Part 20

1.3K 96 3
                                    


Sebuah tangan melingkar di perut Tiffany dan memeluknya dari belakang. Tangannya yang sedang memotong sayuran pun berhenti bergerak. Kepalanya ditoreh ke samping menatap wajah Nick yang kini bersandar di bahunya. Wajah malaikat yang membujuknya untuk pergi ke apartemennya dan memasak untuknya. "Nanti aku bisa salah masak kalau kamu kayak gini."

Sebuah kekehan terdengar tapi Nick masih enggan melepas pelukannya. "Kalau kamu salah, ini hukumannya." Dia memajukan wajahnya sedikit sehingga bibirnya bisa menjangkau bibir Tiffany.

Hanya sebentar tapi itu seperti sengatan listrik yang berefek serangan jantung mendadak. Tiffany segera memalingkan wajahnya ke depan dan kembali memotong sayurnya.

Nick melepas pelukannya dan tersenyum jenaka. Dia mengambil posisi di samping Tiffany dengan mata tak lepas darinya. Lantas dia teringat sesuatu. "Em, Tif?"

"Ya?" Tiffany menaruh semua potongan wortel kedalam panci dan menutupnya. Sembari menunggu sopnya matang, dia menghadap Nick. "Kenapa?"

"Aku ingin memperkenalkanmu pada Papa."

Tiffany bergeming sebentar. Apa dia sudah siap bertemu dengan ayah Nick. Memikirkannya saja sudah membuat dia gugup.

"Tidak masalah kalau kamu belum siap."

Seulas senyum Nick mampu mencairkan kegugupannya. "Tidak, aku akan bertemu dengan papamu," balasnya.

Jari-jari Nick menyusuri rambut hitam milik Tiffany dengan lambat. "Papa itu orangnya baik. Aku yakin kalau dia akan suka sama kamu."

Dia tahu bahwa papa Nick sangat posesif terhadap anaknya dulu. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau sekarang papanya juga menginginkan pendamping yang terbaik untuk anaknya, bukan?

Sup yang telah mendidih mengalihkan pikiran Tiffany. Ya, itu lebih baik daripada memikirkan hal yang akan datang.

**

Selesai makan, Tiffany hendak pulang tapi lagi-lagi dia ditahan oleh Nick. Alhasil, di kamar Nick-lah sekarang dia berada. Ini kedua kalinya dia berada di sini dan dia tidak pernah berhenti bosan melihat gambar potret masa kecil Nick bersama orang tuanya. Terlebih senyuman di foto itu, senyuman yang selalu dia dapatkan dari Nick.

"Ayo tidur," gumam Nick yang sudah beranjak naik ke kasur.

Dengan hati-hati dia berjalan dan ikut menaiki kasur. Mereka memang sudah pernah terlelap bersama dan tidur seperti sekarang juga bukan hal yang besar. Tapi tetap saja seperti ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya setiap berdekatan dengan Nick.

Nick menjulurkan tangannya melewati leher belakang Tiffany lalu menarik tangannya agar Tiffany berbalik menghadapnya. Mereka terdiam selama beberapa detik dengan mata saling beradu.

"Kita sama-sama pernah kehilangan orang yang kita sayangi waktu kecil." Tiba-tiba Nick berkata lirih dengan mata yang masih melekat padanya.

"Dan mungkin kita ditakdirkan untuk saling mengobati luka satu sama lain," sambung Tiffany sedikit terkekeh dengan ucapannya sendiri.

Nick yang masih senantiasa menatapnya juga ikut menyunggingkan senyum. Tapi tiba-tiba wajahnya berubah datar dan hal itu disadari oleh Tiffany. "Kamu bilang ayah kamu meninggal saat kamu kecil?"

Tiffany tidak langsung menjawab karena dia tersadar kalau dia baru saja menggali lubang yang selama ini dia tutupi. Wajahnya kian menjadi pucat. Nick menunggunya untuk berbicara. "I-iya."

Dia mengalihkan pandangan dari mata Nick menurun ke dada bidangnya. Nick tidak bertanya lebih lanjut seolah-olah ingin dia yang mengatakan lebih dulu. Menghela napas, dia memutuskan untuk menceritakan semuanya.

"Ella bukan adik kandungku." Dia melirik Nick sejenak untuk melihat reaksinya. Wajah Nick masih tenang menunggu kalimat selanjutnya. "Dia anak dari pemilik katering tempat aku bekerja dulu."

Mata Nick sedikit membesar tapi berusaha tetap tenang. Perkataan yang sudah terucap tidak bisa ditarik kembali. Oleh karena itu, Tiffany memutuskan memberitahu kenyataan itu pada Nick. "Ella adalah hasil yang tidak diharapkan oleh kedua orang tuanya. Ayah Ella tidak mau bertanggung jawab sehingga pihak wanita menuntutnya." Senyuman pahit terukir sesaat. "Sayangnya ayahnya hanya seorang pria hedonis yang mampu membeli hukum dan memutarbalikkan fakta." Matanya semakin sayu beriringan dengan kemarahan yang tidak bisa dia lampiaskan. "Saat itu, aku disuruh untuk membawa Ella ke panti asuhan ... tapi aku memilih mengadopsinya."

Tangan Nick mengelus kepalanya. "Apa yang akan kamu lakukan kalau seandainya orang tua Ella menginginkannya kembali?"

Seperti terlempar pada pertemuannya pada Helen sebulan yang lalu. Dia masih ingat dengan janjinya pada Yuni. Tapi lidahnya kelu dan ketakutan menyeruak dalam batinnya.

"Aku akan mengembalikkannya," ucapnya parau.

Nick bisa melihat kesedihan di mata Tiffany. Meski tidak menangis, dia tahu bahwa perempuan itu pasti menyimpan ketakutan kalau saja suatu hari Ella akan meninggalkannya. Karena tidak ingin memperburuk batin Tiffany, dia segera memeluk Tiffany dan mencium keningnya.

Mata Tiffany terpenjam menikmati kehangatan sekaligus aroma tubuh Nick. Tiba-tiba saja sebuah air mata lolos mengenai pipinya.

"Hey, kenapa menangis?" tanya Nick khawatir.

Tiffany tersenyum sambil menggeleng pelan. Dia tahu bahwa hidup itu tentang memberi tragedi dan berlanjut ke tragedi selanjutnya. Tapi selalu ada pilihan untuk melewatinyanya. "Aku ingin kita bisa selamanya seperti begini." Dia tahu bahwa ucapannya terlalu naif dan percaya bahwa mereka bisa menciptakan kebahagiaan dengan sederhana.

"Tidak .... aku tidak mau." Nick menyunggikan senyum lalu bergumam, "Aku tidak ingin selamanya begini karena aku akan melamarmu, menikahimu lalu hidup bersama buah hati kita."

Sebutir air mata kembali terlihat di ujung mata Tiffany. Kali ini dia tidak lagi bersedih melainkan terharu karena ucapan Nick. Matanya dipenjam saat bibir Nick menyentuhnya bibirnya pelan. Dia bisa merasakan jantung Nick yang juga berdetak kencang karena sebelah tangannya hinggap di dadanya. Lambat laun, kecupan kecil itu berubah menjadi lumatan pelan yang memabukkan.

Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang