Beberapa hari, Chika dan Bram terlihat bersama sama. Mulai dari sekolah, sampai ke pulang lagi.
Walau mereka sering bersama, seringkali Farel mengganggu Chika. Tidak perduli ada Bram atau tidak.
Pukul setengah tujuh pagi, Chika keluar kamar dengan seragam yang lengkap.
Sampai di anak tangga terkahir, Chika menyapa. "Pagi Mah, Abang"
Chika mengernyit melihat Bram mengenakan pakaian santai -bukan seragam sekolah.
Chika mengernyit, "Abang gak sekolah?" tanyanya.
Chika mulai merasa khawatir. Bram dan Vany tidak menjawabnya sedikitpun. Mereka hanya memperhatikan Chika dengan sendu.
Bibir Vany melengkung membentuk senyuman, namun senyuman itu adalah bentuk lain dari kesedihan. "Chika, sini bentar" Vany memanggil.
Chika berjalan mendekati ibunya. Ia mulai merasa ada yang tidak beres. Namun, Chika mengabaikan itu semua.
Hati Chika seperti hangus saat Vany memberitahukan hal yang menyebabkan Vany dan Bram terlihat muram pagi ini. "pesawat papah kamu, kecelakaan"
Chika tertawa hambar. Ia tidak percaya, dan tidak akan percaya sampai kapanpun. 15 tahun bukanlah waktu singkat. Tidak ada yang bisa merebut pusat kebahagiaan Chika sejak 15 tahun yang lalu hanya dalam 1 hari. Tidak akan.
Vany meremas telapak tangan Chika, agar anaknya itu sadar. Ini bukan sekedar ilustrasi. Bukan sekedar mimpi di malam hari.
Chika berhenti tertawa. Ia memperhatikan wajah sembab Vany dan Bram bergantian. Tanpa aba aba, Chika berlari memasuki kamar.
Bantingan pintu kamar Chika terdengar sampai lantai bawah. Bram berdiri, wajahnya memerah. "Dasar manja anak itu" Bram menggeram.
Baru saja Bram ingin menghampiri kamar Chika, tapi tangannya ditarik kembali oleh Vany. "Biarkan dia sendiri".
***
Bram mengetuk pelan pintu kamar Chika. Masih terdengat isakan tangis tertahan, padahal sudah lewat 1 jam sejak Chika mengurung diri di kamar. "Chik, mau ikut nyari kabar papah?" Bram bertanya.
Pintu kamar Chika terbuka. Memperlihatkan wajah Chika yang terlalu buruk untuk di lihat.
Air mata Chika kembali mengalir. Ia menghambur kedalam pelukan Bram. Pelukan seorang kakak yang akan menggantikan hangatnya pelukan papah Chika. "Jangan bilang, abang juga bakal ninggalin Chika"
***
"Kenapa mamah bisa mikir kalau pesawat papah kecelakaan?" Chika bertanya. Matanya kosong. Beda sekali dengan otak serta hatinya yang sedari tadi terus mengulang ulang kenangan bersama orang tuanya.
Flashback ( Vany's Point Of View)
Malam kemarin, Aku duduk di meja makan sendiri. Menunggu anak pertamaku -Bram pulang.
Chika -anak terakhirku sudah tidur semenjak 3 jam yang lalu. Maklum, waktu sudah terlalu larut.
Aku membuka pintu utama rumah ini saat mendengar ketukan pelan seseorang di depan rumah.
Aku tersenyum saat melihat Bram berdiri dengan wajah lelah. "Capek ya?" aku bertanya.
Bram mengangguk. Tetapi bibirnya tersenyum. "Iya mah" katanya.
Kami masuk kedalam rumah. Baru saja aku ingin membuatkan makanan untuk Bram. Telfon rumah berbunyi.
Dengan terpogoh pogoh aku mengahampiri telfon tersebut. "Selamat malam. Dengan kediaman Rogiliur. Ada yang bisa di bantu?" Aku memberi sapaan wajib.
Disana, suara angin berhembus terdengar sangat kencang. Suara napas seseorang yang berlari juga memasuki gendang telingaku. "Permisi?" aku memastikan.
Disana, orang itu mengambil napas banyak banyak. "Ibu.. Saya Siska" katanya.
Siska adalah sekretaris suamiku. Rogiliur.
"Ada apa Siska?" aku bertanya.Siska terdiam. Aku kembali menegurnya. Barulah ia kembali berkata. "Ibu.. Maaf memberikan kabar buruk-" ia terdiam. "Pesawat tuan Rogiliur mengalami kecelakaan, bu".
Malam itu, aku merasa bahwa jantungku di cabut ribuan kali. Sakit. Tapi aku tidak bisa merasakan apapun.
Aku ingin berteriak. Tapi aku seperti tidak memiliki mulut. Aku ingin menangis. Tapi tidak ada yang bisa aku keluarkan dari dalam mataku.
Aku mati. Tetapi oksigen tetap memaksa untuk masuk kedalam paru paruku.
***
Punya Instagram? Follow ya
sherina.mp
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me! [ New Version ]
Novela Juvenil[Completed]√ Chika Bramasta Rogiliur. Gadis manis yang terlahir dalam keluarga yang serba ada, menjadikan Chika sosok yang cerewet namun juga cengeng. Menurut Chika, perasaan adalah urusan belakangan, ia membiarkan semuanya berlalu seperti aliran s...