Mata Alysa menatap aneh pada sekelilingnya, tepatnya pada sebuah ruang tamu di rumah Retno yang semua warnanya serba biru muda. Dari mulai dinding, gorden, sofa dan untungnya lantai yang ia pijak tidak berwarna biru, melainkan coklat susu. Rumahnya cukup besar.
Pemilik rumah yang kini kedua tangannya meneteng dua koper lantas melangkahkan kakinya agar berdiri sejajar dengan Alysa. “Ayo, aku tunjukkan kamar kita,” katanya, lalu mendahului Alysa.
Bola mata Alysa hendak saja terjatuh jika sang pemilik tidak segera mengendalikan diri. Ia menatap Retno yang jalan lebih awal. Segera Alysa berlari mengejar Retno yang kini sudah masuk ke dalam sebuah ruangan. “Kamar kita? Gue nggak mau ya, sekamar sama lo! Nggak! Emang disini nggak ada kamar lagi? Cuma satu? Kalo iya, mending gue cari kos dekat sini aja, daripada harus tidur seranjang sama lo!” cerocos Alysa, dia menarik kopernya di genggaman Retno.
Tanggapan Retno hanyalah menghela napas. Sepertinya ia harus memiliki usus panjang untuk menghadapi Alysa seorang diri. Ya, dia harus sabar. Punya istri mulut cobek itu harus memiliki sifat sabar yang tinggi. Untung saja yang menikah dengan Alysa adalah dirinya, bukan lelaki lain. Jadi para kaum Adam di Dunia ini bisa terselamatkan dan harusnya mereka berterimakasih pada Retno.
“Ada dua kamar,” ucap Retno.
Wajah lesu Alysa berganti menjadi binar. Dia menarik tangan Retno, menyeretnya keluar dari kamar itu. “Nah, sekarang lo masuk ke kamar lo sendiri, karena ini adalah kamar gue.” katanya, diakhiri dengan senyuman manis yang jelas pastilah atas dasar keterpaksaan.
Alysa menutup pintu kamar yang kini telah resmi menjadi kamarnya. Ia merebahkan tubuh diatas tempat tidur. Matanya memandang langit-langit kamar. Ia berfikir. Menikah dengan Retno ternyata ada untungnya juga. Selain ia bisa terbebas dari aturan Orangtua yang semakin hari semakin mengkekangnya saja, ia juga diberi fasilitas apa saja oleh Retno. Contohnya seperti uang belanja rumah tangga, yang biasanya para istri habiskan untuk belanja kebutuhan rumah. Tapi kalau Alysa tidak, dia akan menghabiskan uang itu untuk berfoya-foya seperti makan di Mall dan belanja baju-baju distro keluaran terbaru yang pastinya bergambar Punk Rock dan warnanya hitam.
Asik dalam khayalan indahnya, membuat mata Alysa sayup-sayup menutup. Dia mulai tertidur, dengan posisi tubuh telentang. Air liur keluar pada kedua sudut bibir Alysa, bersamaan dengan dengkuran keras. Padahal ini baru jam 12 siang, tapi itu tidak menutup kemungkinan untuk ia tidak terlelap. Begitulah Alysa, tidurnya tidak pandang waktu dan tempat. Kapanpun jika ia memang benar-benar ngantuk, pasti akan tertidur. Dan dimanapun jika matanya mulai akan tertutup, ia juga akan tidur di tempat itu. Sekalipun di tong sampah.
Berbeda dengan Alysa yang siang-siang begini malah sibuk membuat pulau dengan air liurnya, Retno justru memilih bersih-bersih. Walaupun seminggu sekali ia berkunjung ke rumah ini, tapi tetap saja harus di bersihkan, karena debu datang kapan saja. Seperti saat ini, setelah beres membersihkan kamar yang tujuan dibuatnya untuk sang anak kelak, namun sudah berganti yaitu untuk dirinya, kini tinggallah membereskan area dapur. Dapurnya sih bersih, hanya lantainya yang perlu di sapu lalu di lap.
Usai dengan semua pekerjaannya, Retno mendudukan diri di kursi meja makan. Membasuh buih-buih peluh di dahi, menggunakan lengan. Nafasnya agak memburu, karena ia sedang di landa lelah.
“Retno... Lo dimana sih...? Retno...”
Suara Alysa terdengar samar-samar. Cepat kilat Retno beranjak, berjalan cepat mencari keberadaan istrinya. Yang ternyata tengah duduk di ruang keluarga dengan kedua tangan sibuk mengucek-ucek mata macam anak kecil. Retno memilih duduk di sofa depan Alysa. Menatap sang istri dengan beberapa kerutan di dahi. Ia berfikir. Kenapa harus dirinya yang memiliki istri tidak tahu malu? Di depan suami, bukannya tersenyum manis ini malah ucek-ucek mata. Sangat tidak sopan dan tidak patut di tiru. Ini adegan berbahaya.
“Lo habis darimana, sih? Daritadi gue panggil-panggil, juga!” dengus Aylsa, menatap sebal pada suaminya.
Sontak kepala Retno tertunduk, dia takut dengan ekspresi wajah garang yang kini tengah Alysa perlihatkan. Buru-buru Retno menjawab, “Ak-aku, habis beres-beres dapur,” suaranya terdengar bergetar dan terburu-buru.
“Masak?” Retno menggeleng. Boro-boro masak, bahan saja sama sekali tidak ada. Bahkan kulkas juga belum ia nyalakan. Dan lagi, bukannya yang bertugas memasak adalah Alysa?
“Terus ngapain aja lo di dapur? Mantengin kompor gas?” Alysa menukas sambil mengacak-acak rambut lantas ia berdiri, “Bikinin gue mie! Gue mau mandi dulu,” lanjutnya dan pergi begitu saja.
Retno melengos. Haruskah ia menuruti perkataan istrinya? Haruskah ia memasak? Retno memang sering memasak, bahkan dirinya sudah bisa memasak beberapa menu unggulan yang terbilang cukup sulit untuk dibuat. Tapi masalahnya bukan itu. Yang menjadi masalah adalah, siapa disini yang menjadi Tuan Rumah?
“Yasudahlah...” gumamnya, beranjak meninggalkan rumah. Tujuannya sekarang adalah ke toko sembako, untuk membeli beberapa bungkus mie instan.
***
“Punya gue dikasih cabe kan, No?” tanya Alysa, seraya menggeser mangkok berisi mie instan kearah yang lebih dekat dengannya.
Retno yang kini tengah menyantap bagiannya sendiri sontak mendongak, menatap takut pada wanita di hadapannya. “E-eng... Enggak,” katanya lalu menunduk cepat-cepat.
Mata Alysa melotot, “Retno...! Gue kan udah bilang tadi di kamar mandi, kalo punya gue itu dikasih cabe lima! Harus lima! Isshh...!” wajahnya merah menahan amarah.
Retno juga tahu, cabenya harus lima. Tapi yang menjadi masalah adalah, ia lupa membeli cabenya.
“Mana saosnya?!” tanya Alysa, garang.
Buru-buru Retno mengambil botol saos di lemari khusus bumbu. Menyodorkannya di depan Alysa penuh takut.
“Air putihnya mana? Lo gimana sih, Retno!” marah Alysa sambil menuangkan saos pada mangkoknya.
Lagi, Retno buru-buru mengambil gelas di rak lantas menuangkan air putih. Tangannya gemetar. Baru kali ini ia mendapat amarah dari seorang wanita. Karena seumur-umur ia hidup, Bundanya sama sekali tidak pernah memarahinya. Berucap kasar atau keras pun tidak pernah beliau lakukan. Hidup Retno begitu suci, namun seketika menjadi najis kala hadirnya Alysa disisi.
“I-in, ini minumnya,” ucap Retno, meletakkan gelas berisi air putih di depan Alysa.
“Tisu dong, No. Sediain kek,” rutuk Alysa.
Retno menghela nafas. Cukup sabar ia menghadapi istri menjengkelkan seperti Alysa Madinah, ini. Sambil berdiri, Retno berkata sewot, “Sebenarnya siapa yang jadi istri disini, sih?!”
“Apa lo bilang?” tanggap Alysa, memelototkan mata pada Retno. Dan karena Retno tidak menjawab, Alysa bertanya, “Ini rumah siapa?”
“Ak, aku?”
“Yaudah! Ini rumah lo dan secara otomatis lo adalah tuan rumahnya, sedangkan gue tamu. Jadi wajar dong, kalo gue minta tolong ambilin ini-itu! Karena ini rumah lo! Kalo gue ambil sendiri, itu namanya gue nggak sopan sama lo.” jelasnya, lalu lanjut memakan mie.
“Tap-tapi, tapi kan kita, kita suami-istri,” ucap Retno dengan kepala tertunduk. Jujur saja, dia malu mengatakannya.
“Gue juga tahu kali! Udah sana ambilin gue tisu. Keburu gue sewot, baju lo gue jadiin lap!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Absurd (Tamat)
ChickLitIni hanya tentang sebuah rumah tangga yang di bangun secara dadakan, macam tahu bulat dan di jalani secara terpaksa, macam cintanya Siti Nurbaya.