"Papa ngajak kita untuk makan malam di rumah."
Meski sudah pernah datang ke sini, tetap saja Tiffany merasa gugup. Terlebih dia tahu dia akan bertatap muka kembali bersama Helen. Dia menoleh ke samping saat Nick menggengam tangannya.
"Nick." Pria yang dipanggilnya hanya memberikan senyum manis. "Apa kamu benar-benar akan mengatakannya?" Rasa khawatir muncul meski dia juga ingin masalah ini bisa terselesaikan.
"Jangan menghalangiku, Tiffany. Ini untuk kebaikan kita semua," ucapnya sambil mengelus kepala Tifffany pelan dan memberikan senyum yang selalu menenangkannya.
Ketika masuk ke dalam rumah Nick, Satrio dan Helen tengah berbincang di ruang tengah. Mata Tiffany bersirobok dengan mata tajam Helen dan dia segera memutuskan pandangan mereka.
"Hallo, Tiffany, lama tak berjumpa ... kalau udah jadi istri Nick, harus sering-sering datang ke sini ya," sapa Satrio yang langsung memanggil pembantu mereka menyiapkan makanan.
Semburat merah tampak di pipinya dan Tiffany menjawab dengan senyum, "Pasti Om."
**
"Oh ya, Tif ... Om punya satu permintaan untuk kamu." Satrio bersuara kala mereka tengah menikmati makan malam mereka.
"Permintaan apa, Om?"
"Om ingin kamu yang membuat kue pernikahan kami." Senyum Satrio sumringah sambil menatap calon istrinya untuk meminta pendapat. "Kamu tidak keberatan kan?"
Bibir Helen tertarik ke atas dan menatap Tiffany. "Tentu saja, tidak. Apalagi setelah mencicipi kuenya, aku tahu kalau dia sangat berbakat."
"Jadi gimana , Tiffany?" Satrio kembali bertanya.
Tiffany memang terkejut tapi dia ingin terlihat profesional sebagai seorang chef dan mengabaikan persoalan pribadi. "Dengan senang hati saya akan membuatkan kue pernikahan Om."
Senyum di wajah Helen luntur kala matanya kembali bertemu dengan mata Tiffany. Dia meneguk minumannya dengan gerakan anggun dan sesekali melirik perempuan itu, wanti-wanti jika Tiffany membocorkan rahasianya.
"Oh ya, Tifanny, Om turut berduka atas kepergian Ibumu ya. Maaf karena Om juga baru tahu baru-baru ini."
"Tidak papa,Om."
"Dengar-dengar kamu masih punya seorang adik perempuan ya? Kalau begitu, pastikan dia datang di hari pernikahan Om dua minggu lagi ya...."
Sontak tubuh kedua perempuan itu membuka. Tapi Helen segera mengatasinya dengan pura-pura cuek meski sebenarnya dalam hatinya terasa ingin meledak.
"Tiffany?" panggil Satrio karena perempuan tiba-tiba diam.
"Pa...." Nick yang sedaritadi mendengar percakapan mereka akhirnya mulai bersuara. "Ada yang mau kubicarakan."
"Kenapa serius begitu? Kamu ingin melamar Tiffany?" Satrio terkekeh melihat mereka berdua.
"Tidak. Ini soal orang yang akan menjadi istri Papa."
Sebelas alis Satrio terangkat, "Ada apa dengan Helen?"
"Ada sesuatu tentang dia yang Papa harus tahu."
Satrio terdiam sebentar kemudian bertanya, "Apa kamu keberatan punya Mama baru, Nick?"
"Tidak Pa ... aku tidak masalah jika Papa mau menikah lagi. Tapi, aku tetap ingin Papa mendapat pengganti yang memang benar-benar pantas untuk Papa."
Helen menyela ucapan Nick dan terlihat mimik wajahnya berubah. "Apa saya tidak pantas menjadi istrinya atau tidak pantas menjadi Ibumu? Saya tahu kamu tidak ingin Papa kamu melupakan orang yang melahirkan kamu. Tapi, aku tidak keberatan jika Papamu masih mencintai Ibumu. Jadi, Nick ... aku mohon agar kamu berpikiran terbuka dan tidak menggunakan Ibumu sebagai alasan kamu tidak mau menerimaku."
"Yang dibilang Helen itu benar, Nick. Kami sudah membicarakan hal ini dan sudah mengenal satu sama lain. Jadi Papa harap kamu juga bisa sedikit dewasa menyikapi hal ini."
"Pa, bukan itu yang ingin Nick bilang." Tiba-tiba dia merasakan tangannya digenggam oleh Tiffany. Dia menoleh dan mendapat sorotan mata yang mengatakan agar dia berhenti. Tapi dia tidak ingin berhenti. Ini untuk kebaikan wanita dan Ayah yang yang dicintainya.
"Apa Papa tahu kalau perempuan ini pernah punya anak sebelumnya?"
Diam.
"Papa tahu."
Dahi Tiffany berkerut. Apa maksudnya Om Satrio tahu? Apa Helen menceritakan tentang Ella? Itu tidak mungkin kan.
"Sebenarnya ini adalah masa kelam Helen dan Papa tidak ingin membicarakannya," lirih Satrio dan menatap sendu Helen.
"Tidak papa, Mas. Kita akan menjadi keluarga dan tidak masalah kalau keluarga sendiri tahu aib kita." Helen menampilkan senyumnya dengan mata berkaca-kaca sambil menggemgam sebelah tangan Satrio.
Menghela napas, Satrio bercerita, "Helen adalah korban pemerkosaan pacarnya waktu dulu dan lelaki tidak bertanggung jawab itu meninggalkannya."
Benar, pikir Tiffany. Helen memang tidak berbohong tentang hal itu.
"Helen juga sempat mengandung anak mantan pacarnya. Tapi sepertinya anak itu memang tidak ditakdirkan untuk lahir di dunia ini."
Mereka berdua menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Satrio.
"Dia mengalami keguguran saat bayinya berumur 5 bulan."
Tiba-tiba dada Tiffany sesak. Bagaimana bisa seorang Ibu tega bilang kalau anaknya sudah meninggal. Sorot mata Tiffany terpaku pada meja makan karena dia tidak sanggup menatap orang-orang sekelilingnya. Rasanya dia ingin segera pergi dari ruangan ini.
"Papa percaya dengan cerita itu?"
Satrio mulai meninggikan suaranya."Kamu kenapa, Nick?! Papa tidak suka kamu berpeliraku seperti ini."
"Sudah Mas, tenangkan emosimu. Aku bisa paham kok kalau dia masih belum bisa menerimaku karena sampai kapapanpun tidak ada yang bisa menggantikan posisi Ibunya."
"Aku punya bukti Pa, aku juga bisa membawa anak itu untuk di tes DNA agar kita pastikan kalau dia anaknya."
"Nick, cukup...," lirih Tiffany memegang lengan Nick. Dia mengigit bibir bawahnya menahan agar air matanya tidak tumpah. Dia ingin masalah ini selesai tapi dia tidak ingin Ella terluka.
Emosi Satrio memuncak. Dia bangkit dari tempatnya. "Maaf, Tiffany ... Om duluan."
Sebelum Helen mengejar Satrio, dia memandang mereka berdua dengan sebelah sudut bibir terangkat.
Tinggal 2 Part lagi, siap" say goodbye sama Nick-Tif ya 😢
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing Rainbow
General Fiction[ Ganti judul dari "She's not My Baby" ] Tiffany, The Caregiver. Tujuannya adalah dapat membantu orang sebanyak mungkin. Kelemahannya adalah keegoisan. Ketika dia terlalu mencintai seseorang, akankah dia memilih untuk egois atau melepaskan orang yan...