Mara memeluk tubuhnya sendiri sambil sesekali menggosok dan meniup tangannya berkali-kali. Cuaca malam ini sangat tidak seperti biasanya. Mara pikir malam ini akan seperti biasa, jadinya ia tidak memakai sweater ataupun jaket untuk menghangatkan tubuhnya.
Mara mendongkak menatap langit gelap di malam hari yang tidak terlalu di penuhi bintang-bintang seperti malam kemarin. Mara menutup kedua matanya mencoba merasakan semilir angin yang menerpa kulit wajahnya.
Selama beberapa saat hening menyelimuti dirinya. Tenang. Damai. Tidak ada seorang pun yang menggangu dirinya, meski dia tau malam ini cukup ramai.
Tapi tidak lama kemudian ia tersentak kaget kala sebuah tangan seseorang menyampirkan jaketnya di pundak Mara dan beralih memeluk Mara dari belakang.
Mara menoleh ke arah samping dan mendapati wajah seseorang yang sudah biasa baginya. Damar Zulam, pria yang memberikan kehangatan kepada Mara.
"Mara, kedinginan ya?! " tanya Damar sambil meletakan dagunya di bahu Mara.
"Lo apa-apaan si dam? Lepasin gak! " ujar Mara memberontak di dalam pelukan Damar.
"Gak mau" Damar tidak menggubris, ia malah mempererat pelukannya. Ck! Mara berdecak "Lepasin dam, malu di liatin banyak orang" ujar Mara sambil mengamati sekitarnya.
Damar berdecak seraya melepaskan pelukannya. "Ngapain lo disini?" tanya Mara seraya berjalan menjauh dari Damar.
"Kamu ngapain disini?" ujar Damar balik bartanya, sambil kembali mendekati Mara yang tadi menjauhinya. "Semuanya pada di sana, kenapa kamu misah sendiri?" lanjut Damar sambil menatap Mara di sebelahnya.
"Gak ngapa-ngapain, cuma pengen ngadem doang" jawab Mara sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kalo gitu buruan ngademnya, festivalnya udah mau di mulai tuh" ujar Damar sambil menunjuk tem-temannya yang lain dengan dagunya.
"Duluan aja! Nanti Gue nyusul" ujar Mara santai. "Yaudah!" jawab Damar. Seperdetik detik kemudian hening menyelimuti mereka.
Menyadari Damar tidak kunjung beranjak dari tempatnya, Mara menoleh heran "Terus kenapa lo masih di sini?" tanya Mara.
"Nemenin kamulah.." ujar Damar santai seraya tersenyum lebar. Lama mereka dalam keadaan seperti ini, sampai akhirnya Mara memalingkan wajahnya tanpa berkata apa pun.
Karena merasa canggung dengan keadaan sekarang ini, Damar mencoba mancari topik pembicaraan, tapi tak kunjung di temukannya. Sampai akhirnya Damar memutuskan untuk mengungkapkannya sekarang. Damar menarik nafas panjang mencoba mentralkan detak jantungnya.
"Kalo lagi kaya gini, jadi keinget pertama kita jumpa ya.. Mar?! Waktu itu dengan tanpa dosanya aku ninggalin kamu setelah aku basahin seragam kamu" ujar Damar seraya menatap ke dapan-tak lagi memerhatikan Mara.
"Dan pas si sekolah, dengan bodohnya aku terima tantangan si kunyuk Raka buat main TOD pake pesawat kertas, yang mengharuskan aku buat deketin cewek yang kena pesawat aku" ujar Damar lagi, sambil mengingat-ingat apa yang selanjutnya terjadi.
“Dan pesawat milikku kena sama kamu, yang dengan otomatis aku harus deketin kamu" ujar Damar seraya tersenyum tipis di akhir kalimatnya dan menunduk.
Damar kembali menengadah dan melanjutkan ceritanya lagi. "Di saat itu, aku coba buat deketin kamu, awalnya sih gak pake perasaan, tapi sekarang... Aku jadi kayak punya penyakit jantung kalo deket-deket sama kamu" ujar Damar malu-malu.
Mara yang tidak mengerti ucapan Damar yang barusan, memilih memalingkan wajahnya ke arah Damar dengan ekspresi bingung.
"Maksudnya?!" tanya Mara, dengan dahi yang mengkerut dan alis yang saling bertautan.
Damar memiringakan badannya ke arah kanan, tepatnya ke arah Mara. Dan sekarang mereka saling berhadapan.
Sebelum manjawab pertanyaan Mara, Damar terlihat tersenyum tipis ke arah Mara "aku suka sama kamu" ujar Damar dengan sekali tarikan nafas.
Seketika mata Mara terbuka lebar, mulutnya pun sedikit terbuka. Bisa di lihat bahwa Mara sangat amat terkejut sekarang.
"Kamu mau kan jadi pacar aku?" ujar Damar, membuat jantung Mara berdegup kencang.
Untuk beberapa saat tidak ada jawaban, Mara masih terkejut dengan apa yang di ucapkan Damar. Hening menyelimuti mereka berdua, tak ada satu pun yang mencoba memcahkannya. Keduanya masih asik dengan pikirannya masing-masing.
"Aku tau lo masih ragu, aku juga tau kamu masih mikir-mikir apa jadinya kalo kamu jadi pacar seorang troublemaker" ujar Damar.
"Aku tau seorang troublemaker itu adalah diriku sendiri, bahkan aku seorang bad boy di sekolah, aku punya geng dan aku sering di hukum" ujar Damar lagi, semakin panas dengan pembicaraannya.
"Tapi aku bisa mastiin ke kamu" ujar Damar seraya menggenggam tangan Mara. "Bahwa aku bakal jadi Bad Boy Goals buat kamu.." Damar menggantung ucapannya, membuat jantung Mara semakin berdegup tak karuan. "Buat kamu, cuma buat kamu, gak ada yang lain" tegas Damar di setiap ucapanya yang berhasil membuat Mara melotot tak percaya.
Yang di katakan Damar memanglah benar, Mara ragu dengan semua hal itu. Tapi setelah mendengar apa yang barusan di katakan Damar, Mara jadi bingung. Apa yang harus dia lakukan? Apa dia harus menerima Damar? Atau justru menolaknya? Dia perlu waktu.
"Mm.. Damar.. Gue.. Mm.. " Mara terbata, seraya menunduk tidak mau menatap Damar yang tengah menatapnya.
"Aku tau kalau kamu perlu waktu. Aku rela tunggu jawabanyakok! Asal jangan lama-lama ya mikirnya, soalnya.. Nanti aku keburu di culik si nenek lampir" ujar Damar seraya memutar bola matanya di akhir kalimat.
"Nenek lampir? " tanya Mara kebingungan. "Iya, si Claudia" jawab Damar santai. Mara yang mendengar jawaban Damar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis.
"Terus lo–"
"OII.. BERDUAN MULU DAH.. SINI BURUAN, MAU DI MULAI NIH! " baru saja Damar ingin berkata lagi, tapi perkataannya terpotong oleh terikan temannya sendiri. Siapa lagi teman Damar yang suka teriak kalau bukan Raka.
"IYA.. BENTAR" jawab Damar kembali berteriak. "Yuk! " setelahnya Damar langsung menggamit tangan Mara dan sedikit menariknya agar segera berjalan.
***
Jangan lupa follow 👉Cipaow96_
Karya Anisa💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Goals
Teen Fiction[Teen-Fiction#1 by Rahma and Anisa] Damar Zulam. Gue paling gak suka sama pencintaan. Karena di dalam percintaan ada kata harapan, dan gue paling benci harapan. Tapi, meski begitu, gue tetep suka tebar harapan. Jangan salah, itu gue lakuin karena it...