"Yya, kau mau?" Younghyun berujung menawarkan secuil permen karet pada rekan sepernasibnya yang sudah sejak sepersekon lalu bungkam. Paras angkuh anak itu tampak gelisah.
"Kau... takut?"
Dan anak itu kian menundukkan wajah.
"Geurae (benar), mereka pasti akan berkata yang bukan-bukan. Tapi, berjanjilah untuk tetap mendongakkan wajahmu. Okay?" Younghyun lanjut menguatkan, mengepal sebelah tangan, gestur 'hwaiting' tersirat.
Dowoon refleks saja menoleh, menatap senior berpipi gembul itu lekat. Sementara derap langkah terdengar kian dekat.
"Mian (maaf), aku telah membuat kalian menunggu." Jae tiba beberapa sekon setelahnya, "Kajja (ayo)," langsung menggiring dua juniornya dan melanjutkan langkah seolah tak pernah terjadi apa-apa. Younghyun dan Dowoon menurut saja di belakang.
Mereka lantas berpisah sesampainya di persimpangan. Younghyun meminta pergi lebih dulu menuju kelas, bilang tidak perlu diantar. Jaehyung sepakat, lanjut mengantar tamu kedua ke kelas 1-3.
Dan benar saja. Benar ketika Jae berpikir bahwa berita kepindahan mereka sudah meluber ke mana-mana. Benar pula kalau berita itu memecah pergunjingan yang tiada habisnya. Bahkan ketika Younghyun mengujar salam perkenalan di depan rekan sekelas, mereka malah dengan terang-terangan menatapnya curiga, seolah memang ialah pelakunya.
"Yya! Jadi, benar kau siswa pindahan dari SMA Gangyoo?"
"Bisa kau jelaskan alasan mengapa kau pindah kemari?"
"Kau, tidak sedang menyembunyikan sesuatu, bukan? Maksudku, kau pindah bukan karena kaulah pelakunya."
Tuduhan terakhir sontak membuat Younghyun meranum, sinis. Kelas ini lebih pantas disebut penjara, agaknya.
"Wae (kenapa)? Kalian mencurigaiku?" Younghyun sejenak hampir tergelak, "Mwo (yah), silakan saja. Lagipula, setelah kalian mengenalku, barulah kalian akan menyesal karena telah berpikir demikian." Ia lantas santai membungkukkan badan, mengakhiri salam perkenalan yang seketika itu pula membuat rekan sekelasnya bungkam.
Sementara hal serupa juga berlangsung di dalam kelas 1-3. Bahkan lebih terdengar bising karena para siswa hanya berani berbisik satu sama lain, menyimpan prasangka di balik atensi mereka. Guru Jung siap siaga mengawasi, itulah sebabnya.
"Anyeong, Yoon Dowooni-yya." Siswa berkesan arogan itu lantas membungkukkan badan, yang bersambut desas-desus dari seluruh penjuru ruang.
Memuakkan.
"Yya, lihatlah wajahnya! Ia bahkan lebih horor dari seorang pembunuh!"
"Mengingat pelakunya yang sampai sekarang masih menjadi rahasia saja sudah cukup membuatku takut. Ditambah lagi dengan datangnya dua siswa dari sekolah itu!"
"Yya, bagaimana kalau ternyata salah satu di antara mereka benar pembunuhnya??"
"Atau... malah dua-duanya???"
Juga bodoh.
"Oi, Hagsaeng (murid)!" Guru Jung berujung menggebrak meja, kontan membungkam seluruh siswa, "Apa begini cara kalian menyambut teman baru, hah?!" Beliau lanjut membentak.
Seluruh siswa bodohnya lantas separuh hati membalas, "Anyeong haseyo," atau memang mereka nihil jiwa.
Sementara Dowoon masih bungkam memandang kosong, absen ekspresi. Diam-diam ia meremas jemari.
"Nah, Dowoon-ah, duduklah di bangku yang masih kosong," ucap Guru Jung kemudian, sembari menepuk bahu Dowoon sekilas, menguatkan.
Anak malang itu hanya mengangguk samar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ERASER [Sudah Terbit]
Fanfiction[Under Revision] "Jika kau dan aku menjadi kita, maka kuyakin semua akan baik-baik saja." -ERASER- 🍁BLURB🍁 Berawal dari insiden kematian Hanna, sebuah band akhirnya dibentuk demi meredam perundungan yang menyeret nama Younghyun dan Dowoon sebagai...