Happy Reading, Guys!!!!!
***
"Aku terlalu takut untuk kehilangan mu. Karna itu aku jadi mencintaimu dengan begitu bodoh. Begitu bodohnya sampai tidak bisa menahan hal yang mungkin bisa melukaimu. Tapi percayalah, tuhan pun tau jika aku benar-benar bisa mati jika tidak memiliki mu lagi."
***
Aku tidak jadi tertidur. Apa yang aku dengar ketika Leo menjawab telepon tadi cukup untuk menghilangkan semua kantuk ku. Sementara Leo tidak kembali ke kamar lagi setelah keluar untuk menelpon tadi.
Perasaanku berkecamuk. Aku ingin marah, menangis, berteriak, memaki dan mungkin tertawa disaat yang bersamaan.
Aku tau Leo mencintaiku. Semua yang dia lakukan selama hampir setahun kami menikah sudah lebih dari cukup untuk membuat aku sadar jika dia begitu mencintaiku. Tapi dengan dia yang diam-diam menerima telepon dari Clara, mau tidak mau perasaan takutku kembali begitu saja.
Aku bukan wanita pencemburu gila yang selalu membatasi suamiku untuk berteman dengan wanita lain. Begitupun dengan Clara. Leo dan Clara berteman, sejak dulu. Jauh sebelum aku mengenal Leo, Clara sudah lebih dulu ada di hidup Leo. Aku tidak membenci Clara. Marah dan kesal iya, tapi tidak sampai membenci. Yang aku benci adalah ketika mereka, Leo dan Clara, membicarakan atau merencanakan sesuatu dibelakangku.
Aku kesal dengan Leo yang diam-diam menyembunyikan masalahnya dengan Clara. Sementara selama ini Leo selalu menceritakan semua hal yang dia alami, termasuk tentang kegiatannya bersama rekan-rekan kerja wanitanya. Atau kadang tentang teman lamanya yang dia temui. Lalu kenapa hanya dengan Clara, dia menyembunyikan apa yang di bicarakannya. Bukannya dia sudah berjanji tidak akan membohongiku lagi? Sebenarnya seberapa besar aku bisa mempercayai Leo?
Sudah hampir jam dua belas siang, berarti sudah hampir dua jam aku melamun tidak tentu arah memikirkan Leo. Aku memutuskan untuk keluar kamar. Perutku sedikit sakit, mungkin sudah waktunya bayiku memimta makan siangnya.
Aku langsung ke dapur dan meminta Bi Neni untuk menyiapkan makanan dan membuatkan susu. Sementara Leo tidak juga kelihatan batang hidungnya sejak tadi.
"Bapak mana, Bi?" Aku bertanya perihal Leo kepada Bi Neni begitu dia menaruh nasi dan beberapa lauk yang menjadi menu siang ini.
"Tadi mau keluar sebentar katanya, Buk."
"Ada bilang dia mau kemana?"
"Nggak, Buk. Bapak cuma pesan kalo Ibuk belum bangun juga sampai jam satu saya disuruh bangunkan Ibuk untuk makan siang."
Aku hanya mengangguk mendengarkan Bi Neni dan mengucapkan terimakasih begitu dia selesai menyiapkan makan siang ku.
Aku tidak begitu ingin makan sebenarnya. Perutku masih agak sakit, ditambah sikap Leo yang mencurigakan. Jadilah nafsu makanku sedikit terhambat. Tapi biar bagaimana pun aku harus tetap makan. Aku tidak mungkin membiarkan bayiku kelaparan hanya karena perasaanku sedang kacau.
Aku hampir selesai makan ketika Leo pulang entah dari mana dan menghampiriku di meja makan. Setelah mengecup kepalaku dia mengambil duduk di sampingku. "Tumben Mama udah bangun duluan. Hari ini agak rajin ya?!"
"Hmm, lapar." Aku memang tidak tidur sebenarnya sejak Leo pergi tadi. "Kamu dari mana? Udah makan?"
"Keluar sebentar. Aku belum makan." Leo mencomot lauk yang masih tersisa di piringku.
"Mau makan sekarang?"
Leo hanya menjawab dengan anggukan kepalanya. Sementara tangan dan mulutnya masih sibuk bekerja untuk melatah lauk di piring makan ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your, Mine, Us
RomanceBagiku cinta itu bodoh. Hanya orang bodoh yang percaya dengan cinta. Dulu, aku seangkuh itu terhadap cinta. Setidaknya sampai aku mengenal dia. Lalu setelah itu, bisa dipastikan akulah orang paling bodoh itu di dunia ini. ~Leo Apa yang membuat seseo...