part 3

2.7K 192 7
                                    


Don't be eye candy, be soul food.

Tiba di rumah, Tiffany kembali memasak untuk makan malam mereka. Jangan bayangkan kalau mereka akan makan enak seperti makanan di hotel. Mereka hanya akan memakan daging atau seafood jika mendapat penghasilan lebih. Tapi satu kelebihan yang dimiliki Tiffany sudah cukup membuat mereka bertiga puas. Kalau orang biasa mengenal telur hanya untuk digoreng atau direbus, maka Tiffany bisa membuat lebih dari itu.

Dia meletakkan silky masa eggs di atas meja makan. Dia meneriakki nama Ella yang sedang bermain dengan baby yang diasuh oleh Ibunya. Fyi, Ibu Yuni bekerja sebagai pengasuh bayi. Di sela-sela makan, mereka berbincang tentang Ella yang akan masuk sekolah besok.

Begitu menyelesaikan pekerjaan mereka. Ella menaiki kasur dan menarik selimut menutupi sebagian tubuhnya. Lalu Tiffany ikut duduk di sampingnya dengan membawa buku bacaan anak karya Clara Ng yang berjudul Sejuta Warna Pelangi.

Sebuah rutinitas bagi Tiffany untuk membacakan cerita anak untuk Ella sebelum tidur. Malam ini dia lanjut membaca cerita keempat dengan judul "Milo sedang Bosan". Pelan tapi jelas, Tiffany mulai bercerita, "Milo itu adalah seekor ikan paus." Sambil menunjukkan gambar kepada Ella.

"Milo sering merasa bosan karena ditinggal oleh orang tuanya yang pergi bekerja." Dia membalik halaman selanjutnya. "Terus, karena Milo bosan, dia mengerjai temannya dengan cara melumuri mukanya dengan lumpur dan menakuti teman-temannya."

Ella mengalihkan pandangannya dari buku ke wajah Tiffany, "Pasti Milo dihukum."

Tiffany membalasnya dengan seulas senyum, "Tentu saja. Milo jadi dijauhin oleh teman-temannya." Dia melirik Ella yang masih fokus pada gambarnya. "Kalau Ella punya teman kayak Milo gimana?"

Mata besarnya melihat Tiffany. "Dijauhin?"

Tiffany kembali tersenyum, "Jangan sayang. Kalau Ella punya teman yang dimusuhin, Ella harus temenin dia. Memang bener kalau kita harus berteman dengan orang baik, tapi teman yang jahat tidak selamanya tidak baik."

Raut bingung tampak jelas di wajah Ella tapi dia tetap mendengarkan.

"Kakak tidak peduli kalau Ella dapat nilai jelek ataupun tinggal kelas. Yang penting Ella punya banyak teman dan nolongin mereka ketika kesusahan."

"Kakak tidak marah kalau Ella dapat nilai jelek dan tinggal kelas?" tanyanya dengan polos.

Tiffany menggelengkan kepala. "Kakak cuma rugi uang sedangkan kamu rugi waktu." Dia terkekeh karena tahu Ella tidak mengerti ucapannya. Dia memeluk Ella erat. "Tapi bukan berarti Ella bisa malas-malasan ya. Nanti Ella tamatnya umur 50 puluh tahun loh."

"Ih," sanggah Ella dengan nada tinggi. "Ella juga gak mau tinggal kelas, nanti Ella gak bisa ketemu teman-teman Ella." Senyum terpatri di wajah Tiffany.

**

Tangan tergores, berdarah ataupun terbakar sudah seperti makanan wajib bagi para koki. Seperti sekarang ini, jari Tiffany berdarah sewaktu memotong jamur dengan cepat. "Aw," desisnya pelan.

Nick yang kebetulan berada tak jauh darinya langsung memegang jarinya. Tanpa berkata apapun, dia mengeluarkan plester dari dalam kantong celana yang sepertinya selalu dia sediakan.

Tiffany membiarkan jarinya dibalut plester oleh Nick. Setelah selesai, dia tersenyum sekilas sambil mengucapkan terima kasih. Dia kembali pada pekerjaannya setelah Nick berlalu.

"Kev! Kapan dagingnya siap?" teriak Nick yang sudah berada di posisinya.

"Lima menit chef!" balas Kevin yang sedang mengangkat pancinya di atas api besar.

"Meja sebelas, dua dessert!" Sorot mata Nick berhenti pada Tiffany.

"Yes, chef!" Tiffany mulai mengaduk adonan dan menwhisk dengan balloon whisk. Setelah itu dimasukkannya ke dalam oven. Sambil menunggu oven, dia segera membersihkan mejanya dan mencuci piring-piring dan peralatan lain.

Setelah kuenya dikeluarkan dari panggangan, dipotongnya dengan menggunakan cake laverer. Dia menyajikan satu piring untuk Nick coba dan duanya lagi untuk dihidangkan.

Nick menyendok sedikit kuenya dan menangguk puas. Dia memeriksa dua hidangan itu apakah sudah tertata rapi, barulah diberikannya kedepan pramusaji.

**

Setelah jam makan siang berlalu, barulah mereka bisa beristirahat walau hanya sebentar. Tiffany pergi ke ruang ganti bersama dengan Jenny, salah satu teman wanita yang ada di dapur. Cukup beruntung karena mereka berdua bisa diterima karena masih ada prinsip yang mengatakan bahwa perempuan hanya akan merusak dapur. Kalau bukan karena kemampuan mereka yang dibawah laki-laki, yang lain mungkin karena percintaan di dalam dapur.

"Eh, Tif, kamu tahu gak kalau chef Nick itu dulunya kuliah di luar negeri? Ada yang bilang dia anak orang kaya sih, tapi gak ada yang tahu bapaknya siapa."

Tiffany hanya cengir mendengarkan cerocosan wanita bertubuh sintal dengan kacamata besar di wajah bulatnya. Dia merasa kalau Jenny adalah orang yang bisa berbicara dengan siapa saja dan di mana saja. Bahkan baru dua hari saja, Tiffany sudah menjadi teman gosipnya meski dia sendiri tidak suka menggosip. Dia hanya lebih banyak mendengarkan ocehan Jenny tentang betapa gantengnya Nick sampai kadang dia ingin menelannya hidup-hidup.

"Oh..,"

"Ish, kira-kira chef Nick udah punya pacar belum ya?" sambung Jenny sambil memandang ke langit-langit.

"Saya belum punya pacar."

Suara Nick sontak membuat keduanya tersentak. Nick tersenyum sambil berjalan menuju lokernya. Jenny ikut cengegesan menatap Tiffany yang tersenyum kikuk.

"Oh, chef dulunya tinggal di luar negeri kan?" tanya Jenny yang tak bisa menahan rasa penasarannya.

Nick menutup lokernya dan berbalik menghadap mereka. Dia mengambil tempat duduk di samping Tiffany dan memandang Jenny, "Sampai SMA saya masih di Jakarta, setelah itu saya pindah ke Italia."

Jenny membulatkan mulutnya. "Terus kenapa balik, chef?"

Tiffany yang semula menatap Nick saat dia berbicara pun menoleh ke samping kiri. Dia mengerutkan dahi karena merasa Jenny terlalu banyak tanya. Tapi ada rasa ingin tahu juga. Dia kembali menatap Nick dan mata mereka bertemu.

Nick berdeham dan memilih memandang depan. Jenny yang tahu jawabannya cukup rahasia pun sadar diri. "Haha ... jadi chef betah gak di sini?"

Nick menyunggingkan senyum dan menatap mereka berdua. "Saya betah karena ada kalian."

Waktu istirahat sudah berakhir dan Jenny yang tak dapat menahan senyumnya pun beranjak keluar. Tiffany juga hendak berdiri tapi urung karena Nick mengatakan sesuatu.

"Tangan itu penting bagi chef, jadi lain kali hati-hati, okay?" lirihnya.

Tiffany duduk termenung bahkan saat Nick sudah berdiri meninggalkannya.


















Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang