Penyesalan

11.3K 3K 268
                                    

There is a voice that doesn't use words. Listen - Djaluddin Rumi.

Pelan-pelan Tama mencoba membuka matanya, semua inderanya bangkit.

Hidungnya dapat mencium bau obat-obatan khas ruangan rumah sakit, kulitnya dapat merasakan tusukan jarum infus di pembuluh darahnya, telinganya dapat mendengar percakapan ibunya dengan seorang dokter.

Tapi satu indera yang tidak dapat ia rasakan.

"Ma," Tama meraba-raba nakas di sampingnya.

Prang!

Namun sayang, tangan Tama malah mengenai vas bunga di nakasnya dan membuat vas kaca yang terisi bunga mawar putih itu terjatuh berserakan di lantai.

"Tama, kamu udah bangun nak?" Ibu Regina Nyonya Hadiputra, Ibunda Tama menangis haru, hatinya ngilu karena putra satu-satunya itu harus cacat karena sebuah kecelakaan.

"Ma?" Tama masih mencoba menggapai-gapai apa yang ada di hadapannya sampai ibunya mengenggam tangannya.

"Mama disini nak, di sini. Tama mau apa na? Mama ambilin." Ibu Regina sesak menahan tangisnya.

"Kok Tama gak bisa lihat apa-apa yah ma? Ah, itu gak penting. Windy mana ma? Windy gimana? Dia baik-baik ajakan?" Cecar Tama.

Lelaki ini bahkan tidak memperdulikan matanya yang tidak bisa melihat objek apapun, ia malah mengingat gadis yang menyelamatkannya, gadis yang tertimpa beton untuknya.

"Ma? Mama masih disitukan?"

"Iya nak, Mama disini."

"Windy mana Ma? Dia dirawat disini jugakan sama Tama? Terus mana Windy ma?" Desak Tama.

"Windy-" ibu Regina menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa tidak sanggup mengatakan kalau gadis kecil yang ia anggap anaknya sendiri itu sudah tidak ada di dunia, apalagi mengatakannya pada Tama.

Tama yang selalu melindungi Windy sejak kecil, yang menjadi satu-satunya teman dekat gadis bisu itu. Tama sahabat Windy, dan Tama putranya yang pernah ia dapati memandang Windy dari kejauhan sambil tersenyum.

"Ma, sekali lagi Tama tanya Windy mana? Kenapa Mama diam? Windy gak apa-apakan Ma? Dia baik-baik ajakan?" Mata Tama mulai berkaca-kaca.

Manusia mana yang baik-baik saja setelah ditimpa beton yang berlipat-lipat kali beratnya dari berat badannya sendiri? Tidak ada, secara logika Tama sudah tahu Windy tidak akan selamat.

Tapi disisi lain, Tama masih berharap gadis bisu itu hidup.

Tama tidak ingin hidup dalam penyesalan karena Tama ingat betul bagaimana Windy menyelamatkannya.

"MAMA, MANA WINDY? MANA MA? WINDY BAIK-BAIK AJA. KENAPA MAMA NANGIS? KENAPA?"

Tama histeris karena hanya mendapat jawaban air mata dari ibunya.

"Hhhhhh Windy udah gak ada nak, Windy sudah tenang. Tama harus ikhlas ya nak ya?" Ibu Regina mencoba menenangkan Tama yang lepas kendali.

"Enggak mungkin. Bawa aku ke Windy sekarang Ma. Bawa Tama ke Windy sekarang!"

Tama mencoba melepaskan jarum infus di tangannya, ia kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan hendak pergi. Sampai Tama sadar, ia masih belum melihat objek apapun sedari tadi.

"Tama! Tenang nak, tenang. Kamu gak apa-apa? Hem?"

"Ma," Panggilnya lirih.

"Tama gak liat apa-apa."

Kaki Pratama Langit Hadiputra seakan melemah, Tama tumbang dari bangkitnya.

Tanpa suara Tama menangis, mengeluarkan air mata dari matanya yang tidak dapat melihat apapun.

Ia buta, itu yang Tama sadari.

☘️☘️☘️

Windy tidak pernah tahu kalau ternyata arwah sepertinya juga dapat menangis tersendu-sendu. Mungkin bedanya tangisannya kali ini tidak didengar siapa-siapa, tidak seperti waktu ia hidup dulu.

Gadis itu meruntuki kebodohannya karena membuat Tama kehilangan penglihatannya.

Sedari tadi arwah yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya itu menangis melihat Tama.

Semua salahnya, salahnya. Ia menyalahkan dirinya sendiri ribuan kali.

"Makan yah nak?" Bujuk ibu Tama yang sudah beberapakali mengarahkan sendok yang penuh makanan kedepan bibir tipis Tama. Tapi Tama mematung, dia bahkan tidak membuka mulutnya satu incipun.

"Dikit aja nak, Windy bakal sedih ngeliat kamu kayak gini,"

Arwah Windy mengangguk, dia sedih melihat Tama seperti ini. Meskipun Windy yakin akibat kesedihan Tama itu adalah karena Tama kehilangan penglihatannya, bukan karena kehilangan Windy.

"Hhhhhhh Tama nyesel Ma." Tiba-tiba Tama terisak, kedua tangannya yang kokoh menutupi wajahnya yang memerah karena air mata.

"Itu kecelakaan sayang, gak ada yang perlu kamu sesali."

Tama menganggap ibunya selalu benar, tapi kali ini ibunya salah. Tama punya banyak penyesalan yang tidak bisa diungkapkan sehingga membuat dadanya sakit.

Tama menyesal tidak dapat melihat indahnya dunia lagi.

Andai Tama tahu ia akan kehilangan penglihatannya, ia akan berlama-lama menatap Wajah teduh ibunya, gagah tegap badan Ayahnya, bahkan ia akan menghabiskan bermenit-menit menatap coklat, anjing kesayangannya.

Tama menyesal karena tidak dapat melindungi Windy seperti yang seharusnya ia lakukan.

Dan Tama menyesal karena tidak mengungkapkan sesuatu yang terpendam dihatinya dan terpatri di kepalanya sejak lama.

"Tama sayang Windy ma, sayang banget. Terus kenapa Windy ninggalin Tama? Kenapa?"

Arwah gadis bisu itu mematung, kata sayang terdengar kembali ambigu di telinganya. Sampai akhirnya dia tersenyum miris, sangat miris.

Windy juga sayang sama Tama. Banget. Tama juga sahabat terbaik yang Tuhan kirim buat Windy

Bukankah Tama pernah bilang ia menyanyangi Windy sebagai sahabat? Itu yang Windy yakini.

Namun pernyataan sayang Tama yang terakhir tidak bermakna demikian.

Dia menyayangi Windy. Rasa sayang seorang laki-laki ke seorang perempuan.

Ya, Tama memiliki rasa yang sama.

Manusia bodoh. Lalu kenapa ia tidakmengungkapkannya?

Semuanya sudah terlambat bahkan jika itu diungkapkansekalipun.

-To be continued -

Gue lupa update ini kemaren. Wkwkw ga ada yang ngingetin juga.

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang