Part 11

1.6K 120 2
                                    


Saat menuju ke luar tempat yang diberitahu Jenny, Tiffany menangkap sosok Helen duduk di meja yang tadinya hendak mereka tempati. Dia terus berjalan berusaha mengenyahkan pikiran buruk yang berputar di otaknya.

Sampai di tempat duduknya, Jenny langsung berseru, "Lama banget sih, kita pikir lo hilang loh."

"Iya, banyak orang soalnya," sahutnya ditutupi dengan senyum singkat.

Di depannya duduk Nick yang menelisik seakan menyadari perubahan mimiknya. Tiffany tidak berani menatap pria itu dan mencoba menyantap makanan yang baru datang. Sesekali mereka bercanda dan Tiffany menangkap wajah Nick yang sedang tersenyum. Tapi kali ini senyumnya berbeda. Batinnya berperang mengatakan untuk apa dia mempedulikan orang lain di saat dirinya sendiri juga menampilkan senyum dengan terpaksa.

**

Liburan mereka usai dan harus kembali memegang panci di dapur. Hari ini juga hari terakhir Tiffany memasak untuk Nick. Di lift, Nick tiba-tiba mengatakan, "Hari ini kita makan ke tempat Bu Kian ya."

"Hah?" Tiffany menatap Nick dari samping. "Kenapa gitu? Lagipula ini hari terakhir aku masak buat chef."

Pintu lift terbuka dan Nick duluan keluar. "Aku lagi malas makan di rumah, kita ke sana aja ya."

Tiffany memberengut dan menyamakan langkah kaki mereka. "Gak mau. Sudah lebih dari seminggu aku melewati makan malam dengan keluargaku."

Sontak Nick berhenti dan merasa bersalah. "Oke, baiklah."

Mereka kembali berjalan. Tiffany sesekali meliriknya karena merasa tak enak. Dia tersadar akan ucapannya tadi dan berpikir bahwa mungkin Nick membutuhkan teman makan.

**

Saat mereka sedang menyantap chicken broccoli rice bowl-nya, rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. Mendengar suara hujan yang kian deras, Tiffany buru-buru menghabiskan makanannya.

"Tunggu hujannya reda dulu baru pulang," ujar Nick.

"Hm? Em, baiklah," angguk Tiffany.

Sayangnya harapannya tidak terkabul. Sudah lima belas menit dia mondar mandir sambil menggigit jarinya. Nick yang duduk di sofa tersenyum melihat kegelisahannya. "Hujannya gak akan berhenti meski kamu mondar-mandir seperti itu." Tiffany berhenti dan melihat Nick memberi kode agar duduk di sofa. Akhirnya dia menurutinya.

Sedari tadi Nick sedang membaca buku berjudul Salt, Fat, Acid, Heat oleh Samin Nosrat. Tiffany mengamati sampul depannya dari samping dan bergumam, "Meski chef sudah jadi seorang ahli tapi masih tetap baca buku masakan ya." Dia tersenyum tidak bisa menutupi kekaguman pada pria yang duduk di sebelahnya.

Nick ikut menyunggingkan senyum, "Menjadi ahli bukan berarti kamu berhenti belajar."

Tiffany menangguk setuju. "Em, aku punya buku yang kayaknya cocok buat kamu baca." Nick beranjak dari tempatnya dan berhenti di depan kamar pintu. "Kemarilah..,"

Tiffany mengikuti Nick yang berjalan masuk ke dalam kamar. Ini pertama kalinya dia memasuki kamar pria dan tidak perlu diragukan lagi kalau kamarnya sangat rapi. Warna abu-abu mendominasi seluruh sisi berkonsep minimalis yang tidak terkesan dingin.

Nick mengambil salah satu buku di jajaran rak yang terpasang di dinding. Sebuah buku bersampul tebal dengan judul Grand Livre de Cuisine karya Alain Ducasse. Dia menyerahkan bukunya pada Tiffany lalu teringat sesuatu, "Ella juga suka baca ya? Hari itu aku lihat banyak cerita anak di rak."

"Iya, dia suka baca. Bahkan tiap malam, aku selalu baca cerita untuknya sebelum tidur," ujarnya.

Mereka berjalan keluar dan kembali duduk di sofa. Nick meliriknya dari samping dan kedua sudut bibirnya terangkat. "Kamu sayang banget ya sama Ella."

Tiffany hanya menanggapinya dengan kekehan kecil. Nick kembali melanjutkan, "Wajar sih karena usia kalian terpaut jauh. Coba kalau tidak, pasti kalian sering berantem," guraunya.

Mata Tiffany yang semula menjelajahi barisan kata dalam buku itu pun berhenti. Fokusnya menjadi kacau dan dia segera mencari cara agar Nick tidak melanjutkan pembicaraannya. "Chef, ini artinya apa?" Berhubung buku yang dia baca berbahasa Inggris, dia menggunakan alasan itu agar mengalihkan fokus Nick padanya.

Nick memberitahukan artinya dan Tiffany bersyukur karena setelahnya Nick juga ikut tenggelam dalam buku yang dia baca. Hampir satu jam dan sepertinya hujan masih setia menjadi alunan dalam keheningan mereka. Lambat laun mata Tiffany terbuka tutup dan akhirnya menutup sempurna.

Selesai meletakkan bukunya di meja, Nick tersenyum menyadari Tiffany yang terlelap dengan buku yang masih terbuka di pangkuannya. Dia berjalan masuk ke kamar dan kembali membawa sebuah selimut.

Diambilnya buku itu dan membaringkan Tiffany pelan lalu menyelimutinya. Dia terduduk di lantai dan mengamati wajah Tiffany. Cukup lama sampai dia berbisik, "Bolehkah kali ini aku memiliki seseorang yang berharga?"

**

Perlahan dia membuka matanya dan bayangan pertama yang dia tangkap adalah wajah Nick yang begitu dekat. Dia mengerjap beberapa kali lalu sadar kalau Nick duduk di lantai dengan kepala berbaring menghadapnya. Sontak dia bangkit dan gerakannya ikut membangunkan Nick.

"Hujannya sudah berhenti, aku harus pulang." Dia segera beranjak.

Nick yang kesadarannya baru kembali langsung mengecek jam dinding. "Tidak boleh, sekarang sudah jam satu, Tiffany."

"Kenapa chef tidak membangunkanku?" Sebenarnya kesalahan dia juga karena tidak bisa menahan kantuknya.

"Aku sudah menelepon Ibumu jadi kamu tidak perlu khawatir," ujarnya santai sambil memijit pelan leher belakangnya.

Telepon Ibu? Dia buru-buru mengecek ponselnya dan benar saja ada riwayat panggilan dia dengan Ibunya. Dia tidak habis pikir dengan Nick. Bagaimana kalau Ibunya berpikir macam-macam tentang mereka.

"Terima kasih tapi aku akan tetap pulang."

Nick memegang pergelangan tangan Tiffany yang tetap kukuh pada pendiriannya. "Kamu juga gak bakalan dapat kendaraan umum di jam segini."

"Pasti ada kok," balasnya yang sebenarnya juga ragu.

Nick menghembuskan napas pelan. "Jangan bandel, Tiffany. Aku akan membiarkan kamu tidur di kamarku dan aku tidur di sofa."

"Tidak, tidak ... aku aa," teriaknya karna tiba-tiba tubuhnya sudah terangkat. "Chef, kamu mau apa?!"

"Biar kamu gak lari," ujar Nick masih dengan nada santai dan menidurkan Tiffany di kasur. Dia meletakkan sebelah tangannya menutupi mulut Tiffany karena tahu perempuan itu akan mulai menyanggah. "Jangan protes dan anggap saja kamu ini tamuku." Dia menurunkan tangannya dan masih bersitatap dengannya. "Selamat malam," ujarnya lalu keluar menutup pintu kamar.












Malam, ayok tidur :'))
.
untung gue sadar...
kalau di part 9, ada plot hole..
ada yang sadar gakk? 😢😢
itu berhubungan sama perubahan Tif waktu baca buku tadi...
Dan untung Nick juga gak sadar 😂😂
hhha..

Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang