Alysa melayangkan bokongnya diatas sofa. Baru saja ia tiba di rumah Elda, setelah tadi habis cari makan siang di luar, jadi sekalian ia mampir ke rumah Ibunya. Ia mencomot segenggam pilus kacang lantas memakannya secara bertahap. Pandangannya lurus menghadap sang Ibu yang tengah rajin merajut syal. “Anak tiri kesayangan Ibu kemana?” tanyanya.
“Sekolah dong.” jawab Elda, tanpa repot menghentikan aktivitasnya dan mendongak untuk menatap lawan bicara.
“Lhoh, ngapain disekolahin? Kalo gitu ya sama aja! Ibu masih tetap kesepian, sendirian! Gunanya Morena disini itu biar Ibu ada temannya.” Alyaa bersungut-sungut marah.
“Dia kan butuh sekolah, Nak. Kamu aja dulu di sekolahin, masa adikmu nggak.”
“Dia bukan adik aku, Bu! Dan jangan sama-samain kedudukan aku sama dia! Beda jabatan! Beda tingkat! Dia anak buangan, aku anak kandung.”
Entah kenapa setiap membahas tentang Morena, emosi Alysa akan meluap-luap. Perasaannya jadi gegana.
“Sudahlah, kalian itu sama. Ibu juga udah masukin Rena ke daftar KK kita.”
“Bodo amat!”
Setelah mengatakan itu, Alysa beranjak dari duduknya. Tanpa permisi ia pergi begitu saja. Memasangkan helm motor sambil bersungut-sungut, “Mending gue ke rumah Risma aja, daripada disini amarah gue kebakar terus!” lantas menyalakan motor dan meninggalkan pekarangan rumah.
Dua belas menit menempuh jalan, kini motor Alysa sudah terparkir di pekarangan rumah Risma. Tanpa perlu mengetuk pintu dan mengucap salam lebih dulu, ia masuk begitu saja ke rumah megah itu. Tiba di ruang keluarga, nampaklah sosok yang dicari-carinya. Risma, sahabat kuliahnya dulu kini tengah asik duduk di lantai sambil bermain dengan anaknya yang masih berusia dua tahun.
“Haduhh... Nggak siang, nggak malem yang namanya Jakarta selalu macet!” ujar Alysa, mengambil duduk di sebelah Risma, menselonjorkan kedua kakinya tanpa malu.
Risma menoleh, “Masih inget sama sahabat, lo? Mentang-mentang udah kawin, sekarang udah jarang main!” sindirnya.
Namanya Risma Ariesta, kedudukannya setara dengan Nunung, alias sama-sama sahabat. Mereka bertiga bersahabat sejak awal MOS. Dulu, waktu jaman-jaman kuliah, Alysa, Nunung dan juga Risma itu adalah mahasiswi yang paling sering melanggar peraturan kampus. Yang jarang masuk kelas juga, karena mereka lebih mementingkan nonton konser daripada masuk kelas, tapi sekalinya masuk kelas disana hanya tidur. Serta jarang mengumpulkan tugas. Mentang-mentang seni, ketiganya selalu meremehkan mata kuliah.
Risma ini sudah menikah tiga tahun yang lalu. Dan dia sudah vakum dari dunia Punk juga, jadi sekarang dia mantan anak Punk.
“Kawin-kawin, lo kira gue ayam apa!” Alysa menyahut bersungut-sungut.
“Mirip.” balas Risma si Bumil alias Ibu hamil itu, seraya mengangkat Krisna—anaknya, ke pangkuan.
Alysa tidak menyahuti lagi. Ia memandang aktivitas Risma yang tengah mengelus-elus rambut Krisna penuh sayang. Lalu pandangannya beralih pada perut buncit Risma. “Udah berapa Bulan sih, lo?”
“Lima. Kenapa emang?”
Kepala Alysa menggeleng. Busyeett... Suami Risma jago juga ya bikin bini mlendung tiap tahun, pikirnya.
“Krisna baru dua tahun udah mau nambah lagi. Nggak repot lo?” tanyanya, seraya menggeser duduk menjadi lebih dekat dengan Risma agar bisa bermain bersama Krisna. Ia menoel-noel pipi halus Krisna dan sesekali mencium paksa pipi itu.
“Banyak anak banyak rezeki, Nyet! Nggak repot-repot amat sih, malah seneng. Jadi orangtua itu seneng tau!”
“Banyak anak banyak utang, kali! Seneng gimana maksud lo?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Absurd (Tamat)
Chick-LitIni hanya tentang sebuah rumah tangga yang di bangun secara dadakan, macam tahu bulat dan di jalani secara terpaksa, macam cintanya Siti Nurbaya.