Mark tersenyum simpul menatap gadis manis dihadapannya yang sibuk membalas pesan teman-temannya, Mark tidak tahan untuk tidak mengambil gambarnya.
"Main handphone mulu cantik," Mark mencolek pipi gadisnya yang terlihat lucu dengan dua cepolan diatas kepalanya yang kata Mark mirip onde-onde itu.
"ish, Aku ini lagi mengalihkan perhatian. Kamu kan tahu aku takut naik kereta gantung malah diajakin ke sini."
Tidak ada jawaban dari Mark, Pemuda itu hanya menatap gadis didepannya ini yang tengah mengoceh tanpa henti, menikmati kecantikan paras yang benar-benar membuat Mark mabuk kepayang dibuatnya.
"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?"
Mark mencubit pipi gadis itu gemas segemas-gemasnya.
"Cantik banget sih Rin."
Herin mencibir, Mark dan mulut manisnya.
"Iya dong, Kalau aku gak cantik kamu gak mungkin naksir." Lalu Herin memamerkan pose yang membuat Mark ingin pingsan dibuatnya.
Herin cantik, Herin yang kini hanya hidup dalam kenangan seorang Mark.
⭐⭐⭐
"Windy!" Windy berbalik kala namanya dipanggil, benar seperti dugaan Yudha kini gadis itu ada di pinggir danau tempat Tama biasa berdiri.
"Hhhhh kamu kalau mau pergi bilang aku dulu kenapa sih Wind, aku capek cari kamu kemana-mana?" Omel Yudha seperti kakak yang mengomeli adiknya yang pulang terlambat tanpa kabar.
"Kamu kenapa Windy?" Yudha mendekati Windy yang kini menatap Yudha nanar penuh air mata.
"Hhhhhhhhh Yudha."
Windy terjatuh dan tersungkur diatas tanah, Windy tidak bisa menahan tangisnya lagi.
Terasa ada seseuatu yang membuat dadanya amat sakit, sesuatu yang bahkan mungkin Windy tidak bisa membalasnya sampai kapanpun.
"Hey, Ada apa Windy. Kamu kenapa?" Yudha ikut berjongkok didepan Windy.
"Mark menemui ku, Mark datang. Tapi..... dia jadi arwah Yudha. Mark mati. Hhhhhhh."
Windy kembali terisak, Ia teringat sekitar 20 menit yang lalu Mark mendatanginya di tempat yang sama.
"Kak."
"Mark?"
Windy berbalik mendapati tubuh Mark yang berdiri disampingnya, Namun ada yang berbeda dari Mark, matanya kosong, bibirnya pucat, dan darah di kepalanya.
"Kamu kenapa ya ampun Mark? Kamu-"
Kalimat Windy terpotong kala Mark memeluknya, membawa Windy kedalam dekapannya.
Windy membatu, setahunya Mark tidak bisa menyentuhnya karena Windy sudah tahu Mark Indigo karena ia melatihnya bukan karena memang terlahir Indigo.
Tapi kini Mark bisa menyentuhnya seperti Yudha.
"Terimakasih karena sudah jadi teman Mark, mungkin cuma ini yang Mark bisa lakukan untuk kak Windy. Kakak perlu ingat satu hal, Mark mati karena keinginan Mark sendiri,"
"Kamu... Ma..ti? A..Apa maksudnya Mark?"
Windy melepaskan dirinya dari dekapan Mark, menatap wajah Mark di hadapannya membuat Windy sadar. Mark kelihatan berbeda karena memang dia bukan manusia lagi, dia sudah menjadi arwah
"Tapi kenapa? Kamu tidak boleh membunuh diri kamu sendiri Mark."
Mark tersenyum.
"Sekali lagi aku bilang, Ini bukan karena kakak. Ada atau tidak adanya kakak aku akan tetap mati pada hari ini sama seperti rencana awal ku."
"Kenapa kamu memilih jalan seperti ini ada apa sama kamu Mark? Karena aku dan Tama? Tidak. Kamu tidak boleh. Aku sudah ikhlas jika harus selamanya terjebak disini dan jadi Roh jahat."
"Mark tidak akan membiarkan hal itu terjadi sama kak Windy, Kak Windy orang baik."
Mark mengelus rambut Windy hingga turun ke pipinya, Sentuhannya seperti ingin menenangkan hantu perempuan yang sudah Mark anggap seperti kakaknya sendiri itu.
"Kak Windy pasti sudah tahu kalau aku tidak dilahirkan seperti Yudha? Aku Cuma memaksa dan melatih mata batin ku untuk melihat hantu."
Windy mengangguk, meski ia masih bingung mengapa Mark melakukannya.
"Itu karena aku disiksa rindu kak, Aku gak bisa ditinggalkan dia. Perempuan yang aku ceritakan ke kakak."
"Maksudnya? Perempuan itu-"
"Dia hantu, dia meninggal setahun yang lalu. Ditikam disebuah jembatan penyebrangan saat pulang jalan-jalan sama Mark."
Mulut Windy terbuka, ia kaget. Ternyata tak hanya Tama dan dirinya atau arwah Rasti dengan Yudha. Mark juga memiliki masalah yang sama. Long distance relationship yang sejauh-jauhnya karena berbeda dimensi.
Mark mulai menceritakan ia belajar mangasah mata batinnya, meminta kepada orang yang berpengalaman mengajarinya hingga ia bisa melihat kembali Herin, perempuan yang dicintainya.
Pertama kali melihat Herin, Mark tersendu diatas sebuah jembatan penyebrangan, orang-orang yang melihatnya memandang Mark seperti pemuda yang cintanya ditolak karena memegang bunga mawar berwarna kuning di tangannya.
Mark memang tidak rutin mengunjungi Herin, Herin pun mengatakan untuk Mark melanjutkan hidupnya tanpa pernah boleh melupakannya.
Dan satulagi kegilaan dalam cinta yang terbukti karena Mark merasa tidak hidup tanpa Herin.
Herinpun mengalami hal yang sama dengan Windy, ia tidak bisa menyebrang karena masih memiliki cinta yang teramat besar pada Mark, hingga Mark mengatakan untuk Herin menunggunya, mereka akan menyebrang bersama.
Anggaplah Herin egois tapi Herin memang berharap Mark mati dan bisa menemaninya.
"Kak Tama akan melihat lagi, Mark akan memberinya mata Mark. Kak Windy juga sudah bisa menyebrang. Dan jangan salah Kak Wind, Aku bahagia. Mark bahagia. Mark mati tanpa sebuah penyesalan pun."
Windy menjadi teringat alasannya mati, karena menyelamatkan Tama. Dan senyuman yang di ukir Mark saat ini persis seperti senyuman yang di lukiskan Windy saat ia berkata ia bahagia mati muda.
Air mata Windy semakin deras mengalir, Windy kemudian kembali memeluk Mark.
Mark yang disangkanya tidak baik dan hanya bermain-main dalam membantunya. Ternyata bantuan Mark sangat besar bagi Windy dan Tama.
"Terimakasih Mark."
"Aku tunggu kakak di surga"
-To be continued-
(Don't forget to touch the stars below if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT
Teen FictionSebelum pergi untuk selama-lamanya, Windy punya satu permintaan kecil. Yaitu mengatakan i'm sorry and i love you pada Pratama Langit Hadiputra. Tapi bagaimana? She's life in a silent forever.