Rasti perlahan membuka matanya perlahan, alat-alat yang terpasang ditubuhnya menunjukkan tanda kehidupan.
Gadis itu tersenyum kala mendapati wajah ibunya yang tengah terlelap, ia merindukannya tentu saja. Jika ia terbangun seperti ini Rasti yakin sahabatnya Inggita dan Sarah akan senang, Rasti tidak sabar melihat wajah-wajah bahagia itu.
Sarah yang pasti akan cerewet mengajaknya shopping dan perawatan, serta Inggita yang akan menumpahkan segala keresahannya pada Rasti . Entah tentang pekerjaannya yang menumpuk, atau kisah cintanya dengan seorang pria. Rasti pendengar yang baik baginya.
"Mama,"
"Rasti, Kamu bangun?" Rasti mengangguk dan ikut menangis kala ibunya menitihkan air mata bahagia di wajah rentanya.
"Jangan tinggalin Mama lagi nak." Isaknya sembari memeluk putri satu-satunya itu.
Rasti menggeleng, tangannya yang masih penuh dengan alat kesehatan perlahan mengapus air mata di wajah ibunya. "Enggak, Sekarang Rasti gak akan kemana-mana Ma, Rasti akan di sini terus sama Mama."
🍃🍃🍃
Mark mengangguk-nganggukan kepala mendengar isi hati Windy, Windy bercerita kepadanya sejak sejam yang lalu tentang interaksinya dengan Tama yang di bantu Yudha.
Jujur saja Mark bosan mendengarnya karena Windy hanya mengulangi kalimat yang sama.
"Mark, Tama juga mencintai ku. Dia bilang dia mencintai ku."
Mark mengangguk.
"Dan kau tahu apa yang paling menakjubkan dari itu semua?"
"Apa kak?" Mark mencoba membuat ekspresi wajahnya seperti sangat tertarik dengan segala cerita Windy.
"Dia bilang itu di depan ku, di hadapan ku. Tama mencintai ku." Sembari menepuk jidatnya Mark terkekeh, Apalagi saat Windy membuang dirinya ke kasur Mark dan menggeliat aneh di sana.
Sesaat kemudian Windy bangkit dan duduk disana, Hantu itu menatap Mark dengan satu tangan yang menopang pipinya.
"Mark, Kamu pernah jatuh cinta?"
Pemuda itu mengangguk lalu tersenyum malu-malu mengingat masa-masa beberapa tahun yang lalu saat Mark mengagumi sebuah senyuman yang membuat malam-malamnya tidak nyenyak karena pemilik senyum tersebut telah mencuri hatinya.
"Wah, Ayo cerita sama kakak. Gadis seperti apa dia? Apa dia cantik?" Sekali lagi Mark mengangguk, mata yang cantik, bulu mata yang lentik serta betapa anggunnya gadis itu melintas dalam benaknya.
"Cantik? Tidak juga. Dia hem manis. Senyumnya indah."
Windy antusias, Tama satu-satunya teman Windy biasanya hanya bercerita tentang basket dan Teman-temannya. Untuk pertama kalinya seorang pria berbagi cerita tentang perempuan yang disukainya padanya karena itu Windy ingin jadi pendengar yang baik bagi Mark.
"Rambutnya sebahu, Dia sering mengikatnya."
"Oh, ya? Dia pasti perempuan sangat manis. Kamu sudah bilang kalau kamu mencintainya?" Windy dan rasa penasarannya.
"Iyalah. Emangnya Mark itu kak Tama yang baru bilang cinta kalau semuanya udah telat."
"Ck." Windy berdecak sebal, Mark malah tertawa.
"Jadi apa kalian pacaran?"
Mark menggeleng.
"Shhh, Agak sulit sebenarnya tentang kami ini apa? Tapi kak Windy jangan khawatir aku sama dia pasti bakal bareng-bareng. Tapi bukan sekarang."
Windy mengangguk, tangannya ingin sekali mengacak rambut Mark jika bisa. "Lagi pula kamu masih kecil, Belajar saja dulu."
"Eh, Kak Windy meninggal pas seumuran aku. Jadi jangan sok nasehatin, kita ini seumuran." Protes Mark.
Windy menatapnya jutek.
"Tidak, aku kakak mu. Kalau aku hidup aku sudah seumuran dengan Tama." Windy menjulurkan lidahnya.
"Eh, iya kalau dipikir-pikir ngapain Mark manggil Kakak? Harus panggil Windy aja ya?" Mark menjetikkan jarinya lalu membentuk senyuman jahil diwajahnya.
"Eh, Windy." Panggil Mark sok akrab membuat mata Windy membulat sempurna.
"Aaaaa tidak mau, Aku kakak, aku lebih tua!" Dan kini hantu itu duduk di lantai kamar Mark sambil menendang-nendang kakinya lucu.
"Hahahaha. Iya, iya kak. Ampun becanda doang." Candaan dua makhluk berbeda alam itu berakhir saat Mark berkonsentrasi dengan PR Matematikanya dan Windy yang mejelajah kamar Mark yang tidak luas itu.
Windy Menatap susunan buku pelajaran Mark serta komik-komik yang ingin sekali hantu itu baca. Windy mencoba dengan sekuat tenaga menarik dan membuka komik itu, hingga tidak sengaja menarik buku lain.
'Indigo bisa dilatih dan dipelajari'
Dalam sekejap Windy menatap punggung Mark, manik Windy berulang-ulang memandang buku itu dan Mark bergantian.
Windy sepelan mungkin mencoba membuka buku itu agar tidak mendapat perhatian dari Mark, di sampul awal sebelum kata pengantar ada sebuah tulisan.
'Aku harus bisa melihat mu, Harus. Aku merindukan mu - Mark'
-To be continued-
(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT
Teen FictionSebelum pergi untuk selama-lamanya, Windy punya satu permintaan kecil. Yaitu mengatakan i'm sorry and i love you pada Pratama Langit Hadiputra. Tapi bagaimana? She's life in a silent forever.