Hari ini Tama senang, Yudha bilang ia akan mengajak Tama untuk minum kopi dan nongkrong disebuah café.
Tentu Tama mengiyakannya sudah lama sekali Tama hanya di rumah, kadang ke minimarket dekat rumahnya, danau atau rumah sakit.
Tama ingin sesekali berjalan-jalan dengan teman sebayanya, bercerita banyak hal, atau sekedar menikmati matahari sore bersama segelas kopi pasti lumayan seru menurutnya.
"Kamu kenal Tama dimana?" Pak Hadi yang menyambut Yudha memberi beberapa pertanyaan.
Maklumlah Tama itu buta sehingga pak Hadi cukup heran karena Tama memiliki seorang teman dengan keadaannya yang seperti itu.
"Di deket sini om, saya... hem beberapa kali bantuin Tama pulang." Cengir Yudha agar kebohongan kecilnya terlihat sempurna.
Tentu tidak mungkin Yudha bilang bertemu Tama di sebuah danau karena seorang hantu bisu yang meminta bantuannya. Pak Hadi pasti akan menganggap Yudha gila dan menuruh Yudha pulang sekarang.
"Eh, Yud. Berangkat yuk," Tama keluar menggunakan kemeja kotak-kotak merah dan celana jeans hitam.
Rambut Tama yang lurus dibiarkan begitu saja tanpa disisir, Tama bahkan tidak memakai topi favoritnya karena ingin menikmati matahari sore ini.
"Ya udah om, kita berangkat dulu." Pamit Yudha yang sudah mengarahkan langkah Tama agar mengikutinya.
"Hati-hati jagain Tama yah." Pak Hadi memandangi Tama dan Yuda yang berjalan pelan meninggalkan kediamannya.
Sesekali Pak Hadi menarik senyum kala Tama tertawa renyah bersama Yudha disampingnya. Tama bisa tertawa saja membuah hati ayahnya menghangat.
Mimpi setiap ayah itu melihat anak lelakinya mencapai pencapaian yang lebih baik dari dirinya sendiri, tapi bagi pak Hadi cukup melihat putranya bahagia sudah cukup.
"Windy juga ikut Yud?" Tama menggoyang-goyangkan tangan Yudha meminta jawaban.
"Iya, itu di belakang. Lagi siul-siul, seneng tuh dia." Yudha berbalik kearah Windy yang sudah memamerkan giginya.
"Windy, yuk jalan-jalan. Sini ke samping kakak," Panggil Tama seolah ia bisa merasakan Windy berjalan di sampingnya kini.
Yudha menggeleng, Tama sudah gila.
Windy, Tama, dan Yudha mengambil tempat di sebuah sudut café bertema minimalis dengan interior serba kayu dan berwarna coklat itu.
Yudha sibuk membantu Tama dengan ice vietnam drip yang dipesannya, Sedangkan Windy sibuk menopang dagunya dan menatap Tama lekat-lekat.
"Tampan!"
Yudha berdecih ,"Apa aku harus memberitahunya?" Jari tangannya menunjuk Tama.
Windy menggeleng, tentu Yudha tidak perlu memberitahu Tama tentang gumamannya.
"Beritahu apa Yudha? Windy bilang sesuatu?" Sambar Tama.
"Ah, enggak-enggak Windy duduk diem di samping kamu kok." Yudha mengarahkan tangan Tama memegang sedotan dan mendekatkan gelas kopinya didekat Tama hingga pemuda itu meminumnya.
"Wah, kopinya enak," Puji Tama, mata indahnya berbinar.
"Sayang banget Windy gak bisa ngerasain." Tama berbalik, seolah ia benar-benar bisa melihat Windy yang duduk didekatnya.
Tama menggoyang-goyangkan sedotannya ke arah Windy.
"Enak loh Wind, kopinya," Goda Tama.
Windy berdecih.
"Sayang kamu gak bisa ngerasain." Ucap Tama sendu kemudian.
"Bisa kok."
Mata Yudha membulat, tangannya menutup mulutnya sendiri kala Yudha melihat Windy memajukan badannya dan terlihat seperti mencicipi sisa kopi di bibir Tama, Meski Tama tidak merasakan apa-apa tentu saja.
Tapi Windy sudah memerah dan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya sendiri.
"Dasar hantu nakal !"
"Windy ngapain Yud?" Tama berbalik kearah Yudha begitu mendengar pemuda itu bersuara.
"Eh? Enggak kok, ga apa-apa."
☕☕☕
Satu jam berlalu saat tiga orang berbeda alam itu duduk dimeja yang sama, langit di luar mulai menggelap tanda petang sudah datang namun orang yang ditunggu Yudha tidak kunjung datang.
Yah, Yudha menunggu Inggita dan Sarah yang kata Windy teman Rasti.
"Dia bukan?" Yudha menunjuk dua perempuan yang masuk ke café namun dijawab gelengan oleh Windy.
"Nunggu siapa sih Yud?" Tama penasaran karena Yudha sudah bertanya 7 kali dengan pertanyaan yang sama kepada Windy.
"Temannya teman, Windy kenal mereka." Jawab Yudha yang masih gelisah menatap pintu masuk café.
"Oh." Tama hanya mengangguk, meski tidak paham dengan maksud Yudha.
"Gak apa-apakan Tam di sini dulu?"
"Gak apa-apa kok, santai aja Yud."
Windy mengetuk-ngetukkan jari-jarinya ke atas meja, kepalanya menempel sempurna di sana, matanya sesekali menatap pintu masuk café seperti Yudha namun beberapa kali pula ia mencuri pandang manatap Tama.
Rasanya seperti mimpi bisa dekat kembali dengan Tama seperti ini, Windy tersenyum namun kemudian kembali memasang wajah sedih mengingat ia tinggal memiliki beberapa hari lagi sebelum hari ke 1000nya.
Windy ingin menyebrang, tentu saja. Windy sudah ikhlas akan kematiannya, ia tidak keberatan sama sekali. Namun Tama harus melihat sehingga penyesalan Windy berakhir dan Windy pun akan menyebrang dengan tenang.
Puas memandangi Tama, Windy kembali memutar kepalanya kearah pintu masuk dan mendapati sesuatu yang mengejutkan. Windy sampai bangkit dari tempat duduknya.
"Kenapa Windy? Mereka berdua orangnya."
Windy mengangguk.
"Loh Wind, kok mereka dateng sama Mark?" Heran Yudha.
"Mark?" Tama mendengar nama yang familiar itu juga menegakkan badannya.
Dipikiran Windy sekarang hanyalah apa hubungan Rasti, ke dua sahabatnya Inggita dan Sarah serta Mark?
Apa ini ada hubungannya dengan kemampuan Indigo yang dimiliki Mark?
Windy mengingat catatan di bab ketiga buku Mark.
'Aku tidak akan pernah meninggalkan mu sendiri, Jangan menangis, Tunggu aku -Mark'
-To be Continued-
Segala teori dihalalkan👉
(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT
Teen FictionSebelum pergi untuk selama-lamanya, Windy punya satu permintaan kecil. Yaitu mengatakan i'm sorry and i love you pada Pratama Langit Hadiputra. Tapi bagaimana? She's life in a silent forever.