Masih Ada?

11.4K 2.5K 206
                                    

When lip are silent, the heart has a thousand tongue - Djalaludin Rumi.

💠💠💠

Hari demi hari Tama semakin terbiasa dengan keadaannya, itu sisi baiknya tapi dia juga sudah semakin jarang menyebut nama Windy.

Iya itu sisi sedihnya bagi Windy yang teramat merindukan Tama meski ia teramat dekat tapi sangat jauh dari pria itu.

"Cuma tepungkan Ma?" Tama meraba nakas mencari topi hitam dan tongkat berjalannya.

"Iya ini uangnya. Kamu yakin bisa pergi sendiri?" Ibu Regina mengkhawatirkan Tama meskipun Tama sudah sering berbelanja sendiri ke minimarket.

Banyak yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini, termasuk Tama yang mulai kembali percaya diri, ia menata kehidupannya dari nol.

Bukan tidak sering ia frustasi dan kecewa tapi saat angin dengan lembut menerpa wajahnya Tama kembali terisi oleh satu harapan.

Ia harus hidup, bukankah itu yang Windy harapkan?

Dimulai dari Tama mulai mandiri. Tama berpikir bagaimana kalau Ibunya sedang ada urusan mendesak dan yang lainnya? Tentu saja mau tidak mau Tama lah yang harus bergerak. Tama tidak mungkin berdiam diri dan kelaparan di dalam rumah bukan?

"Yakin Ma, jangan khawatir. Mana uangnya?"

Ibu Regina meletakkan selembar uang berwarna biru di tangan Tama. Sebenarnya Ibu Regina tahu harga dari belanjaan Tama, dia hanya terlewat khawatir sehingga memberikan uang lebih.

Ibu Regina sedikit takut karena pernah suatu hari Tama berbelanja dan hanya membawa sedikit uang dan hampir dipukuli hingga putranya itu mengaku ia buta, ia tidak melihat berapa nominal uang kertas yang dipegangnya. Syukurlah waktu itu ada tetangga yang mengenali Tama dan membayarkan sisa belajaan Tama, sekarang Ibu Regina tidak ingin mengambil resiko, ia lebih memilih memberi uang lebih meskipun Tama kadang ditipu dengan kembalian yang kurang dari seharusnya.

"Kembaliannya Tama belikan apa saja yang pengen Tama makan."

Ibu Regina salah satu ibu terbaik, dengan dukungan terhebat, Tama beruntung memilikinya.

"Wah, Thank's Mom."

Mata Tama berbinar, andai mata Indah itu bisa melihat maka akan menjadi lebih Indah.

Windy mengikuti Tama dari belakang, terkadang Windy berjalan di sampingnya.

Tama yang sekarang, nampak lebih ceria dan hidup. Mungkin benar kata hantu gadis yang yang berdiri di jembatan penyebrangan yang selalu di lewati Windy.

Katanya 'sudah jadi kodrat kita untuk dilupakan, manusia itu akan lupa seiring berjalannya waktu. Ya kita mati ya mati saja, kita sudah mati. Lalu apa? Mereka tidak ada urusan lagi setelah puas menangisi kepergian kita.'

Rasa-rasanya itu benar, mungkin Tama sudah di titik perlahan-lahan melupakan setelah puas menangisi Windy tapi tidak apa-apa Windy lebih senang melihat Tama mulai baik-baik saja seperti sekarang dari pada terus depresi memikirkan Windy.

Tama terduduk memakan lolipop rasa melon kesukaannya di sebuah kursi Taman tidak jauh dari minimarket tadi.

Lihat rahang yang bentuknya luar biasa itu, bibir yang Indah, hidung mancung, dan bulu mata lentiknya.

Dan satu lagi yang Windy suka dari Tama.

JAKUNNYA.

Ah, seharusnya Hantu tidak boleh punya pikiran yang tidak-tidak Windy. Sadar Windy sadar!

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang