Chapter 7

294 19 0
                                        






Pagi yang indah untuk sebuah musim gugur. Seperti biasa, Heera merasakan sedikit kram pada kakinya saat bangun. Dia tidak tau kenapa hanya saja itu sudah kesekiankalinya terjadi seminggu ini.

“Ini aneh bukan?” celotehnya pada perut besarnya. Secara tidak sadar, dia selalu mengajak kandungannya berbicara sekaligus mengumpat. Mungkin karena di rumah besar itu tak banyak yang bisa dia ajak bicara selain pada satu nyawa lain dalam dirinya karena tak mungkin dia mengumpati Jungkook pada Jieun atau pun sebaliknya. Jungkook selalu menjadi sumber ketidaknyamanan di mana pun dia berada.

“Bagaimana bisa kau menendang di dalam sana sementara kaki ku sulit digerakkan!” sergah Heera gemas.

Mungkin akan lebih baik jika dia berjalan-jalan sebentar pagi ini. Setelah menunggu beberapa saat hingga kram di kakinya menghilang, Heera segera beranjak turun keluar rumah. Berjalan santai melewati rimbunan pohon maple yang berguguran. Menikmati alunan angin beraroma khas musim gugur favoritnya....

Sedikit mendongak, Heera menatap langit yang terhampar begitu indah. Menenangkan. Membiarkan otaknya berhenti berfungsi sejenak hanya untuk menikmati suasana saat ini.

“Langit selalu menyenangkan....” bisiknya.

Tanpa disadari oleh wanita itu, beberapa meter dari tempatnya, seseorang terlihat asyik memerhatikan. Entah sejak kapan lelaki jangkung berparas tampan itu berada di sana tapi yang pasti saat ini, terlihat jelas melalui sorot matanya, iris Jungkook terfokus memandang sosok Heera. Pandangan dingin sekaligus datar turun perlahan hingga berhenti pada perut buncit Heera yang terlihat jelas dari balik daster tipisnya yang tertiup angin. Sejenak namja itu terperangah merasakan getar lembut menghampirinya.

Kurang dari lima bulan lagi, dari waktu yang seharusnya, dia akan segera mendapatkannya. Menggendong satu nyawa baru dalam pelukannya. Kehadiran baru yang telah Jungkook dan Jieun tunggu sejak lama.

Pandangan Jungkook beralih kembali ke atas memandang wajah sendu yang saat ini tengah terpejam damai. Pikirannya seolah hanyut dalam permainan yang telah dia ciptakan sendiri. Kembali pada perasaannya yang mulai terganggu dengan wanita itu. Apa itu mungkin? Jungkook bukanlah lelaki yang mudah terbawa perasaan karena separuh lebih hidup, hatinya hanya terisi oleh satu nama. Lee Jieun.

Menggeleng pelan. Jungkook segera membuang pikiran tak masuk akalnya jauh-jauh. Mungkin itu hanya perasaan sesaat atas rasa tanggungjawabnya sebagai seseorang yang memang harus bertanggungjawab atas anak dalam kandungan Heera. Segala perhatian yang dia berikan hanyalah sebatas rasa ingin memiliki buah hatinya semata. Tidak lebih. Setidaknya itu yang ia yakini saat ini.

Lelaki tampan itu berjalan perlahan mendekati Heera yang masih memejam, “Kau bisa tertabrak jika tidur di sini,” ucapnya berusaha setenang mungkin tapi sepertinya terdengar sama saja ditelinga Heera yang langsung membuka mata terkejut.

“Apa pedulimu aku mati sekalipun?!” Sengaknya sebal. Seolah kedamaian yang tadi dirasakannya lenyap seketika.

“Kau hanya peduli dengan anak ini saja bukan, dasar egois menyebalkan!” lanjutnya tak acuh.

Sejenak Jungkook menahan napas berhadapan dengan wanita itu.

“Mau berjalan-jalan?” tawarnya mengabaikan balasan yang hampir saja terlontar dari bibirnya untuk umpatan Heera barusan.

“Kau pikir aku sedang apa di sini jika tidak berjalan-jalan? Kau masih punya mata bukan? Atau kau juga kehilangan penglihatanmu seperti kau kehilangan rasa kemanusiaanmu, Inspektur? Ka---”

“Ikut saja,” potong Jungkook mengabaikan celotehan Heera yang selalu saja terdengar khas ditelinganya. Lelaki itu berjalan mendahului Heera yang menatapnya kesal namun pada akhirnya wanita itu berjalan mengekor Jungkook yang bahkan menoleh pun tidak.

Hollow Heels (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang