In our waiting, God is working

5.2K 1.7K 183
                                    

Windy memilih menghilang saat Mark menangkap keberadaan Yudha dan Tama, Mark langsung melambaikan tangannya dan tersenyum ceria begitu melihat Yudha.

"Mark? Kok disini?" Yudha berjalan pelan menuju arah Mark meninggalkan Tama yang hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari jauh.

"Eh, Yud. Kebetulan mau neraktir gadis-gadis cantik ini," Mark menggerakkan alisnya kearah Inggita dan Sarah yang tersenyum penuh kecanggungan.

"Oh, hai saya Yudha,"

Air muka Inggita dan Sarah seketika berubah mendengar nama Yudha.

"Eh, bareng siapa? Sendiri?" Mark mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru café.

Yudha menepuk jidatnya, "Ya ampun, Lupa. Saya sama Tama dia duduk di sana." Yudha menunjuk Tama yang tengah duduk manis memegang tongkat berjalannya.

"Terus sama-" Baru Yudha akan menyebutkan nama Windy namun sepertinya hantu itu sudah menghilang.

"Eh, duduk di sana aja gabung sama Tama gimana Mark?" Tawar Yudha.

"Gimana Git?" Mark meminta persetujuan Inggita dan Sarah yang hanya di jawab anggukan oleh keduanya.

Tama cukup kaget dengan kehadiran tiba-tiba beberapa orang disampingnya, namun saat Mark mengajaknya berbicara Tama seketika mengembangkan senyumnya.

"Gak nyangka ketemu Mark di sini." Tama terlihat senang, namun alis Yudha malah terangkat-Yudha bahkan baru tahu kalau Mark dan Tama saling mengenal sebelumnya.

Jadi Mark ingin membantu Windy karena memang ingin membantunya atau karena dia mengenal dekat Tama?

Ah, Itu tidak penting biarlah alasan Mark membantu Windy dan Tama hanya ia simpan untuk dirinya sendiri.

"Kok bisa kenal sama mereka sih Mark?"

"Ah, Mark langgganan di toko buka punya ibu saya." Sarah berinsiatif menjawab pertanyaan Yudha.

"Iya, Mama kebetulan suka bunga mawar kuning dan toko ibu kak Sarah selalu punya barangnya." Mark menambahkan, hingga Yudha menjawab hanya dengan sebuah anggukan dan kata, "Oh." dari mulutnya.

"Yud bisa temenin ke toilet gak? aku mau buang air kecil." Tama menatap kosong di arah kirinya, padahal orang yang disebut namanya ada disebelah kanannya.

"Aku disini Tam." Yudha memegang tangan Tama.

"Hehe maaf, kan ga lihat."

"Ya udah, saya temani Tama dulu kalau begitu." Yudha baru akan bangkit namun Mark buru-buru menahannya.

"Mark aja, kebetulan Mark juga mau ke Toilet kak Tam." Ujar Mark yang membuat Yudha terduduk kembali di kursinya.

"Oh ya udah sama Mark aja kalau gitu." Jawab Tama setuju.

Mark dengan pelan menggandeng Tama ke arah Toilet, Mark bahkan melontarkan beberapa lelucon tentang toilet sekolah lama mereka sehingga Tama tertawa.

Seorang pengguna toilet terakhir menyelesaikan urusannya dan keluar dari toilet meninggalkan Tama dan Mark berdua di sana.

Mark mendekat ke arah Tama dengan ekspersi wajah yang seketika berubah kala itu.

Tama tidak melihat wajah ramah Mark berubah jadi datar tanpa sebuah senyuman.

"Kak, ada yang mau aku omongin, Ini penting."

"Apa Mark?"

"Tentang Windy."

"Windy?"

"Mark juga bisa melihat Kak Windy seperti Yudha."

💠💠💠

Mark dan Tama meninggalkan Yudha dengan dua orang gadis yang menurut penuturan Windy adalah sahabat Rasti, arwah yang setahun belakangan ini selalu menemaninya.

Bisa dibilang Yudha kehilangan, ada sebuah ruang kosong di hatinya saat menyadari paginya tidak di bangunkan suara bising Rasti, siangnya tanpa omelan Rasti, dan malamnya tanpa senandung merdu seorang Rasti.

"Hem," Yudha berdehem seolah meminta perhatian dari Inggita dan Sahra.

"Maaf, sekali lagi perkenalkan saya Yudha."

"Hi." Inggita menyapanya canggung, dan Yudha hanya bisa memamerkan senyumannya, berharap suasana canggung ini dapat berubah.

"Maaf kalau saya lancang, tapi boleh saya bertanya satu hal?"

Inggita dan Sarah saling bertatapan "Bo.. leh." Ucap Inggita ragu.

"Kalian kenal dengan seorang gadis yang bernama Rasti?"

💠💠💠

Windy pernah membaca buku bahwa ada segelintir orang yang akan memilih ke sebuah tempat yang lebih tinggi untuk menghilangkan streesnya, seperti puncak gunung atau lantai paling atas sebuah gedung pencakar langit.

Namun semenjak jadi arwah, kala ia kalut tentang nasib Tama atau dirinya sendiri-Windy akan berdiri di tengah-tengah sebuah jembatan penyebrangan, melihat kendaraan yang berlalu lalang di bawahnya.

Selain itu biasanya di jembatan penyebrangan ini ada sesosok hantu yang selalu memberinya wejangan, kata mutiara, atau apapun kalian menyebutnya.

'sudah jadi kodrat kita untuk dilupakan, manusia itu akan lupa seiring berjalannya waktu. Ya kita mati ya mati saja, kita sudah mati. Lalu apa? Mereka tidak ada urusan lagi setelah puas menangisi kepergian kita.' Itulah kalimat yang diucapkannya kala Windy bertemu terakhir kali dengannya.

"Apa dia sudah menyebrang?"

Hampir 30 menit Windy berdiri disini namun tidak menemukan sosok hantu yang ia maksud, Windy kembali mengedarkan pandangannya ke arah bawah jembatan lalu kembali menatap langit.

Ah, mengapa segala yang bercahaya nampak indah dimata hantu bisu itu?

"Kamu disini?" Windy menengok ke atas mendapati hantu yang sejak tadi dicarinya duduk menggoyang-goyangkan kakinya di atas jembatan penyebrangan itu.

"Ya ampun kamu disana, aku pikir kamu sudah menyebrang?" Windy mendongkak dan tersenyum rasanya seperti bertemu teman lama.

"Tidak, Belum. aku menunggu seseorang."

"Menunggu?"

Hantu gadis itu kini berpindah ke samping Windy, memiringkan kepalanya dan tersenyum.

"Kodrat manusia memang melupakan, namun ada segelintir manusia yang memilih mengingatnya, mengenangnya, dan masih mengharapkannya. Dia bilang pada ku untuk menunggu."

Windy tidak mengerti apa yang hantu itu bicarakan, mata Windy hanya terfokus pada tumpukan mawar kuning yang mengering dan di atasnya ada bucket bunga mawar dengan warna sama yang sepertinya baru diletakkan di bagian tengah jembatan penyebrangan itu, tepat di samping hantu gadis itu berdiri.

"Dia mengunjungi ku, katanya aku harus bersabar."

-To be continued -

Hint-nya ada di chapter 6😊

(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang