Kaki Alysa melangkah dengan hentakan kasar, masuk ke rumah Retno. Wajahnya terlihat kusut, mata sembab, rambut urakan. Dan itu semua gara-gara Retno yang tidak mau mengantarkannya pulang. Alhasil, karena Alysa sudah muak di rumah Bunda, ia meminta Retno untuk membukakan pintu depan yang katanya tinggi itu, lantas pulang seorang diri.
Ia harus berjalan 200km menuju lampu merah untuk menghadang mobil apapun yang terpenting terbuka, untuk ia naiki alias numpang. Akhirnya setelah satu jam perjalanan kini tubuh Alysa bisa rebahan. Ia merebahkan tubuhnya di senderan kepala sofa yang ada di ruang keluarga. Mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal karena terlalu lama berlarian, sambil sesekali mengelap peluh.
“Kamu udah sampai? Naik apa?”
Suara yang bikin telinga Alysa jadi panas tiba-tiba terdengar. Mata Alysa sebelumnya tetutup jadi terbuka lebar, menoleh ke Sumber suara itu. Ia melihat Retno berdiri di samping sofa yang di dudukinya. Mata Alysa melotot tajam, menjawab dengan ganas, “Naik Onta!” lantas malingkan wajah kearah lain.
Bukannya marah, Retno justru geleng-geleng kepala. Tangan kanannya terangkat, memperlihatkan plastik putih berukuran sedang ke hadapan Alysa, “Bubur, buat sarapan.”
Sepuluh detik tidak ada sahutan. Akhirnya Retno meletakkan bawannya di meja lantas ia berlalu masuk ke kamar. Nggak guna juga ngurusin orang yang lagi ngambek, pikirnya.
Setelah melihat Retno sudah benar-benar masuk ke kamar dan menutup pintu, barulah Alysa beraksi. Ia ambil plastik itu dan melongok isinya sambil melangkah menuju dapur. Ternyata isinya bubur dua porsi.
Dua porsi? Yang satu buat siapa?
Retno doyan bubur? Doyan bubur tapi nggak doyan nasi? Alysa geleng-geleng kepala, ia tidak peduli ini satu bubur untuk siapa. Yang jelas akan ia habiskan semuanya. Nggak mungkin juga Retno doyan bubur. Orang dia nggak doyan nasi. Apalagi bubur! Yang bentuknya seperti....
Tidak sampai lima menit, satu porsi bubur sudah Alysa tandaskan. Kini ia membuka bubur satunya lagi dan mulai memakannya.
“Kamu makan semua buburnya?” Retno masuk ke dapur sambil mulutnya memberi pertanyaan. Lelaki itu duduk di depan Alysa, memandang Alysa tidak percaya.
Tanpa mau menghentikan aksi makannya, Alysa menganggukkan kepala.
“Itukan bagian aku.” suara Retno terdengar sedih.
Barulah kepala Alysa mendongak, “Gue kira lo nggak doyan bubur, jadi gue makan semuanya. Lagian ya, gue laper banget! Selama di rumah Bunda, gue tuh jarang makan. Malu, makan di rumah orang.” katanya, lantas lanjut menghabiskan bubur.
Bohong banget! Kalau jarang mandi, itu baru iya!
“Kenapa malu?” iseng-iseng Retno bertanya. Lelaki itu mau tidak mau pagi ini hanya bisa meminum susu saja.
“Ya malu lah! Mau makan banyak, ntar dikira gue gila makan!” balas Alysa. Ia memasukkan semua wadah bekas bubur ke dalam plastik dan melemparnya ke tong sampah di dalam dapur. “Eh, lo nggak kerja?” tanyanya, ketika baru menyadari bahwa Retno masih mengenakan pakaian santai.
Retno balas menggeleg. “Nggak, aku cuti sehari, capek.”
“Mana oleh-oleh dari Lombok-nya?”
“Nggak ada. Aku disana kerja, bukan liburan.”
“Emang dasarnya pelit ya pelit ajalah. Kalo orang peka mah, walaupun disana kerja dia bakalan tetep beli oleh-oleh buat istrinya.” sindir Alysa.
Ini masih pagi. Karena Retno tidak mau debat dengan Alysa, ia lebih memilih beranjak pergi, mengacuhkan cerocosan Alya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Absurd (Tamat)
Chick-LitIni hanya tentang sebuah rumah tangga yang di bangun secara dadakan, macam tahu bulat dan di jalani secara terpaksa, macam cintanya Siti Nurbaya.