Part 1

5.6K 260 17
                                    

2012

“Kak..,” Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun mengayunkan kedua kakinya dan menunjuk sepasang burung yang bertengger di tali tiang listrik. “kenapa burung itu tidak takut jatuh?”

Tiffany tersenyum lalu menjawab, “Karena mereka percaya mereka bisa terbang.”

Ella hanya manggut-manggut dan melihat sepasang burung yang sudah terbang membentang angkasa. Dia kembali memandangi awan dan mencoba menebak bentuk apa itu.

Setelah selesai menjemur pakaiannya, Tiffany berbalik, “Ayo, masuk.” 

Yuni- Ibu Tiffany dan Ella yang sedang menidurkan bayi dalam gendongannya menatap kedua anaknya yang baru masuk dari belakang rumah. Dia melirik jam lalu bertanya pada Tiffany, “Jam berapa interviewmu?”

“Jam sepuluh.” sahut perempuan berambut hitam legam itu sambil mencuci peralatan bayi. Masih tersisa dua jam lagi untuk walk in interviewnya.  Dia ingin mencoba peruntungannya di salah satu hotel ternama di Jakarta. Apalagi Ella akan masuk SD tahun ini dan pengeluaran mereka akan semakin besar.

“Nanti Ibu yang cuci aja, ntar kamu terlambat.” ujar Yuni kembali.

“Gak papa, Bu. Aku juga udah mau selesai kok.”

“Ella, bantu kakak sana..,”

Ella yang mendengar perintah itu langsung mengambil bangku kecil kemudian naik dan berdiri di samping Tiffany. Dia ikut menyiram botol yang sudah disabuni oleh Tiffany.

Melihat hal itu, Tiffany mencubit pipi tembam Ella. “Ih, adik pintar.” Yang dicubit memekik dan menggerutu. Tiffany terkekeh pelan. Ella lebih dekat dengannya dibanding Ibu mereka. Bahkan sejak Ella lahir pun, dia sudah merasakan adanya kontak batin antara mereka berdua. Seperti, saat itu.

.
.
.
.
.

Tujuh tahun lalu

Di usianya yang baru tujuh belas tahun, Tiffany sudah bekerja sebagai tukang masak di sebuah toko katering.  Kondisi hari itu sangat kacau. Helen, wanita berumur dua puluh tujuh tahun harus melahirkan anak yang dikandungnya di rumah. Matya, Ibu dari Helen segera menutup toko dan menyuruh seluruh pegawainya pulang. Tapi tidak dengan Tiffany, dia disuruh Matya untuk tetap di sana.

Akhirnya, bayi dari rahim Helen berhasil dilahirkan. Saat itulah, semua keputusan yang Tiffany ambil berdampak sampai sekarang.

“Aku ingin kamu membawa bayi ini ke panti asuhan.” lirih Helen yang masih berbaring di kasur. Wajah bidan yang sedang membersihkan darah dari bayi mungil itu langsung berubah muram.

Tiffany tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mengangguk pasrah. Dengan hati-hati dia mengendong bayi yang disodorkan oleh bidan itu. Sebelum dia beranjak pergi, dia kembali melirik Helen, berharap bahwa ada panggilan untuk menghentikannya.

Sayangnya Helen sudah membulatkan tekadnya untuk tidak melihat bayi yang tidak diinginkan oleh Ayahnya maupun dirinya. Tiffany akhirnya keluar dengan putus asa.

Dalam perjalanan menuju panti asuhan, dia menatap terus bayi yang berada di dekapannya. Matanya yang tertutup, bibir mungil dan kulitnya yang masih kemerahan.

Dia tidak bisa menyalahi keputusan Helen karena dia tahu alasan dia melakukan hal ini. Dia sudah bekerja di sana selama dua tahun dan cukup dekat dengan mereka.

Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang