You hear but are you listening? You exist but are you living? You look, but do you see? - Koe no Katachi
...
Windy mondar-mandir di kamar Mark yang termasuk karegori kamar yang lumayan sempit, hanya ada meja belajar, single bed, dan sebuah lemari pakaian.
Akhirnya Windy menyerah untuk duduk di kasur Mark sudah hampir tiga hari sang pemilik kamar tidak pulang, Windy juga tidak tahu kemana Mark pergi.
Windy tidak tahu mau kemana lagi, tidak mungkin Windy tetap ikut dengan Rasti karena ikut dengan Rasti artinya Windy akan menempel dengan Yudha, pria Indigo yang selalu menyuruhnya menyebrang. Dan Windy tidak mau, dia masih punya 27 hari untuk menyelesaikan penyesalannya.
"Ma, Aku pulang. Eh? Udah pada berangkat ya?" Mark terdengar berteriak dari lantai satu kediamannya, Windy beranjak menghampirinya.
Windy merasa senang Mark kembali, tiga hari ini ia seperti hantu tanpa tujuan.
Windy masih enggan menemui Tama-Windy tidak mau Tama takut padanya, Ia hanya ingin memaafkannya dengan cara Windy, membuat Tama melihat kembali.
"Mark, kamu dari mana? Aku sudah tiga hari disini, aku kesepian dan aku hanya punya waktu 27 hari lagi, aku harus bagaimana?"
"Oh my God kak, calm. Aku baru dateng." Windy selalu kagum dengan cara Mark melafalkan bahasa inggris dengan baik, mungkin karena ayahnya berkebangsaan Amerika.
Ah, lupakan soal itu yang penting Mark sudah disini!
"Jadi kak Windy ngapain tiga hari ini?" Windy menggeleng, ia tidak melakukan apa-apa. Hanya terduduk di meja belajar Mark dan kadang menggerakkan buku dan benda apa saja yang ada disana.
"Ish, kalah sama aku." Mark berdecih, sungguh kepergiannya selama tiga hari benar-benar menghasilkan banyak informasi.
"Memang kamu kemana Mark? Apa yang kamu lakukan?"
"Bentar Mark ceritain, Mark mandi dulu." Mark melempar tas ransel di punggungnya dan langsung masuk ke kamar mandi, ia butuh air hangat.
"Mark, ceritakan pada ku!"
"Aaaaaaaaaaaaaa Kak Windy ngapain ikut masuk?"
Ups, Maaf.
🍃🍃🍃
Mark mengikuti Tama yang rutin ke rumah sakit di kota, Mark dan Tama dulu memang tinggal disana sampai Tama pindah karena ingin menyembuhkan lukanya kehilangan Windy, dan Mark pindah karena ikut dengan orang tuanya.
Siapa sangka mereka akan bertemu lagi dengan keadaan yang seperti ini?
"Kak Tama. Hey," Mark mencoba sok akrab dengan Tama yang duduk disalah satu ruang tunggu di rumah sakit itu.
"Si..siapa yah? Maaf saya gak bisa lihat," Tama mencoba tersenyum kearah Mark, matanya memandang ke arah lain, tentu saja karena hanya ada kegelapan di mata indah itu.
"Saya Mark, adik kelas kak Tama, junior kak Tama juga di klub basket sekolah." Tama menepuk tangannya seakan dia sudah tahu siapa pria yang tengah mengajaknya berbicara.
"Ya ampun Mark, apa kabar? Sudah kelas berapa sekarang?" Tama terdengar excited, selama Tama mengalami kebutaan Tama mengobrol hanya dengan orang tuanya dan guru privatenya, kehadiran teman lamanya seperti Mark membuat suasana hatinya membaik.
"Hehe udah kelas 12 kak, bentar lagi lulus. Kak Tama ngapain disini?" Mark berbasa-basi.
"Eh, ada temen Tama ternyata," Kehadiran ibu Regina menganggu reuni Tama dan Mark.
"Siang tante saya Mark, juniornya kak Tama dulu."
"Ah gitu. Ya udah Mark tante titip Tama ya nak, mau nebus obat dulu sebentar." Pamitnya.
"Iya tante silahkan."
Sepeninggal ibu Regina Tama diajak mengenang masa lalu oleh Mark, Tama bahkan tertawa kala Mark menceritakan beberapa kejadian lucu di klub bola basket sekolahnya yang lama kala Mark dan Tama masih disana.
"Haha iya kakak inget banget teman kamu yang kulitnya agak coklat itu karena takut ijin jadi pipis di celana." Tama menepuk-nepuk paha Mark sebagai pelampiasan tawanya.
"Ya, aib emang dia tuh kak." Tambah Mark.
"Kakak jadi rindu mereka semua, semenjak kakak buta kakak tidak pernah lagi ketemu mereka."
Tiba-tiba suasana ceria yang tercipta menjadi sedikit mellow, Mark tentu bisa membayangkan betapa hancurnya jadi Tama kala itu.
Dan tentu saja Mark tahu ini adalah sumber penyesalan Windy. Menghancurkan kehidupan Tama yang indah.
"Kakak pasti bisa ngeliat lagi, Mark yakin." Mark tersenyum sembari merangkul Tama, meyakinkan teman lamanya itu meski ia sendiripun ragu.
"Iya, kata dokter Azka juga begitu, tapi kakak belum dapat donor kornea mata yang cocok."
"Akan ada kok kak, sabar aja. Mark pengen banget kak Tama ngeliat lagi."
Windypun demikian kak Tama.
Pertemuan Mark dan Tama berakhir singkat, setidaknya Mark sudah tahu kendala utama Tama yakni 'kornea mata yang cocok', Mark juga sudah tahu dokter ahli yang menangani Tama, satu lagi yang ia belum tahu.
Dimana ia akan mendapat kornea mata untuk Tama?
"Eh, udah dateng? Ya ampun Raras kambuh lagi Ra."
"Koma lagi dia? Dasar Rasti! Hobby banget bikin sahabatnya khawatir, Yuk Git."
Mark menoleh mendengar percakapan dua perempuan yang dilewatinya tadi, Mark tertarik dengan satu nama yang mereka sebutkan.
Rasti ?
Koma?
"Wah dia juga ngeliat aku, dia bisa ngeliat hantu hua. Hi, nama aku Rasti. Kamu?"
-To be continued-
Yei double up! Leave your comment vellas!
(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT
Teen FictionSebelum pergi untuk selama-lamanya, Windy punya satu permintaan kecil. Yaitu mengatakan i'm sorry and i love you pada Pratama Langit Hadiputra. Tapi bagaimana? She's life in a silent forever.