BAIT KEDUA PULUH

792 128 165
                                    

"Yya! Ini milikku!" Anak lelaki berusia kurang lebih tujuh tahunan itu terus merajuk, berusaha merebut paksa mainan dari tangan kawan kecilnya.

Sedangkan bocah berumur lima tahun itu juga tak mau kalah, berusaha mempertahankan mainannya dalam genggaman, "Aniii...! Ini milikku! Kau bahkan tidak berhak menyentuhnya---aah!" dan sontak ia terjatuh, bersamaan dengan mainannya yang sudah berpindah tangan.

"Sudah kubilang ini milikku!" Anak lelaki itu berkata tegas sembari tersenyum puas menatap mainan yang berhasil direbutnya. Bahkan ia tak merasa bersalah sedikit pun setelah mendorong temannya hingga terjatuh demi mainan itu, berlalu begitu saja.

Bocah berumur lima tahun itu terdiam, tak berniat mengejar. Kaki dan tangannya terasa sakit. Namun ia juga tak berniat menangis. Ia hanya tertunduk, pelan-pelan membersihkan telapak tangan.

Hingga tak selang berapa lama kakaknya datang, "Yya! Neon gwaenchana?" mendekat, memeriksa goresan di lutut dan sikunya. Berdarah.

"Yya! Kau terjatuh? Kenapa bisa sampai seperti ini?! Atau kau berkelahi lagi?!?" Anak berkaca-mata itu lanjut bertanya cemas pada adiknya yang masih tertunduk, tak menggeleng ataupun mengangguk. Bocah lima tahun itu hanya membisu.

"Manhi appa?" Hingga ia bertanya dengan lebih pelan, "Katakan sakit kalau memang terasa sakit, Sungjin-ah..."

Senyap. Lima detik setelahnya, anak yang disapa Sungjin tadi benar-benar terisak. Tangisnya pecah di pelukan kakaknya. Dekap hangat yang selalu ia rindukan.




Hingga sekarang.


Setitik rinai bergulir pelan dari kedua sudut kelopaknya yang masih terpejam. Mimpi indah itu terasa begitu nyata, bahkan rasa sakitnya juga. Ia sungguh merasakan sakit di sekujur tubuhnya. 

Namun, tak ia rasakan dekap hangat itu.

"Hyeong..." Ia lantas mendesah, pelan, antara terdengar dan tidak. Kelopaknya perlahan mulai terbuka, lemah mengerjap-ngerjap. Jemarinya pelan bergerak-gerak.

"Hyeong..." Ia kembali memanggil, masih tak mampu menatap jernih ke sekeliling. Tubuhnya benar-benar serasa tertanam, sakit.

Sedangkan yang dipanggil sebenarnya sudah berada di sisi tempat tidurnya, menggenggam lembut sebelah tangannya sembari tertunduk, tertidur. Hingga sesaat kemudian anak berkaca-mata itu tersentak, seketika mendongak begitu ia merasakan jemari adiknya bergerak-gerak.

"Yya! Kau.. kau sudah sadar?!?" Jae sontak berteriak senang, panik, dan apalah yang kini tumpah menjadi satu. Ia lantas buru-buru hendak memanggil ibunya yang masih berkonsultasi dengan dokter di luar.

Namun genggaman itu sempurna membuat langkahnya tertahan.

"Hyeong... kkajima.." Sungjin kembali berucap samar, balas menggenggam jemari Jae sebisanya, menahan langkah kakaknya semampunya.

"Kumohon... jangan pergi..." Ia bahkan kembali terisak, melepaskan satu-dua air mata dari sudut kelopak, membuat Jae terhentak dan sempurna mengurungkan niat.

"Geurae..." Anak berkaca-mata itu lantas kembali duduk di kursi di samping tempat tidur, bahkan tanpa melepas genggaman, membuat senyap kemudian.

Sungjin yang sudah mampu mengembalikan separuh kesadaran kini mencoba menghapus air matanya dengan sebelah tangan yang masih gemetar.

"Yya.." Jae yang menyadari hal itu buru-buru menurunkan sebelah tangan Sungjin, membantu menghapus air mata adiknya. Ia mengusap pelan pipi Sungjin yang basah. Tangannya pun gemetar meraba sudut kelopak adiknya yang kini menatapnya lamat.

ERASER [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang