Si mamat beli kaca, selamat membaca!
Lah, Mamat beli kaca buat apa?
Buat nimpuk readers yang gapernah vote, tentunya!😁
Canda, ah!
||
“Mau kemana, No?”
Suara serak penuh kelemahan itu mampu menghentikan langkah Retno. Ia menoleh, menatap Bundanya yang kini berbaring di tempat tidur sendiri.
Ya, Bunda Retno sudah di bolehkan untuk pulang. Sekitar tiga jam lalu mereka baru tiba di rumah.
“Mau ke luar sebentar, Bun. Aku tinggal dulu, ya?” jawabnya, sedikit ia sematkan sebuah senyum untuk menenangkan isi hati Bundanya.
Bunda mengangguk, Retno kembali melanjutkan langkahnya keluar dari kamar Bunda. Ia berniat untuk berjalan-jalan keliling kompleks, tepatnya sih ke lapangan yang ada di ujung kompleks. Tempat yang sering di kunjungi Alysa ketika menjelang sore hari atau minggu pagi-pagi. Dan, entah kenapa ia ingin kesana. Merindukan Alysa, membuatnya ingin melakukan apa yang sering Alysa lakukan. Tapi, bukan berarti Retno juga ingin ikut-ikutan nge-pank naik tronton seperti kebiasaan Alysa. Tidak. Apalagi nonton konser.
Sekitar lima menit berjalan kaki, Retno sampai di tempat tujuan. Ia pandangi lapangan yang berlantai plester itu. Tidak peduli terik matahari sore ia tetap di tempat sampai akhirnya mata itu menemukan sebuah warung. Retno ingat warung itu. Warung yang sering Alysa jadikan tempat menghutang. Ia tahu itu dari penjualnya sendiri, yaitu Pak Nur, begitu Retno memanggilnya.
Retno menghampiri warung Mas Nur sekedar untuk menepi dari panasnya matahari sore. Ia menyapa ramah pada Mas Nur lantas duduk di bangku panjang depan warung.
“Tumben Mas Ret kesini.” Mas Nur mulai basa-basi, dia keluar dari dalam warung untuk menghargai kedatangan Retno. Untuk masalah panggilan, Mas Nur lebih suka memanggil Retno dengan sebutan ‘Ret’, karena jika memanggil nama Retno langsung, Mas Nur berasa memanggil nama Ibunya sendiri. Tahu sendirilah, nama Retno kan lebih identik dipakai untuk perempuan.
“Iya, Pak. Lagi kangen Alysa, jadi saya kepikir kesini. Disinikan tempat biasa dia main.” Retno menjawab. Pandangannya tidak lepas menatap lapangan di depannya. Mungkin juga ia sedang membayangkan Alysa sedang jungkir balik di tengah lapangan.
Mas Nur ikut duduk di sebelah Retno, “Loh, memangnya Alysa dimana?” tanyanya sekedar basa-basi.
“Saya juga nggak tahu, Pak dia dimana. Udah seminggu lebih dia nggak pulang rumah dan sekarang saya bingung mau mencari kemana.” Retno malah kebablasan curhat kepada Mas Nur.
Raut wajah Mas Nur menjadi sedih memandang Retno. Benar yang Mas Nur pikirkan, Retno pasti bingung dimana harus mencari Alysa. Yah, walaupun sebenarnya Alysa ada di dekat sini.
“Ehm, sebenarnya saya tahu Alysa ada dimana, Mas.” ujar Mas Nur. Beliau tidak tahan lagi ingin mengutarakan kebenaran ini. Bukan apa-apa, selain kasian pada Retno, dia juga sudah ogah memberi tumpangan pada Alysa. Selain tamu songong, Alysa juga tamu yang semakin hari semakin ngelunjak.
Kepala Retno menoleh secepat kilat. Matanya berbinar menatap Mas Nur, bahkan raut sedihnya sudah berubah menjadi terkejut. “Benar, Pak? Bapak tahu dimana Alysa?” tanyanya, tidak percaya.
Mas Nur mengangguk, “Iya. Selama ini sebenarnya Alysa ada di kontrakan saya, Mas.” aku Mas Nur agak tidak enak. Takut-takut Retno malah marah karena dikira ngumpetin Alysa. Padahal ogah banget ngumpetin Alysa, mending ngunpetin duit sekarung, dah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Absurd (Tamat)
Literatura FemininaIni hanya tentang sebuah rumah tangga yang di bangun secara dadakan, macam tahu bulat dan di jalani secara terpaksa, macam cintanya Siti Nurbaya.