sudah pasti suamiku itu. Seperti yang dikatakannya, aku memang tidak akan pernah bisa menyembunyikan apapun darinya. Termasuk diam-diam meminum pil dibelakangnya.

Pantas saja menstruasiku beberapa minggu lalu memang agak berbeda. Biasanya sejak hari pertama sampai hari ketiga intensitas cairan yang aku keluarkan cukup banyak, tapi kemarin yang keluar hanya berupa flek-flek saja selama beberapa hari. Itupun tidak rutin, kadang ada kadang tidak. Dan jangan lupakan hobi tidur dan nafsu makanku yang tidak ada habisnya. Ternyata itu semua adalah efek kehamilanku.

Aku masih larut dalam lamunanku ketika sebuah Lexus hitam sudah berhenti di depanku, sampai pemiliknya keluar dan memanggilku dengan suara beratnya yang sudah seminggu ini tidak aku dengar.

"Ree!"

Aku lagsung menoleh pada pemilik suara itu, dan begitu kesadaranku kembali aku langsung berdiri dan berusaha menjauh dari pria itu.

"Ree!"

"Ree! Tunggu!"

Aku mengabaikan panggilan-panggilan itu dan terus melangkahkan kakiku secepat yang aku bisa. Namun sepertinya kaki panjang pria itu masih dapat mengejarku dengan mudahnya.

"Ree, tunggu. Dengerin aku dulu, please." Dia berhasil menggapai pergelangan tanganku, namun dengan cepat aku tepiskan lagi. Setelah itu aku tidak lagi berjalan cepat, tapi benar-benar berlari agar terhindar dari pria sialan itu. Sudah seminggu ini aku bisa menghindarinya, harusnya hari inipun aku tidak perlu untuk bertemu dengannya. Percayalah sejak hari pertama aku kabur, aku sungguh ingin pergi ke tempat yang sangat jauh dari kota ini andai saja tubuhku baik-baik saja dan tidak harus selalu muntah-muntah.

"Ree, jangan lari!"

Aku tidak peduli dengan panggilan itu, selama dia terus mengejarku maka akupun akan terus berlari. Cukup jauh rasanya aku berlari, sampai aku merasakan nyeri pada perutku. Awalnya masih bisa aku abaikan, tapi lama kelamaan rasa nyeri itu mulai berubah menjadi sakit yang membuatku tidak mampu berjalan dan terduduk di pinggir jalan.

Aku meringis menahan sakit di perutku. Keringat dingin terasa mulai membanjiri tubuhku bersama rasa sakit yang terus saja menceengkram perutku sampai aku merasa semuanya menjadi gelap dan hilang kesadaran.

***

Aku merasakan usapan lembut yang terus menerus di punggung tangan kananku. Terasa tangan itu lebih besar dan hangat dari tanganku sendiri. Aku ingin membuka mata, tapi rasanya sulit sekali seperti ada yang mengganjal di kelopak mataku. Butuh mengerjap beberapa kali bagiku untuk bisa menagkap suasana di sekitarku dengan jelas.

Aku dirumah sakit, dengan tangan kiri terpasang selang infus dan ada beberapa orang lain yang menemaniku dalam kamar rawat yang sepertinya kelas VVIP ini.

"Ree? Kamu bangun sayang? Mau minum?" Leo bertanya lebih dulu padaku. Tidak menjawab, aku hanya mengangguk mengiyakan tawarannya. Karena jujur saja aku merasa sangat haus sekarang.

"Ada yang sakit, nak?" Sekarang gantian Mami yang bertanya setelah aku selesai minum. "Perut kamu masih sakit, sayang?" Aku masih diam saja. Mami terlihat makin khawatir, dia mengusap rambutku pelan. Walau dia selalu menekanku, tapi memang setiap aku sakit apalagi sampai dirawat di rumah sakit Mami akan selalu terlihat sekhawatir itu. Sikapnya akan berubah total dibanding ketika aku sehat-sehat saja. Karena itu dulu aku berfikir untuk sakit terus saja supaya bisa mendapat perhatiannya seperti ini.

"Mommy paggil dokter dulu ya." Ibu mertuaku langsung melesat keluar ruangan. Sepertinya dia cukup panik sampai-sampai lupa jika ada bel di atas tempat tidurku yang bisa digunakan memanggil perawat ataupun dokter keruanganku.

Tidak sampai lima menit ibu mertuaku sudah kembali bersama seorang dokter dan beberapa perawat. Dokter itu menyatakan kondisiku baik-baik saja, begitu juga bayiku. Untungnya aku dibawa kerumah sakit dan ditangani tepat waktu, karena jika terlambat sedikit saja mungkin akan terjadi hal buruk pada bayiku. Walau begitu aku masih harus bed rest sampai kondisi janinku kembali pulih dan kuat.

"Minum lagi, Ree?" Leo membelai pipi kananku dengan dua jarinya. "Atau kamu mau sesuatu?"

"Kamu mau makan, nak? Biar Mami suapin, atau kamu mau makanan yang lain. Mami bisa carikan sekarang. Mau apa, sayang?" Gantian Mami yang bertanya karena aku mengabaikan pertanyaan Leo sebelumnya. Tapi biar adil, aku memilih untuk mengabaikan keduanya.

Aku fikir mereka akan berhenti bicara karena aku diam saja, tapi nyatanya mereka terus saja menawarkan aku banyak hal yang mungkin aku inginkan. Persis seperti sales yang sedang menjual dagangan.

"Aku ngantuk." Dan dua kata itu berhasil menghentikan ocehan Mami dan Leo dengan cepat.

"Ya udah sekarang tidur, aku jagain kamu di sini. Kalau mau sesuatu bilang aja." Leo kembali mengusap tangaku seperti tadi.

Aku memejamkan mata, tidak benar-benar tidur sebenarnya. Hanya mencoba menghindar saja dari orang-orang itu. Sebenarnya aku masih tidak mau berada dekat dan bicara dengan mereka. Harusnya aku usir saja mereka keluar dari ruangan ini, tapi sayangnya aku sudah terlalu lelah untuk bicara pada manusia-manusia itu.

Aku ingin lari dari mereka. Aku tidak ingin menjalani hidupku dengan orang-orang itu berada di sisiku. Tapi bagaimana bisa? Dengan kondisiku yang sekarang akan sangat mustahil jika aku bisa lolos dari cengkraman Leo maupun Mami.

Aku tidak membenci bayi dalam kandunganku. Hanya saja kenapa semua harus terjadi disaat yang seperti ini. Harus lebih menderita bagaimana lagi hidupku. Sekarang saja rasanya hanya tinggal tubuhku saja yang bernyawa, sementara jiwa dan hatiku sudah lumpuh seluruhnya.

Aku hancur, tapi kenyataan masih saja terus mempermainkanku.

*** 

Jangan lupa tinggalkan jejak ya?!!


Your, Mine, UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang