part 26

1.2K 139 8
                                    


Tiffany menatap keluar jendela. Ini kedua kalinya dia kembali menginjakkan kaki di rumah penuh kenangan ini. Matanya berlabuh ke ruang tamu, di mana Ella sedang duduk menggambar dengan crayon.

Mulai sekarang, tidak akan ada lagi pemandangan dua orang yang tertawa menonton televisi ataupun Ibu yang sedang mengajari Ella belajar. Mulai sekarang, hanya akan ada dia dan Ella.

Matanya sontak menjadi panas dan dia memegang dadanya sesak. Tiba-tiba ucapan Yuni yang telah lama pudar masuk kedalam pikiran Tiffany. "Tapi, kamu harus janji satu hal sama Ibu. Jika suatu saat orang tua kandungnya ingin membawanya kembali, kamu harus mengembalikannya."

Dia mengamati Ella dan semua memori terputar di kepalanya. Dari pertama kali tangan kecil itu menggenggamnya dan semua yang telah mereka lewati. Dia segera berbalik badan ketika air matanya berhasil lolos. Dia menggigit bibir bawahnya kuat menahan isakan.

**

Mereka kembali ke Jakarta setelah Tiffany merasa agak baikan. Tidak, dia tidak merasa lebih baik, hanya saja ada hal yang harus dia lakukan. Setelah menelepon seseorang, dia duduk di salah satu kafe sambil menunggu kedatangan orang tersebut.

Cukup lama baginya menatapi cangkir kopi yang mulanya mengepul sampai dingin. Ketika ujung matanya menangkap sepatu tinggi, sontak matanya langsung bergerak naik bertemu kedua bola mata yang menatapnya dengan alis menyatu.

"Apa yang ingin kamu katakan? Waktuku tidak banyak..." Helen meletakkan tas tangannya di meja dan bersilang kaki sambil menatap lurus Tiffany.

Tiffany menghela napas panjang. Dia tahu cepat atau lambat semua ini harus diselesaikan. Dengan nada pelan tapi pasti, dia berucap, "Apa kamu masih ingat bayi yang pernah kamu buang?"

Mata Helen membesar kemudian bersikap normal kembali. "Jangan bicara omong kosong ya kamu."

Tiffany tahu kalau Helen akan menyangkalnya jadi dia terus melanjutkan, "Bayi yang pernah kubawa ke panti asuhan ... bayi itu sudah tumbuh menjadi anak tujuh tahun."

"Hentikan!"

Tiffany tidak peduli dengan teriakan Helen. "Dan bayi itu selalu ada di dekatku ... bayi yang lahir dari rahimmu."

"Kubilang hentikan!" Wajah Helen terlihat sangat marah. Posisi duduknya berubah dan badannya didekatkan ke arah Tiffany. "Dengar baik-baik perkataanku ini. Aku tidak pernah menanggap bayi itu ada! Dia lahir tanpa ada yang menginginkannya. Dan satu hal yang harus kamu ingat, aku tidak ada hubungan apapun dengannya!" Semua katanya penuh penekanan.

Ketika Helen bangkit, Tiffany ikut berdiri dan lekas menahan lengannya sambil memohon. "Kamu harus melihatnya sekali saja."

Refleks sebuah tamparan mendarat di pipi Tiffany. "Dasar perempuan lancang! Aku tidak peduli kalau kamu mau mengadopsi anak itu atau apapun. Yang paling penting, jangan pernah tunjukkan wajahnya di depanku." Dia melengos sedetik dan berbalik lagi. "Satu lagi, aku harap kamu tidak merusak pernikahanku atau aku bisa saja menyingkirkan anak itu."

Tiffany memegang pipinya dan air matanya jatuh begitu saja. Dia menangis bukan karena sakit yang dia rasakan di pipinya tapi karena dia mengetahui kalau Ella tidak diinginkan oleh orang tua kandungnya.

Dia berjalan keluar dari kafe dengan gontai. Sesekali dia menabrak orang karena matanya tidak fokus melihat jalanan. Sampai sebuah tangan mencekalnya membuat dia terpaksa berbalik.

Saat itulah, fokusnya kembali sadar. "Nick? Kena-" Ucapannya terpotong karena dia tahu ini bukan sebuah kebetulan. "Sejak kapan kamu?"

Nick langsung memeluknya tanpa peduli dengan orang yang berlalu lalang. Tiffany tidak memberontak. Dalam diam, dia membiarkan rindu terlepas dan kehangatan yang belum lama hilang.

Sebuah bisikan masuk kedalam telinga Tiffany. "Aku tahu alasan sebenarnya kamu memutuskan hubungan kita."

Tiffany segera menarik diri dan menatap Nick dengan mata membesar. Dia menunggu Nick melanjutkan untuk mengetahui makna sebenarnya. Apa Nick benar-benar tahu?

"Aku berada tidak jauh dari tempat dudukmu tadi bersama Helen," lirih Nick sambil menatap Tiffany dengan tatapan lembut. Saat Tiffany hendak membuka mulutnya, Nick menghentikannya dengan menaruh satu jari di bibirnya. "Ssh ... kamu tidak perlu menjelaskan apapun padaku karena aku tahu ada hal yang tak bisa terucap." Tangannya lanjut menyusuri rambut Tiffany dan menaruhnya di belakang telinga. "Dan aku mengerti kata-kata yang tak bisa terucap dari mulutmu."

**

Pukul satu dini hari, Tiffany membaringkan Ella yang sudah tertidur pulas di kasurnya. Sebelumnya, dia menitipkan Ella di rumah Jeni dan saat menjemputnya, Ella sudah terlelap. Setelah menutup pintu kamarnya pelan, Tiffany berjalan ke arah sofa dimana Nick duduk dengan mata yang tidak lepas darinya.

Mata Tiffany memandang ke depan. "Aku mengadopsi Ella saat Ibunya berniat untuk meletakkannya di panti asuhan." Dia mulai bercerita dengan wajah sendu dan suara pelan. "Dan saat itulah, kami pindah karena tidak ingin Ibunya tahu soal hal ini."

Nick mengamatinya dari samping. Dia ingin sekali mendekap perempuan itu dan berharap bahwa semua masalah yang dialaminya lenyap.

"Selalu ada ketakutan bahwa suatu hari Ella yang akan pergi." Bibirnya mulai bergetar. "Aku tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan Ibunya lagi. Tapi takdir seolah menyuruhku untuk mengungkap rahasia ini."

Nick menggengam salah satu tangan Tiffany. Dia menoleh sehingga tatapan mereka bersirobok. "Kamu tahu, Nick? Sangat sulit untuk memilih antara kamu dan Ella." Air mata mulai mengaliri pipinya. "Kamu itu Bulan dan Ella itu Matahari. Tanpa kamu, hariku tidak akan berlanjut malam dan tanpa Ella, pagi tak akan datang."

"Aku tidak pernah hilang, Tiffany." Nick mengusap pipinya pelan. "Aku selalu ada meskipun pagi tiba. Hanya saja aku tidak terlihat." Nick mendekatkan wajahnya dan membiarkan kening mereka menyatu. "Aku sudah bilang kan kalau aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Mata Tiffany terpejam dan berkata lirih. "Maaf ... maaf karena aku egois. Aku terlalu menyayangi Ella dan juga sangat berat untukku untuk memilih diantara kalian. Maaf,"

Seulas senyum hadir di wajah Nick. "Kamu masih ingat kalau kamu bilang aku adalah rumahmu?"

Tiffany membuka matanya perlahan dan menjauhkan wajahnya sedikit. Dia semakin merasa bersalah. Tentu saja dia ingat. Dia mengingkari semua perkataannya.

Nick kembali tersenyum dan membelai rambut Tiffany. "Aku ingin kamu kembali ke rumah. Aku ingin kamu kembali padaku. Jadi, jangan pergi lagi." Nick menyatukan bibir mereka kemudian melumatnya pelan.












:'))

100+vote for next update?

Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang