Chapter 4

355 23 0
                                        


'Ketika kau berjalan di atas kerikil tanpa alas apapun kau tak 'kan bisa menghindar untuk tidak terluka. Sebuah takdir adalah sesuatu yang Tuhan ciptakan untuk kita jalani, sesuatu yang tidak bisa kita hindari sekalipun kau berlari hingga ujung dunia. Tapi nasib, mungkinkah itu adalah hal yang bisa di ubah? Aku ingin megubahnya, nasib burukku.'

(Yoo Heera)

.

.

Heera meremas jemarinya. Resah. Dia benar-benar tidak sengaja melakukannya. Kekhawatiran jelas tergambar di wajah cantiknya yang sesekali melirik ruangan yang masih tertutup itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Jieun? Bagaimana jika lukanya benar-benar parah atau yang paling buruknya adalah... Bagaimana jika istri Jungkook itu mati?!

"Ouh bagaimana ini!" pasti Jungkook akan langsung membunuhnya jika itu sampai terjadi. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Jungkook saat membawa Jieun ke rumah sakit tadi. Wajah datarnya benar-benar seperti monster yang siap membunuhnya saat itu juga. Mata yang selalu menatapnya dengan dingin berubah menjadi merah seakan api tengah berkobar di sana. Untuk pertama kalinya dia benar-benar merasa takut pada lelaki itu.

Maniknya kembali menengok cemas ke pintu yang belum terbuka. "Kenapa lama sekali!?" desahnya gusar.

Tak tahan, Heera bangkit dari duduknya meninggalkan tempat itu untuk mencari udara segar sejenak. Menenangkan pikiran yang terasa ingin meledak saat ini. Langkahnya berhenti di taman halaman rumah sakit besar itu. Memandang sejenak sekitarnya.

"Di sini lebih baik," lirihnya mendudukkan diri di bangku taman. Menengadahkan kepala memandang langit cerah di atasnya.

"Andai hidupku sebersih itu," gumannya pelan. Matanya menerawang jauh menembus benteng masa lalunya yang telah ia kubur dalam-dalam. Hidup baginya adalah omong kosong. Tak ada yang namanya keluarga karena mereka hanya penghianat berselimut kedok hubungan darah. Tak ada yang namanya orang baik karena mereka hanya akan bersikap baik ketika butuh. Setelah itu? Dia akan dibuang dan dihina. Benar-benar omong kosong yang ingin dia lenyapkan selamanya!

Mata wanita itu memejam. Memikirkan takdir yang Tuhan berikan padanya. Kenapa dia harus terlahir dari orang tua yang bahkan tidak bisa mengingat namanya. Kenapa dia tidak bisa menyumpahi mereka dengan perkataan yang terburuk dan terlaknat meskipun mulutnya sangat ingin melakukan. Kenapa dia baru terlahir empat tahun setelah kakaknya yang dengan senang hati menukar dirinya dengan uang. Kenapa?

Kenapa nasib buruk membawanya pada polisi laknat itu?! Bahkan seorang dengan pangkat Inspektur dan disegani banyak bawahannya itu dengan bebas menjamah tubuhnya. Menyentuh bagian yang tak seharusnya dia sentuh. Merengut harga diri yang merupakan satu-satunya hal yang dia lindungi di hidupnya yang tak pernah jauh dari cacian. Semuanya benar-benar hanya omong kosong!

Helaan nafas panjang terembus dari bibir tipisnya. Tak ada gunanya merutuki keadaan. Dia sudah terlalu jatuh ke bawah saat ini. Tak ada seutas tali pun yang bisa membantunya merangkak naik. Hanya diri sendiri yang bisa merentasnya dari semua omong kosong ini. Dirinya sendiri.

Suara parau seseorang memaksanya untuk membuka mata. Menoleh datar pada sepasang kakek-nenek yang berdiri dan tersenyum ke arahnya. Sang nenek menyerahkan setangkai bunga mawar.

"Kami merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke 60.... Kami ingin berbagi kebahagiaan denganmu gadis cantik...." ujar sang kakek terbata. Bahkan nafasnya terlihat tersengal setelah mengucapkannya. Namun senyum tak luntur dari keduanya.

Tertegun. Heera menatap kosong mawar merah itu saat menerimanya. Kembali memandang sepasang tua berpakaian kembar itu, "Terimakasih," lirihnya hampir seperti bisikkan.

Hollow Heels (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang