BAIT KETIGA PULUH TUJUH

507 98 89
                                    

Seragam sekolah lamanya, mengapa bisa berada di sana?

Sepasang kelopak membulat Dowoon masih enggan mengalihkan pandang, sedang sebelah tangannya mulai mengambil seragam itu secara perlahan. Dan benar. Kalau pun bukan, maka seragam itu hanya berbeda dalam hal ukuran.

Selebihnya, semua sama.

"Dowoon-ah... aku sudah selesai! Kau mau mandi atau makan terlebih dulu? Pilih salah satu!" Teriakan hasil suara diafragma Wonpil dari sekat pintu kamar mandi bahkan tak mampu memecah perhatian anak itu barang sekali.

Dowoon tetap fokus pada tanda tanya dalam syaraf pikirnya, bahkan meski ia tahu pertanyaan mengapa Wonpil memiliki seragam itu di sana tetap akan menggantung begitu saja.

"Dowoon-ah...?" Hingga suara sang pemilik terasa kian dekat menyapa, memaksa Dowoon untuk menghentikan aksi menatap lekat baju seragam, buru-buru memasukkannya kembali ke dalam almari.

"Oh, kau sudah selesai?" Dan genap sudah salah tingkahnya begitu Wonpil tiba.

Anak berpostur kurus itu terdiam, memandang Dowoon heran.

"Mwo-yya... kau tidak mendengarku? Bahkan aku sudah berteriak-teriak memberitahumu sejak tadi."

"Aah... geurae?" Dowoon memanipulasi gestur, balas tertawa seolah semua baik-baik saja, "Sepertinya aku terlalu sibuk memilih baju, mian." kilahnya.

Dan Wonpil juga dengan lugunya lantas percaya, "Aigoo... geurae, kalo begitu mandilah dulu. Aku tunggu di meja makan."

Dowoon mengangguk. Sedang rekannya sudah buru-buru berlalu menjauhi pintu, membuat Dowoon kembali berpraduga dengan tanya mengapa Wonpil bisa memiliki seragam itu di sana.

***

Sedang di kediaman Park.

"Eomma, aku pulang..." Anak beranting tiga itu melepas alas kaki seadanya, buru-buru menghambur masuk ke dalam.

"Oh, kau sudah pulang." Park Eomma balas menyapa, sembari sibuk membereskan meja makan.

"Ne. Jae Hyungie-Hyeongie neun?"

"Oh, dia juga sudah pulang. Sekaligus sudah tidur. Tadi ia pamit hendak tidur lebih awal."

"Ah... geurae." Sungjin lantas sejenak terdiam, membiarkan gelas kosong yang tadinya hendak ia isi ulang tetap tergenggam di sebelah tangan.

"Geundae, Sungjin-ah..." Sedang Park Eomma kembali bicara dengan intonasi lirih tak terduga, "apa kakakmu.. sudah bercerita soal konseling psikologisnya hari ini?"

Anak tiga anting itu kontan menggeleng, "Apa dia juga tidak bercerita apapun pada Eomma?"

Ibunya membalas dengan gerakan sama, membuat Sungjin menghela napas sekenanya. Sebelum lantas mengucap selamat malam dan pamit masuk ke dalam.

Ia memutuskan untuk singgah ke ruang tidur kakaknya barang sebentar.

Dibukanya kenop pintu dengan perlahan, berlanjut dengan memandang lamat wajah Jae yang sudah terlelap.

"Hyeong..." Anak tiga anting itu bermonolog, mendekat, sembari tetap memandang lekat, "...apa kita memang belum sedekat itu? Mengapa aku merasa masih banyak hal darimu yang tidak kutahu?"

***

Hingga satu malam terlewat.

Entah dengan rasa seperti apa si mentari muncul pagi ini. Jarum jam masih santai menjejak angka enam dan sepuluh, seolah memberitahu bahwa hiruk-pikuk rumah itu sama sekali tak tersentuh.

ERASER [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang