Setelah dinyatakan meninggal dan mendapatkan izin dari wali atau orang tua Mark, Dokter di Eye center rumah sakit besar itu langsung melakukan tindakan.
Apalagi sebuah surat yang ditinggalkan Mark menyebutkan dengan gamblang ia akan mendonorkan kedua kornea matanya untuk Seorang yang bernama Pratama Langit Hadiputra.
Pengangkatan bola mata jenasah calon donor dilaksanakan kurang dari 6 jam sejak calon donor dinyatakan meninggal, dan dalam waktu 24 jam sudah harus di cangkokkan ke calon resipennya dalam hal ini Tama.
Tama yang memang sudah tahu akan menerima donor setelah Mark memberitahunya, namun Tama tidak pernah tahu pendonornya adalah Mark sendiri.
Hari itu Mark hanya menyampaikan kalau akan ada pendonor untuk Tama, bahkan Mark sendiri yang meminta dokter Azka menangani Tama untuk melakukan pemeriksaan laboratorium lengkap.
"Kak Windy tidak akan bisa menyebrang jika kak Tama tidak melihat, Tolong percaya sama Mark kak, Mark disini bantuin kak Windy."
"Tapi kenapa kakak harus pergi dari rumah? Menghindari Windy? Bukannya Windy tidak memiliki waktu yang banyak lagi Mark?"
Mark tersenyum kala itu, memang Mark yang meminta Tama pergi dari rumahnya dan menjalani perawatan di rumah sakit, orang tua Tamapun diminta Mark untuk mendampingi Tama.
"Biar kak Windy lebih menghargai cinta itu sendiri, cinta tidak ada jika bukan karena dua orang kak Tama. Kak Tama sakitkan kehilangan kak Windy?"
Tama mengangguk.
"Biarin kak Windy merasakan dunia tanpa kak Tama akan seburuk apa, Lagipula kak Windy harus latihan melepas kak Tama karena kak Windy pasti menyebrang dan kak Tama pasti melihat kembali."
Dengan dibantu ibu regina Tama menganti bajunya dengan baju operasi, setelah itu dilakukan pembersihan disekitar bola mata Tama dengan cairan steril, bulu matanya yang panjangpun dicukur habis.
"Hi Tam, sudah siap?"
Tama mengangguk, setelah cairan anestesi itu masuk ke dalam tubuh Tama, Dokter Azka mengajak Tama mengobrol. Entah tentang kegiatan Tama, atau tentang orang tua Tama. Itu hal terakhir yang Tama ingat karena saat terbangun Tama sudah di ruang rehabilitasi keesokan harinya.
"Gimana bu, Tama tidurnya nyenyak?" Suara dokter Azka sangat dikenali Tama.
"Iya dok," Ibu regina tersenyum manis tanpa melepaskan tautan tangannya dengan Tama puteranya.
"Tama, Dokter periksa dulu yah?" Dokter Azka mengecek perban yang terpasang di area kepala Tama dan melepasnya dengan pelan.
"Tama jangan langsung buka matanya yah, pelan-pelan. Bilang sama dokter Tama lihat apa."
Tama, dengan segala takut di dadanya memberanikan diri membuka perlahan kelopak matanya, jujur Tama tidak ingin kegelapan membelenggunya lagi.
Silau, cahaya yang masuk ke mata Tama sangat menyilaukan hingga Tama kembali menutup matanya, lalu dengan pelan membukanya lagi. Namun bukan wajah dokter Azka maupun ibunya Regina yang dilihatnya.
"Windy?"
Windynya yang tersenyum, senyum yang sangat cerah secerah matahari. Bukan hanya itu, Tama tidak pernah mendengar sekalipun suara seorang Windy yang memang Tuna rungu namun sumpah demi Tuhan Tama mendengar Windy mengatakan sesuatu sebelum hilang dibalik cahaya.
"I'm Sorry and I love You Tama"
Dokter Azka melambai-lambaikan tangannya ke wajah Tama namun tidak mendapat respon apapun.
"Tama, what do you see? Hei?" Dokter Azka yakin operasinya berhasil, lalu mengapa Tama tidak merespon pergerakan tangannya?
"Hhhhhhhhhh." Air mata Tama keluar dari pelupuknya, Tama berbalik melihat Regina ibunya yang memasang ekspresi khawatir di wajahnya.
"Mama Tama bisa melihat lagi"
-To be continued-
(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT
Teen FictionSebelum pergi untuk selama-lamanya, Windy punya satu permintaan kecil. Yaitu mengatakan i'm sorry and i love you pada Pratama Langit Hadiputra. Tapi bagaimana? She's life in a silent forever.