part 14

1.4K 128 0
                                    

Jam segini seharusnya semua masih terlelap tapi berbeda dengan hari ini. Suara pisau menyentuh talenan terdengar saat Tiffany keluar dari dalam kamar. Dia menatap heran dua baskom dan beberapa mangkuk besar lainnya yang terisi daging dan sayuran.

Yuni yang melihat kehadiran anaknya pun berseru, "Ibu lupa beritahu kamu kalau Ibu bakalan masak buat acara kondangan tentangga sebelah."

"Kenapa gak suruh aku aja, Bu?"

Yuni merebut tomat yang baru saja dipegang oleh Tiffany. Dengan nada membanggakan, dia berucap, "Gini-gini dulu Ayahmu suka sama makanan Ibu sebelum kamu menggeser posisi Ibu."

Hati Tiffany terenyuh dan melingkarkan tangannya di leher Yuni dari belakang. "Kenapa menggeser sih? Kita akan selalu berada di hati Ayah."

Mereka terkekeh dan suara ribut kini datang dari arah lain. Tiffany menoleh dan mendapati seorang Ibu paruh baya yang rempong membawa tempat hidangan makanan yang terbuat dari stainless. Dia segera beranjak membantunya meletakkan di meja.

Tatapan Ibu itu seperti terkesima. "Oh, kamu anaknya Yuni ya ... dengar-dengar kamu seorang chef di hotel?"

"Iya, Bu."

"Oh, sayang banget kamu sibuk, kalau gak pasti aku bakalan kasih kamu yang masak," celotehnya.

"Ibu saya juga pandai masak kok," simpulnya.

"Iya, iya ibu tahu. Kamu udah mau berangkat kerja?"

"Iya, bentar lagi, Bu."

Dia menelisik Tiffany dan memperhatikan wajahnya lama. "Kamu berbeda dengan apa yang dikatakan orang."

Sebelah alisnya terangkat. Dia tidak terlalu peduli dengan perkataan orang karena semua orang punya mulut untuk berbicara dan itu hak mereka. "Emang apa yang mereka katakan, Bu?" tanyanya hanya sekedar basa-basi.

"Mereka bilang seorang chef itu selalu bersikap individual karena kebanyakan menghabiskan waktu di dapur sehingga gak ada waktu buat berinteraksi dengan orang lain. Yah, awalnya Ibu juga berpikir kamu sombong karena gak pernah kelihatan batang hidungnya setiap pergi dan pulang kerja. Terlebih kamu bekerja di hotel mewah."

Tiffany hanya tersenyum menanggapinya. Seperti sekarang ini, semua masih dalam mimpi indahnya saat dia akan meninggalkan rumah. Jadi siapa yang mau dia sapa? Ayam berkokok? Bahkan ketika dia pulang, kebanyakan dari mereka sudah masuk kedalam rumah menikmati makan malam di satu meja yang sama. Lalu, apa dia harus mengetuk satu per satu pintu untuk menyapa mereka?

"Bekerja di hotel mewah tidak mengubah siapa diriku kok," lirihnya pelan dengan kedua ujung bibir tertarik ke atas.

**

Hal pertama yang Tiffany lihat pertama kali tiba di dapur adalah masker yang dipakai oleh Nick. Bukan dia saja yang terkejut, bahkan Sam membujuknya untuk libur saja.

"Betul chef, mending chef istirahat di rumah aja. Aku bisa menangani mereka kok," kata Dirga menampilkan senyum jenaka.

Tapi bukan Nick namanya jika dia tidak kerja hanya karena distraksi kecil. "Kita bertukar posisi hari ini dan aku yang akan masak."

"Baik, chef," jawab Dirga tak mau berdebat.

Semua menatap kagum dan juga khawatir pada Nick karena dia bisa bertahan memasak pesanan yang sangat banyak hari ini. Sesekali dia mengelap keringat di dahinya dengan sapu tangan.

Dirga merasa tidak enak melihat kondisi Nick yang dipaksakan. Dia membantu meneriaki Dio sehingga Nick tidak perlu melepas tutup maskernya untuk menyuruh Dio membantu mengambil daging di kulkas.

"Aku takut kalau chef tiba-tiba pingsan," bisik Jenny kepada Tiffany.

Tiffany tidak menjawabnya tapi matanya sedari tadi tidak pernah absen untuk mengamati Nick. Saat makan siang, Nick tidak menyentuh satu makanan pun. Wajar kan kalau dia khawatir juga.

"Tif, gak makan?"

"Gak, kalian duluan aja."

Jenny hanya mengiyakan dan meninggalkan Tiffany yang masih berada di dapur.

"Kenapa masih masak?" Suara seraknya menghentikan pergerakan Tiffany memotong jahe. Nick juga masih berada di dapur karena habis memeriksa bahan makanan di rak.

"Aku buat ini untuk chef," jawabnya tanpa ragu-ragu.

Nick ingin menolak karena dirinya memang tidak dalam nafsu untuk makan. Tapi melihat Tiffany yang berusaha seperti itu, keputusannya berubah. Pandangannya tak luput dari setiap pergerakan wanita itu.

Tiffany sedikit berdeham karena dia tidak ingin salah fokus dan malah menghancurkan buburnya. "Chef semalam kehujanan?"

"Kenapa bisa tahu?" tanyanya masih dengan nada yang datar.

"Hanya nebak."

"Tiba-tiba saja keluar dari tempat Bu Kian, hujan langsung turun."

"Berarti nanti malam chef tidak bisa ke tempat itu lagi." Tiffany menuang bubur yang sudah masak di mangkuk dan menaruh beberapa potongan ayam dan daun bawang di atasnya. Lalu memberikannya pada Nick. "Kalau gitu nanti aku bakalan masak lagi biar chef bawa pulang."

Nick melahap bubur yang masih panas itu dengan pelan. "Tidak mau."

"Kenapa? Emangnya chef mau masak lagi di rumah?"

"Aku maunya kamu masak di rumah aku." Nick berpikir Tiffany akan langsung menolak dengan menunjukkan ekspresi takut. Tapi kenyataannya dia malah dibuat deg-degan dengan diamnya Tiffany.

"Baiklah, hanya masak," jawabnya pelan sambil berlalu membereskan mejanya.

**

Alasan kenapa Tiffany mau datang lagi ke tempat Nick karena dia khawatir dan juga merasa berutang budi. Dia yakin ibunya juga pasti akan menyuruhnya memasak untuk Nick meski dia tidak ingin. Entah itu hanya alasan untuk dia sendiri atau apa. Yang pasti dia selalu menghargai setiap waktu yang ada. Karena dia tidak ingin menyesal karena semua bisa terjadi dalam waktu satu detik.

"Kamu sudah mau pulang?" tanya Nick dengan wajah pucatnya saat Tiffany berjalan ke luar setelah selesai mencuci piring.

"Tentu saja." Tentu saja tapi kenapa kakinya terasa seperti terpaku dan tidak ingin bergerak. Matanya kian menelisik wajah Nick yang semakin lama tampak lesu dengan rambut sedikit berantakan. Dia ingin menaruh telapak tangannya di dahi pria itu untuk memastikan suhu tubuhnya tapi dia yakin Nick bisa menjaga dirinya sendiri. "Baiklah, aku pulang dulu, chef," ucapnya lalu buru-buru berbalik.

Saat hendak menggapai gagang pintu, sebuah suara hantaman yang nyaris tak terdengar. Tiffany berbalik sebentar dan sontak memekik, "Chef!" Dia berlari dengan panik dan terus memanggil Nick yang kini terkapar di lantai.

"Chef, bangun ... chef, chef!" Dia menggoyangkan bahunya dan menepuk pipinya pelan, berharap Nick membuka matanya. "Nick!" Nama yang dipanggil masih belum sadar. Tiffany kalang kabut dibuatnya dan segera meraih ponsel tapi sebuah tangan menghentikan pergerakkannya. "Chef! Chef baik-baik saja? Chef masih bisa bangun biar kita ke dokter atau aku panggil ambulan aja." Dia lega karena Nick masih bisa membuka matanya tapi tetap saja kekhawatirannya belum menghilang. Tangannya tertarik ke depan, mau tak mau wajahnya berada dalam jarak yang sangat dekat dengan wajah Nick.

"Tadi kamu memanggil namaku," lirihnya menatap lekat kedua bola mata Tiffany.

Tiffany buru-buru menarik kepalanya sendiri. "Kenapa yang ada di pikirannya malah itu sih," dengusnya dalam hati.

Nick bangkit dan Tiffany membantunya. "Aku tidak butuh ke dokter. Aku cuma butuh kamu."

Tiffany berkedip beberapa kali berusaha mengartikan kalimat ambigu itu. Tapi dia segera membantu Nick berdiri agar tidak terjadi perang menatap yang membuat dia mati kutu. Setelah membaringkan Nick ke tempat tidurnya, dia segera mencari handuk dan air untuk mengkompres.

Mata Nick sangat berat untuk terbuka. Jadi dia hanya bisa memejamkan mata sambil merasakan hangatnya kain yang berada di atas dahinya. "Jangan pergi."

Bisikan itu terdengar jelas di telinga Tiffany. Dia menggenggam tangan Nick di sampingnya. "Aku tidak akan pergi, cepat sembuh."

Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang