Nick menyadarai perubahan sikap Tiffany yang aneh. Perempuan itu seperti menghindari tatapan dengannya. Bahkan ketika ditanya ada apa, dia hanya menampilkan senyum dan mengatakan tidak ada apa-apa.
Matanya terus tertuju pada Tiffany yang terlihat fokus dengan kuenya. Nama Tiffany dipanggil dari arah pintu sehingga mata wanita itu terlalihkan lalu berhenti di matanya. Hanya sedetik dan Tiffany langsung keluar karena dirinya dipanggil.
Nick sibuk memikirkan penyebab diamnya wanita itu. Otaknya berhenti berpikir ketika suara bisikan mulai terdengar di sana-sini. Dirinya menangkap semua pasang mata yang tertarik melihat keluar pintu. Sebelah alisnya menaik lantas berjalan ke arah pintu untuk mengamati sumber dari keriuhan mendadak.
"Beruntungnya Tiffany bisa dapat pujian langsung dari pemilik hotel ini."
"Sudahlah, makanya masak itu jangan mikirin cowok."
"Bukannya bagus ya mikirin orang yang kita sayang biar hasilnya juga lebih berasa."
Tak lama, orang yang menjadi topik pembicara kembali ke dapur. Mereka berbondong-bondong memberi ucapan selamat sekaligus pujian kepada Tiffany. Mata Nick menelisik wajah perempuan yang sedang tersenyum dan mengucapkan terima kasih itu. Ada yang berbeda dengan senyumannya dan Nick sadar.
**
Hanya waktu pulangnya Nick menemukan waktu untuk berbicara dengan Tiffany dan menyelesaikan senjumlah pertanyaan yang bergumul di pikirannya.
"Kamu mau ke apartemenku malam ini?" tanya Nick ketika mereka memasuki lift yang sama.
"Tidak, Nick."
Nick menghela napas dengan berat. "Baiklah, kuantar pulang."
"Tidak perlu." Tanpa menoleh sedikitpun, Tiffany hanya menjawab dengan datar.
Lift terbuka dan mereka keluar. Tapi Nick menghentikan langkah wanita itu dengan mencekal lengannya pelan. "Kamu kenapa?" tanya dengan suara lembut. Saat mulut Tiffany terbuka hendak menjawab, dia menaruh dua jarinya di bibir Tiffany. "Kalau kamu hanya ingin mengatakan kamu tidak apa-apa maka jangan ... karena kamu hanya akan mengatakan kebohongan yang sia-sia."
Tiffany menatap sepasang manik teduh itu. Ada rasa sesak dalam hatinya karena dia ingin sekali menggapai pria itu tapi otaknya berkata tidak.
"Kamu hanya perlu bilang kalau kamu tidak ingin cerita. Tapi jangan mendiamkan ataupun menghindariku."
"Maaf, bukan maksudku menghindarimu. Aku hanya tidak ingin kita terlihat bersama. Aku belum siap untuk memberitahu hubungan kita. Maaf," lirihnya dengan kepala tertunduk.
Apa benar itu inti permasalahannya? Meski tidak yakin, Nick mencoba untuk tidak bertanya lebih. "Kamu tidak salah. Aku mengerti."
Tidak Nick, kamu tidak mengerti. Karena kamu berada salah satu dari dua pilihan yang harus kupilih. Pilihan yang memungkinkanku untuk melepaskan sesuatu yang berharga.
**
Tiffany tidak langsung pulang ke rumahnya melainkan ke kafe yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Saat dibukanya pintu kafe, matanya langsung menatap sosok wanita dengan balutan dress panjang.
"Aku pikir kamu tidak datang,"sapanya dengan sebelah bibir terangkat.
Tiffany tidak berkata apa-apa dan menunggu apa yang akan Helen katakan. Dia tidak tahu bagaimana Helen bisa mendapatkan nomor ponselnya. Yang dia tahu, seperti ada bongkahan es batu yang menimpanya setiap kali bertemu dengan Helen.
"Waktu bergulir dan orang berubah. Aku lihat kamu sudah berhasil menjadi seorang chef."
Tiffany tahu bahwa yang dia dengar sekarang bukan sebuah pujian.
"Aku pun begitu. Aku telah mencapai sesuatu dimana dulu aku yang tidak mampu membelinya tapi sekarang bisa kubeli." Dia tersenyum samar mengingat semua penderitaan yang telah dia alami. Wajahnya kembali berubah dingin dan menatap Tiffany dengan tajam. "Dan aku tidak akan membiarkan siapapun merusak pencapaianku."
Tiffany menarik napas dengan susah payah. "Kalau kamu takut aku membocorkan masa lalumu, maka kamu tidak perlu khawatir karena aku tidak tertarik sedikitpun untuk terlibat dalam masalah kalian."
Helen meringis, "Bagus kalau kamu mengerti. Tapi," Ada jeda sebelum dia kembali melanjutkan. "aku tetap merasa tidak nyaman kalau kamu berada di dekatku."
Tiffany tidak menjawab. Sebab dia pun merasakan hal yang sama.
Meski gelagat Helen tampak tenang tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat Tiffany tidak bisa berpikiran jernih. Helen mengambil cangkir kopinya kemudian menyeruput pelan. Matanya tidak berhenti menelisik Tiffany. "Apa sih yang kamu punya sampai Nick memilihmu?"
Kali ini, Tiffany tidak bisa diam saja karena sudah menyangkut orang yang dia sayang. "Aku memang tidak punya apa-apa tapi aku punya sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang, ketulusan." Dirinya menatap Helen tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan.
Helen tertawa hambar. "Naif sekali kamu. Kamu hanya perlu mengatakan kalau kamu tertarik karena Nick adalah calon direktur."
"Aku mengenal Nick bahkan tanpa tahu dia adalah anak pemilik Value."
"Jangan munafik, Tiffany. Kamu tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan cinta."
Tiffany mencoba meredakan emosinya. Dia tetap berkata dengan tenang. "Aku sadar kalau kita memang butuh uang tapi itu bukan yang terpenting. Jika aku kehilangan uang, masih ada orang yang di sampingku. Tapi kalau kamu kehilangan itu, maka orang di sekitarmu juga akan menghilang. Bukannya lebih menyedihkan ketika semua yang kamu punya hanya uang?"
Seketika itu kuku-kuku jari Helen memutih karena mencengkram cangkir kopinya dengan erat.
I write this while im feeling not well, jadi maaf kalau agak rancu ceritanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing Rainbow
General Fiction[ Ganti judul dari "She's not My Baby" ] Tiffany, The Caregiver. Tujuannya adalah dapat membantu orang sebanyak mungkin. Kelemahannya adalah keegoisan. Ketika dia terlalu mencintai seseorang, akankah dia memilih untuk egois atau melepaskan orang yan...