I say sorry a lot, because I feel like everything is my fault – Anonymous.
...
Butuh waktu lama bagi Tama menerima kenyataan.
Menerima segala yang terjadi di kehidupannya dalam waktu singkat. Menerima berbagai kehilangan.
Kehilangan penglihatan, teman-teman, dan kehilangan Windy.
"Kasian banget ya, ganteng-ganteng kok buta?"
Tama memutar kepalanya mengikuti arah Sumber suara yang didengarnya. Tama tahu pasti yang di maksud adalah dirinya.
"Modal ganteng kalo cacat buat apa?"
Tama tidak membalas, ia hanya menunduk lalu tersenyum. Ia sekarang sudah tahu pasti apa yang dirasakan Windy.
Tama selalu mendengar para pria bahkan teman-temannya sendiri mengatakan hal yang sama tentang Windy.
'Cantik kalau cacat buat apa?'
"Oh ternyata kayak gini rasanya." Gumam Tama.
Begini rasanya dibuang dunia? Merasa seperti sampah hanya karena sedikit berbeda.
Yah, kadang dunia tak seadil itu Pratama Langit Hadiputra.
🍃🍃🍃
"Kamu mulai minggu depan homeschooling. Mama udah daftarin, gurunya khusus buat kamu."
Ibu Regina mengusap kepala putranya lembut. Sebenarnya ia sedih, Tama tidak dapat menjalani kehidupan layaknya anak-anak seusianya.
Ya, tapi setidaknya ibu Regina telah berusaha agar Tama tetap mendapat pendidikan yang layak meski ia sekarang sedikit berbeda.
"Hm." Responnya singkat, Tama hanya menggumam.
Rasanya Ibu Regina kehilangan putranya yang banyak bicara, cerewet dan penurut itu. Yang ada sekarang hanya Tama pemuda depresi yang berbicara seperlunya.
"Kamu kok jadi gini sih nak? Mama tahu kamu sedih karena Windy—"
"Akh Windy Windy Windy, Windy terus! Aku capek ma. Mama gak tahu betapa merasa bersalahnya aku karena ngebunuh Windy? Karena ngebiarin Windy mati karena aku dan di depan mata ku sendiri?"
Tama berteriak melepas segala yang mengganjal di hatinya.
Tama merasa frustasi, bersalah. Ia takut, dan ia sedih.
"Tama," Ibu Regina lirih.
"Hhhhhh cukup Ma. Keluar dari kamar Tama sekarang! Tama pengen sendiri." Usirnya.
Ibu Regina mengangguk, ia mengusap pelan bahu putranya kemudian berlalu meninggalkan Tama sendiri.
Ah, sebenarnya Tama tidak sendiri, perempuan yang masih lengkap dengan seragam dan darah kering di lengannya itu mendengar semuanya. Ia terpatung, bahkan sampai tak sanggup lagi menangis.
"Segitu muaknya kamu denger nama aku Tam?"
Sementara si pelaku yang memporak-porandakan hati Windy itu duduk di tepi kasurnya ia menunduk dan menutupi tangis dengan tangannya.
"Hhhhh kenapa aku masih belum ikhlas bahkan sampai detik ini Windy?"
Windy menatap Tama penuh tanya. Gadis itu ikut terduduk di sebelah Tama, Tangannya mencoba menyentuh pundak pria itu.
Tapi nihil, Windy tidak dapat menjangkaunya. Tama bukan jangkauannya.
Harusnya Windy sadar kalau ia dan Tama berbeda alam.
"Maafin aku Tam. ngehancurin hidup kamu yang Indah gak ada dalam rencana aku sama sekali."
Sekali lagi gadis itu hanya bisa bergumam dalam hatinya.
Bahkan jika ia bisa berbicarapun Tama tak akan pernah bisa mendengarnya.
Tama mengusap air matanya, perlahan ia mengangkat kepalanya. Mata, pipi dan hidungnya memerah. Pemuda itu bahkan tidak pernah menangis separah ini dalam hidupnya.
Windy heran, karena baru sedetik tadi Tama menangis tersedu sekarang pemuda itu tersenyum.
Tersenyum, tapi air matanya tetap jatuh sekuat apapun ia menahannya.
"Sekarang kamu gimana Wind? Aku kangen. Hhhh." Tanya Tama entah pada siapa sambil terisak pedih
Aku sakit ngeliat kamu kayak gini Tam.
-To be continue-
(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT
Teen FictionSebelum pergi untuk selama-lamanya, Windy punya satu permintaan kecil. Yaitu mengatakan i'm sorry and i love you pada Pratama Langit Hadiputra. Tapi bagaimana? She's life in a silent forever.