Alysa menggaruk kepalanya yang terbalut rambut berpotongan seperti laki-laki. Dia bangun dari rebahan tempat tidurnya dan melangkah malas menuju kamar mandi pribadi. Disana dia hanya menggosok gigi dan membasahi wajah dengan beberapa gayung air saja. Setelah itu dia keluar dari kamar untuk menuju dapur.
"Allah huakbar! Anak gadis jam sembilan baru bangun! Mau jadi apa sih kamu, Lysa? Tiap hari nggak ada kerjaan, disuruh cari kerja nggak mau! Tapi bilang mau bahagia-in Ibu dan Ayah!" cerocos wanita paruh baya yang kini tengah duduk di salah satu kursi meja makan dengan tangan sibuk memetiki kacang panjang menjadi kecil-kecil. Namanya Elda, beliau adalah Ibu Alysa.
Sudah biasa di cibir seperti itu membuat telinga Alysa kebal. Dia tidak perlu menanggapi apalagi menyahut omongan Ibunya itu. Alysa lebih memilih segera mengambil nasi, lauk secukupnya lantas makan dengan tenang, sambil telinganya terbuka untuk mendengar kembali ocehan Ibunya yang semakin tua semakin doyan ngoceh, macam burung Beo.
"Kalo kamu berniat membahagiakan Ibu dan Ayah, harusnya kamu rubah penampilanmu. Jangan nonton-nonton konser Punk lagi!!" ucap Elda, sesekali melirik anak semata wayangnya yang berjenis kelamin perempuan namun kelewat laki-laki.
Dilihat dari penampilan, seorang Alysa Madinah memang lebih pantas di sebut laki-laki. Lihat saja penampilannya saat ini. Rambut dicukur model laki, pakaian serba hitam dan pastinya selalu bergambar kepala tengkorak atau jika tidak, pasti yang berbau Punk. Dia memang penyuka style yang berbau Punk-punk. Katanya sih, keren. Sekaligus, dia juga mantan anak seni, jadi wajar penampilannya agak urakan.
Bibir Alysa berkomat-kamit menirukan bagaimana Ibunya berbicara, lantas dia memasukkan nasi kedalam mulut dan mengunyahnya penuh kesal. Bukannya dia durhaka, hanya saja Ibunya itu sudah kelewat batas. Selalu mengomel dan tidak ada hentinya.
"Kamu itu sudah besar, Lysa. Bukan remaja lagi, melainkan dewasa. Pikirkan masa depan! Cari kerjaan! Dulu dibilang masuk ke Hukum aja nggak mau, ngeyel minta Seni. Sekarang, mau kerja apa kamu lulusan Seni? Ngelukis aja kamu masih kagok!"
Usai menghabiskan sarapan, Alysa beranjak dari kursi meja makan, membawa piring dan gelasny ke tempat cucian. Sambil mencuci piring, bibirnya masih komat-kamit menyumpah serapahi Ibunya.
"Atau, kalo kamu nggak mau kerja mending nikah! Jadi ada yang ngasih nafkah, kamu tinggal ngurus suami aja!"
Hampir saja piring di tangannya terhempas jatuh. Mata Alysa terbelalak lebar usai mendengar ucapan Ibunya. Nikah? Sama siapa? Bahkan di fikirannya tidak pernah sedikitpun tersemat bayang-bayang dirinya akan menikah kelak. Anak lontang-lantung seperti Alysa yang hobinya nonton konser Slank dan Tipe-X, menikah? Sepertinya tidak akan terjadi. Kepala Alysa menggeleng beberapa kali, tangannya kembali mengambil piring dan mencucinya.
"Lysa! Mau kemana kamu?" tanya Elda ketika melihat anaknya hendak pergi dari dapur.
"Mau tidur lagi! Masih ngantuk!" balas gadis itu, memandang Ibunya penuh kesal.
"Tidur terus yang kamu pikirin! Sini duduk!" ketus Elda, menunjuk kursi di depannya yang terhalang meja makan.
Dengan kaki yang di hentak-hentakkan, Alysa terpaksa duduk di kursi yang sebelumnya dia duduki untuk sarapan. Memandang Ibunya dengan ekspresi cemberut yang sebenarnya tidak pantas dia ekspresikan. Tampang laki-laki, biasa menyolot, kini memasang ekspresi cemberut. Bukan Alysa sekali.
"Sepertinya kamu memang harus menikah. Ibu udah nggak kuat ngurus kamu."
"Ibu.... Apaan sih?! Memangnya siapa yang minta diurusih? Aku nggak minta, ya!"
"Apa Ibu jodohkan saja, kamu dengan Retno?" ucap Elda tanpa ada rasa ragu untuk memutuskan.
"A-Apa?! Ret-Retno?" Alysa syok setengah mati mendengar nama lugu itu. Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap Ibunya nyalang, "Retno anak komplek sebelah? Nggak! Aku nggak mau nikah sama si culun itu!" teriaknya.
Retno Dewantoro. Alysa jelas tahu Retno itu siapa. Retno adalah mantan Kakak kelasnya waktu SMA. Laki-laki bertubuh tinggi, selalu memakai kaca mata minus yang selalu bertengger diatas hidung juga adalah tetangganya, hanya saja berbeda komplek perumahan.
"Memangnya kenapa? Retno mapan. Dia kerja di perusahaan besar sebagai manager keuangan, udah punya rumah juga dan katanya lagi cari calon. Orangtuanya juga Ibu sudah kenal. Dia kan anaknya teman SD Ibu, dulu." jelas Elda yang jelas-jelas tidak ingin Alysa ketahui.
Mendengar namanya saja sudah muak. Apalagi jika ia menikah dengan Retno si kutu buku itu? Ewh, bisa-bisa Alysa kehilangan tampang kerennya. Sekali lagi dia menggeleng. Kali ini menggeleng dengan tegas. "AKU NGGAK MAU NIKAH SAMA RETNO! MAUNYA SAMA KAKA SLANK!" teriaknya lantang.
Elda membuka telinganya yang barusan sempat di tutupi karena suara cempreng anaknya. Beliau tidak habis fikir akan di karuniai anak seperti Alysa. Apa salahnya dulu? Kenapa harus memiliki anak seajaib Alysa? Padahal dulu beliau sewaktu hamil Alysa selalu melantunkan surah-surah pendek agar anaknya lahir kelak menjadi anak soleh dan solekhah. Namun yang keluar malah Alysa, anak perempuan berperilaku laki-laki dan tidak memiliki sifat solekhah sama sekali. Bahkan rambut panjang hitam lebat yang sudah dia miliki saja sampai di potong menjadi cepak macam laki-laki. Untung saja tidak di warnai.
"Retno mirip kok sama Kaka Slank." balas Elda.
"Mirip dari Hongkong!"
"Tapi Ibu nggak akan merubah keputusan. Kamu harus nikah sama Retno. Ayah juga pasti setuju." ucap Elda, percaya diri.
"NGGAK!" teriak Alysa, lantas dia beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja.
Sambil berlari, tangannya menyerobot kunci motor di meja ruang keluarga. Kini mood nya sedang buruk. Dan untuk menghilangkannya Alysa butuh piknik. Kakinya melangkah gontai menghampiri motor matic yang terparkir depan pekarangan rumah. Dia mengendarai motor itu keluar dari area rumah. Tujuannya saat ini adalah ke lapangan basket komplek sebelah. Alysa biasa kesana jika fikirannya sedang kalut. Dia akan duduk di atas motor yang pastinya sudah di parkirkan lebih dulu di tengah-tengah lapangan. Membiarkan tubuh dan motornya terpapar matahari.
Karena lapangan basket berada di ujung perumahan komplek sebelah, tepatnya komplek yang di huni oleh Retno. Dia tanpa sengaja melewati rumah mewah bertingkat dengan warna serba hitam dan abu-abu. Mata tajamnya melirik ke rumah itu dan melihat Retno yang tak lain adalah mantan Kakak kelasnya itu sedang duduk di teras rumah. Sepertinya laki-laki culun itu sedang dalam keadaan membaca buku. Alysa segera melajukan motornya lebih kencang sambil bergidik ngeri. Melihat penampilan Retno saja perutnya sudah menolak dan bahkan mual.
Tiba di lapangan yang kini sepi tanpa penghuni, Alysa melajukan motornya ke tengah lapangan. Di jam-jam sembilan seperti ini memang lapangan basket selalu sepi, karena para anak-anak remaja akan lebih suka main di mall di hari minggu macam ini.
Dalam diam, Alysa memikirkan perkataan Ibunya. Bisa-bisanya Ibunya itu menjodohkan anak dengan sembarang orang. Apalagi si Retno yang dipilih! Bukan tipenya sekali. Ibunya pasti bercanda. Tapi di lihat dari raut wajah ketika mengatakan itu, ada sebuah keseriusan. Alysa menghela nafas kasar sambil mengacak rambutnya. "Retno.. Retno... Masa lo mau jadi laki gue?" gumamnya, tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Absurd (Tamat)
ChickLitIni hanya tentang sebuah rumah tangga yang di bangun secara dadakan, macam tahu bulat dan di jalani secara terpaksa, macam cintanya Siti Nurbaya.