Setelah makan Suho mengantarkan Laura pulang, Halin juga sudah tertidur di dalam pelukan Laura.
"Kau tunggu dulu." Suho berjalan turun dari mobil, dia berlari ke arah pintu Laura, membuka pintu dan mengendong Halin dengan pelan.
"Pelan-pelan," ucap Laura membantunya, mereka mulai berjalan masuk ke dalam rumah Laura. Laura mengarahkan Suho menuju kamarnya, membiarkan Suho pelan-pelan menaruh Halin di atas kasur. "Dia begitu manis."
Walaupun mendengar apa yang telah dikatakan Suho namun Laura tidak meresponnya, dia berjalan ke sebuah laci dan mengeluarkan popok untuk Halin.
"Popok?" Suho dengan bingung menatap Laura berjalan ke arahnya dan terjongkok di depan Halin, dia seperti ingin memakaikan Halin popok.
"Halin masih bisa ngompol."
"Biarkan aku memakaikannya." Suho menawarkan diri, namun Laura sedikit terkejut, kenapa Suho ingin melakukannya? Apakah karena dia penasaran atau apa? Mengantikan popok anak kecil bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Aku ingin mencobanya," lanjut Suho.
"Baiklah." Laura segera memberikan popok itu kepada Suho dan mengarahkannya cara memakai popok.
Suho begitu bodoh dalam hal ini, dia terlihat lugu, namun juga manis. "Direktur, saya rasa Anda siap menjadi seorang ayah," ucap Laura setelah Suho selesai memakaikan Halin popok.
Suho tidak mengerti, namun apakah Laura tahu indetitasnya? Dia menatap Laura dengan lekat.
"Kau percaya, aku adalah seorang ayah sekarang?" kata-kata tersebut, begitu mengejutkan.
"Anda sudah punya istri?" tanya Laura terkejut, dia melipatkan kedua tangannya di pinggir kasur dan duduk manis di atas lantai sambil menunggu respon Suho.
"Tidak."
"Eh?" Begitu terkejutnya Laura ketika mendengar jika sang direktur masih belum menikah namun sudah punya anak.
"Kekasihku sudah meninggal, dia meninggalkan seorang anak untukku."
Akhirnya Laura mengerti kenapa setiap membicarakan soal cinta, Suho selalu berubah tetapi dia merasa kisah Suho begitu mirip dengan kakaknya. Wajahnya yang awalnya ceria seketika terlihat murung. "Tidak hanya kakak yang memiliki kisah tragis, ternyata Anda juga, direktur," gumam Laura merasa iba. "Di mana anakmu sekarang? Saya yakin dia pasti adalah anak yang manis dan juga baik."Suho tersenyum menatap Laura, lalu kembali menatap Halin sambil memainkan tangan kecilnya. "Dia anak yang manis, namun dia tidak berada di sisiku sekarang, adik kekasihku menjaganya dengan baik." Kata-kata Suho membuat Laura semakin bingung, mengapa kisah Suho begitu mirip dengan dirinya.
"Jika aku bilang Halin adalah anakku, kau percaya?" Pertanyaan itu langsung membuat Laura membatu, dia tidak tahu apakah Suho sedang bercanda atau itu merupakan fakta? Dia adalah Suho, pacar kakaknya.
"Aku pacar kakakmu, Suho," gumam Suho, dia duduk di pinggir kasur, matanya tidak terlepas dari Halin, manusia munggil yang tertidur pulas "Kakakmu memang bodoh bukan? Mengapa dia.. jelas-jelas tahu jika dirinya tidak dapat mengandung, mengapa dia masih harus bertekad.."
"Dia sangat mencintaimu," sela Laura, dia menatap Suho dengan lekat, matanya mengatakan kepada siapapun jika sekarang pikirannya sangat kacau, namun sepasang mata itu adalah milik kakaknya, orang yang paling dicintai Suho. "Karena mencintaimu, kakak meninggalkanmu dan ingin melahirkan Halin diam-diam.. dia begitu mencintaimu."
"Saya pergi membuatkan susu untuk Halin dulu," ucap Laura segera berdiri meninggalkan Suho, walaupun merasa senang, namun di dalam hatinya mengatakan seribu kata tidak, mengapa dirinya begitu cepat menemukan ayah Halin? Itu berarti sebentar lagi dirinya akan berpisah dengan Halin, hatinya kini terasa sakit bagai seribu jarum yang menusuk.
Di dalam kamar Suho memerhatikan Halin, dia menyelimutinya dan terus memegang tangannya. Laura pelan-pelan berjalan masuk membawa sebotol susu, dia memasukkan dot botol susu ke dalam mulut Halin.
"Biar aku saja," bisik Suho segera memegang botol susu yang sedang di pegang Laura.
"Direktur," panggil Laura. "Boleh kamu tidak membawa Halin pergi?" tanya Laura, raut wajahnya begitu muram, dia berharap Suho dapat mengangguk, mengizinkan dirinya untuk menjaga Halin lagi.
"Kau bukan bilang jika menemukan ayah Halin, kau akan mengembalikan Halin padanya."
"Iya saya tahu," sela Laura. "Namun.. saya mohon.., jujur, saya tidak dapat kehilangan Halin. Halin merupakan satu-satunya keluargaku, Jika tidak ada dia, saya tidak tahu saya harus bagaimana lagi, dia merupakan seluruh hidupku. Saya mohon, direktur.."
Kata-kata Laura terdengar begitu mengharukan, bagaimanapun Laura adalah seorang perempuan yang hebat, dia belum menikah namun dia melepaskan masa mudanya untuk menjaga Halin yang bukan merupakan anaknya.
"Aku tidak bilang ingin membawa Halin sekarang. Bagaimanapun terima kasih telah merawatnya selama ini. Halin merupakan anakmu juga. Kamu punya hak untuk selalu di sisinya."
Laura langsung tersenyum, senyumannya begitu manis membuat Suho salah tingkah, dia langsung menunduk mengalihkan perhatiannya.
"Ah ya! Kakak meninggalkan sepucuk surat untukmu, tunggu sebentar," ucap Laura, dia segera turun dari kasur dan pergi ke lemarinya untuk mengambil surat itu.
"Ini," ucapnya sambil menyodorkan surat itu ke Suho, setelah itu, dia segera memegang botol susu Halin yang kini tinggal setengah, agar Suho dapat membaca surat tersebut.
Surat tersebut terdapat di dalam amplop yang di lem dengan baik, walaupun sudah menguning, namun tulisan di atasnya masih dapat terbaca dengan baik. Isi di dalamnya tidak lebih dari permintaan maaf dan juga kebenaran yang baru diketahui olehnya. Karena penyakit membuat dirinya tidak dapat hidup lebih lama lagi setelah melahirkan, makanya dirinya akan menyumbangkan matanya kepada adiknya 'Laura' dan memintanya untuk menjaga Halin dengan baik, dan lagi permohonan terakhirnya adalah dia berharap Suho dapat menjaga Halin dan juga Laura dengan baik, karena Laura merupakan adik satu-satunya yang dia miliki.
"Saya menemukan surat itu di dalam saku baju kakak setelah kakak meninggal, dia hanya meninggalkan itu dan juga sebuah cincin."
"Cincin?"
Laura pelan-pelan melepaskan botol susu yang sudah habis dari mulut Halin, dengan hati-hati mengeluarkan kalung di dalam baju Halin agar tidak menganggu tidurnya. "Ini.. cincin ini, saya rasa ini berhubungan dengan pacar kakak, jadi saya memberikannya kepada Halin.
Cincin tersebut, cincin polos yang terukiran 'S.H.' itu adalah cincin yang diberikan Suho di hari ulang tahunnya, dia memegang cincin itu dengan lembut agar tidak membangunkan Halin. "Maafkan saya," ucap Laura segera membungkuk. "Karena saya.. Anda dan kakak.. berpisah,saya tahu apa yang sedang saya katakan sudah tidak berguna.."
"Sudah, masalah itu sudah berlalu. Ini bukan salahmu juga. Sudah malam, istirahatlah."
Suho memasukkan surat tersebut ke dalam kantong celananya, lalu dia meranjak turun dari kasur dan berjalan keluar. Laura segera mengikutinya.
"Sampai sini saja, masuklah, besok pagi aku akan datang menjemput kalian," ucap Suho lagi.
"Baiklah," angguk Laura, dia pelan-pelan menutup pintunya setelah melihat Suho masuk mobil dan siap-siap meninggalkan pakiran.
Laura terjongkok di balik pintu merenungkan apa saja yang baru terjadi, dia seharusnya menyadari dari awal jika orang yang dicari-carinya selama ini ada di depan hadapannya.
Begitupun dengan Suho, sepanjang jalan dia memikirkan hal tersebut, bahkan sampai pulang, selesai mandi. Dia mengeluarkan surat dari kakak Laura dan terus membacanya berulang-ulang, MinJi berharap jika dirinya dapat menjaga Laura dengan baik. Dirinya dari awal bertemu Laura memang memiliki sebuah perasaan yang tidak dapat dikatakan, dirinya sendiri saja tidak mengerti perasaan seperti apa itu, namun dia baru menyadari jika dirinya telah menyukai Laura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh! My Father
Fanfiction[Complete story✔] Tiga tahun berlalu, Lee Laura membawa Halin pulang ke Seoul, Halin merupakan putrinya dan satu-satunya harapannya untuk tetap hidup. Demi menghidupi Halin, dia bekerja di sebuah perusahaan besar dan menjadi seorang asisten direktur...