Duapuluhsatu

4.4K 459 361
                                    

Wajah dingin itu masih memandang kosong ke arah depan, melihat gedung-gedung pencakar langit yang menghalangi sinar matahari, setetes air mata meluncur mulus dari sudut mata tajamnya.

"Maafkan aku ibu." gumamnya, berita kematian ibunya telah sampai di pendengarannya. Padahal baru beberapa hari lalu dia teramat senang karena kondisi ibunya yang sudah membaik, dia sudah merencanakan akan menjemput dua orang paling berharga dalam hidupnya itu, namun naas, rencana hanya tinggal rencana.

Manusia hanya bisa menyusun sebuah rencana yang mereka inginkan, namun hanya tuhan yang bisa membuat segalanya terlaksana.

Pemuda itu akhirnya menjauhi jendela lalu menuju kursi kebesarannya di dalam ruangan itu, duduk di kursi mahalnya lalu menatap sebuah figura di atas meja kerjanya, seulas senyum tipis terukir di sana.

Di figura itu nampak dua orang anak laki-laki yang tersenyum bahagia menghadap ke arah kamera, gambar yang di ambil sekitar dua belas tahun lalu.

Perasaan bersalah dan menyesal itu selalu menghantuinya, merasa tak percaya diri dan merasa tidak pantas untuk kembali di hadapan sosok adiknya yang pasti sangat membencinya karena meninggalkannya hanya karena perasaan egoisnya.

"Hyung akan pulang Jinyoungie."

.
.
.
.
.
.

Mendung masih menguasai, sejak pagi matahari bahkan tak dapat menembus tebalnya awan di langit. Hujan baru saja berhenti, menyisahkan genangan-genangan air kecil di beberapa bagian jalan.

Asap dupa tercium menyengat dari dalam sebuah gereja tak jauh dari pusat kota, orang-orang berpakaian hitam tengah berdiri dengan rapi di depan kursi yang di sediakan gereja untuk berdoa.

Beberapa orang terlihat berlalu lalang menyempatkan berdoa sebentar di depan patung Tuhan Yesus, mendoakan ibu Jinyoung lalu meletakkan setangkai bunga Mawar putih di atas meja yang telah di sediakan, Jinyoung berdiri di samping peti mati ibunya.

Di sana ibunya terbaring dengan gaun pernikahan berwarna putih, lengkap dengan segala perhiasannya, wajahnya di poles make up tipis membuatnya nampak sangat cantik, seperti seorang pengantin yang terlelap dengan damainya, Jinyoung hanya memandang itu semua dengan datar.

Sanak saudara Jinyoung mulai berdatangan mengucapkan belasungkawa padanya tapi hanya beberapa orang saja yang akan di balas oleh pemuda Bae itu.

Dan hingga segala doa telah di panjatkan, Jinyoung kembali memerhatikan ibunya yang terbaring nyaman di dalam peti berwarna putih itu, sebelum peti itu tertutup rapat dan membuatnya benar-benar tak dapat melihat ibunya lagi.

Jaejong berdiri di samping putranya itu lalu menyentuh bahunya lembut, tapi dengan cepat Jinyoung menepis tangan itu dari bahunya lalu berjalan melalui Jaejong begitu saja dengan wajah datarnya.

Melihat itu Jaejong hanya menghela napas lelah, dia bahkan masih syok dengan kematian BoA dan sekarang dia yakin Jinyoung makin membencinya, di rasakannya elusan lembut di bahunya membuatnya menoleh.

"Dia hanya terlalu sedih, kita bicarakan lagi padanya dengan perlahan." ujar SoRa lembut.

Jaejong hanya mengangguk.
"Baiklah."

.
.
.

Jinyoung memegang sebuah bingkai besar foto ibunya di dalam foto tersebut terlihat BoA yang tersenyum begitu cantik, Jinyoung berjalan dengan tatapan mata kosong ke depan, menatap lekat pada peti mati berwarna putih yang mulai di bawa masuk ke area pemakaman.

Langit mendung di tambah desiran angin dingin sore itu membuat suasana semakin berkabung, Jinyoung harus menarik napasnya dalam berusaha menahan seluruh sesak di dadanya ketika melihat sudah ada sebuah lubang yang sengaja di gali untuk tempat peristirahatan terakhir ibunya.

RIVALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang