Part 2

3.2K 231 11
                                    


Fresh dari oven. Jangan lupa voments ya. :))

Tiffany sudah berangkat dari rumahnya pukul setengah enam pagi. Ini hari pertamanya kerja. Ya, sungguh mengejutkan baginya ketika namanya dipanggil karena berhasil lolos kualifikasi. Ini juga pertama kalinya dia bekerja di dapur restoran berbintang. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan membuat kesalahan.

Dia tiba setengah jam lebih awal. Senyum melekat di wajah Tiffany karena sebuah permulaan memang harus diawali dengan senyuman, kan? Tapi belum sempat dia masuk ke dalam hotel, dirinya terpekik kaget karena melihat adegan di depannya.

Sebuah motor yang melintas pergi meninggalkan seorang bocah yang masih terkapar di lantai. Tiffany berlari ke arahnya dengan waswas melihat kondisi bocah laki-laki itu yang meringis kesakitan memegang kakinya yang berdarah. Koran-koran yang semula dipegangnya bocah itu berserakan di mana-mana.

"Ya ampun, ayo kakak bawa ke rumah sakit." ucap Tiffany panik dan segera mengalungkan lengan bocah itu ke lehernya.

Seorang petugas datang dan ikut membantu Tiffany membawa bocah itu ke klinik terdekat. Ketika sampai di klinik, Tiffany melihat jam tangannya dan terlonjak. Gila, gila, restoran sudah dibuka.

Dia buru-buru berjalan ke bagaian administrasi dan membayar perawatan bocah itu. "Maaf, Ella, mungkin minggu ini kita tidak dapat makan daging." Batinnya sambil mengeluarkan beberapa lembar lima puluh ribu.

Setelah berpamitan dengan bocah tadi, Tiffany berlari mencari angkutan yang ada. Memakan waktu dua puluh menit untuk sampai kembali ke hotel. Dia memasuki restoran dengan napas tak beraturan.

Sam - supervisor restoran yang melihat Tiffany baru datang pun mengerutkan alis. "Ini hari pertama kamu kerja Tiffany. Bagaimana bisa kamu terlambat di hari pertama?!"

Tiffany masih mencoba mengambil napas sebanyak-banyaknya. Ketika dia hendak menjawab, Sam kembali berceloteh, "Sudah cepat ganti baju sana. Kamu jelasin saja pada Nick. Semoga beruntung." Pria berahang persegi itu tersenyum masam lalu melengos pergi.

**

"Pesanan meja tiga. Satu terrine, dua daging domba, dan satu daging ayam." ujar Nick yang langsung dijawab oleh para koki dengan suara lantang. "Yes, chef!"

Dengan langkah kaki pelan, Tiffany masuk dan berdiri di samping Nick yang sedang mengelap pinggiran piring yang baru dihidangkan oleh butcher chef. Begitu menyerahkan makanannya kepada pramusaji, Nick menghadap Tiffany dengan satu alis terangkat.

Tiffany menunduk dan berdoa dalam hati agar tidak dipecat. Setidaknya biarkan dia bekerja sebentar meski hanya satu hari.

"Kamu bisa menjelaskan alasan keterlambatanmu nanti. Aku harap kamu punya alasan yang bagus." ucap Nick pelan.

"Yes, chef!" balas Tiffany segera mengambil tempatnya. Berhubung sebagai pastry chef, dia jarang mendapat pesanan dessert, maka dia ikut membantu chef lain.

"Pesanan meja delapan, dua scallop. Pesanan meja sembilan, dua daging babi dan satu daging sapi." Nick mencicipi saus yang diberikan oleh saute chef lalu mengangguk. Dia kembali berteriak pelan. "Dagingnya lima menit."

"Yes, chef!"

**

Seperti yang Nick katakan, kini Tiffany masih berada di dapur bersama Nick sedangkan chef lainnya sudah meninggalkan tempat semenit yang lalu. Dia menghela napas dan memandang Nick yang juga menatapnya dengan ekspresi datar.

"Lalu? Apa yang membuatmu terlambat di hari pertama kerja, Tiffany?" tanya Nick dengan nada rendah.

"Ketika aku tiba di sini, tiba-tiba saja ada tabrak lari yang terjadi di depanku. Jadi, aku membawa anak kecil korban tabrak lari itu ke klinik terdekat."

Tiffany berusaha membaca ekspresi Nick yang masih bergeming. Apa mungkin Nick tidak percaya dengan perkataannya? Baiklah, dia sudah pasrah jika harus dipecat.

"Oke, untuk kali ini kamu akan saya maafkan tapi dengan satu syarat."

Ada rasa senang ketika dia tahu dia tidak akan dipecat. Tapi gugup menyergap batinnya ketika melihat senyum yang terpampang di wajah Nick. Bukan tipe senyum iblis yang mengintimidasi tapi lebih ke senyum malaikat yang menghangatkan. Tapi, bukannya senyum malaikat yang harus lebih diwaspadai?

"Ya, chef?"

Nick menumpukkan kedua tangannya di atas meja. "Kamu harus membuatkanku hidangan yang bisa membuat ketagihan memakannya."

Tiffany terkesiap lalu segera mengambil bahan-bahan dan peralatan yang diperlukan. Tidak ada waktu untuk ragu. Dia hanya membuat sesuatu yang terlintas di pikirannya. Dimasukkannya cream cheese, butter, dan susu ke dalam panci kecil. Lalu dipanaskannya dengan api kecil. Kemudian mengocok kuning telur dan menuangkan adonan tadi kedalamnya.

Nick memperhatikannya dengan kedua tangan yang dilipat. Setelah memasukkan adonan itu kedalam panganggan, Tiffany membereskan meja dan mencuci peralatan. Nick membuka suara sembari menunggu panggangannya. "Sejak kapan kamu mulai memasak?"

"Em ... bisa dibilang sejak tujuh tahun. Saat itu aku masih membantu ayahku membuat adonan roti." jawabnya dengan senyum yang membuat ujung matanya menaik.

Nick hanya manggut-manggut. "Semoga saja hasil yang kamu buat sebanding dengan waktu yang telah kamu habiskan untuk memasak." lagi-lagi dia tersenyum.

Tiffany ikut tersenyum. Sepertinya Nick bukan orang yang pemarah ataupun sensitif dan itu cukup membuatnya lega karena tidak perlu disemprot dengan makian. Dia mengeluarkan panggangan ketika terdengar bunyi bip.

Tiffany mengeluarkan cheesecake dari loyang kemudian menaruhnya pelan di piring. Dia meletakkan piring itu di depan Nick.

Ketika Nick menggoyang piringnya, tampak cheesecake itu ikut bergoyang. Fluffy and jiggly, dua kata yang dideskripsikan oleh Tiffany ketika melihat hasilnya. Dia menatap Nick yang telah memakan sedikit cakenya. Dahinya mengerut ketika Nick mengalihkan pandangan padanya.

"Perfect."

Tiffany mengigit bibirnya sambil menahan senyum.

"Kamu memilih restoran yang tepat untuk tidak menyia-nyiakan bakatmu." Nick terkekeh pelan lalu kembali memakan cakenya. "Nah, kamu juga harus coba hasilmu."

Tiffany menerima garpu yang diberikan Nick lalu memotong kuenya dan melahap pelan. Bibirnya melengkung ke atas dan mereka menghabiskan kuenya.

Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang