Uap mengepul dari sistem pemanas yang sengaja diletakkan di ujung nakas, membungkus isak yang terus menguar di sela lengang. Anak beranting tiga itu tak henti membisikkan frasa pada jemari, pada genggaman yang tak kunjung memberi semiotik baik.
Anak yang kini tak lagi mampu beradu dengan kacamata tanpa lensanya itu, masih terbaring bersama rahasia inisial nama yang nyatanya tak seorang pun tahu. Dan entah sampai kapan, dokter tak berani meski hanya sekadar mengira. Kondisinya masih terlalu riskan.
"Hyeong, mianhae...." beginilah, permisalan yang terus berulang. Sedang si komunikan jelas hanya terdiam, meski Sungjin yakin syaraf dengar kakaknya masih bekerja secara normal.
"Maaf, sungguh maafkan aku yang sempat meragukanmu," kembali, sejenak ia bungkam menahan isak, "Mianhae, karena aku tidak cukup bisa menjadi seseorang yang kau percaya. Kau bahkan harus memendam rahasia itu sendirian. Jeongmal mianhae, Hyeong..."
Benar, soal memendam rahasia inisial nama itu sendirian. Antara ragu dan memang tak mau. Selama ini anak berkacamata itu bungkam demi menjaga diri sendiri, karena jika semua tahu maka demikianlah yang terjadi. Selain itu, ia punya alasan lain yang cukup mengganggu.
Rahasia inisial nama itu, nama yang cukup berharga. Ia hanya tak merasa bisa mengatakannya.
Hingga salah satu jari dalam genggaman Sungjin memberi pertanda ringan, membuat anak tiga anting itu terhentak dan sontak mendongak, "Hyeong?"
Terdengar embusan napas pelan, dengan kelopak yang masih terpejam rapat. Sebelum akhirnya mengerjap, sekali-dua untuk menyesuaikan cahaya. Bersamaan pula dengan bibir penuh anak itu yang seolah hendak melontar sesuatu.
Sungjin yang cukup paham dengan isyarat langsung buru-buru mendekat, "Hyeong, neon gwaenchana? Ada yang mau kau sampaikan padaku?"
Jae mengeratkan genggaman, meski tak seberapa namun Sungjin cukup mampu merasa. Kakaknya sedang berusaha bicara.
"Do—woon..." samar. Lebih banyak udara terlontar ketimbang artikulasi.
Sungjin memangkas lebih banyak jarak, semakin mendekatkan rungu, sekali lagi.
"Do—woon..." persis sama, dan anak beranting tiga itu akhirnya mampu menerka.
"Dowoon? Kau ingin aku memanggilnya?"
Hela udara yang kesekian. Kakaknya mengerjap perlahan.
🍁 🍁 🍁
Sedang di luar ruang, ketiga bangku ruang tunggu itu masih harap-harap cemas dalam diam. Detektif Seo sedari tadi mondar-mandir, menatap layar ponsel dan arloji secara bergilir. Sedang Younghyun dan Dowoon tertunduk, entah sedang berkelana memikirkan apa.
"Jaehyung-ie Hyeong... akan baik-baik saja, bukan?" Dowoon berakhir memecah lengang, kontan mengalihkan berpasang pandang.
"Eum," meski tak yakin, Detektif Seo tetap berusaha menenangkan.
"Dan... apa dia sungguh mengetahui semuanya? Tapi... kenapa ia harus merahasiakan itu, setidaknya dariku? Bukankah ia juga tahu kalau Hanna Noona adalah kakakku?"
Lelaki berseragam kasual itu bungkam. Soal itu, ia juga masih tak bisa paham.
"Apa pun itu, ia pasti memiliki alasan, Dowoon-ah," Younghyun menyela, memberi jawab terbaik.
Yang lantas diinterupsi oleh suara kenop pintu dibuka. Sungjin muncul dari dalam, kontan membuat ketiganya beranjak menghampiri.
"Bagaimana? Jae sudah siuman?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ERASER [Sudah Terbit]
Fanfic[Under Revision] "Jika kau dan aku menjadi kita, maka kuyakin semua akan baik-baik saja." -ERASER- 🍁BLURB🍁 Berawal dari insiden kematian Hanna, sebuah band akhirnya dibentuk demi meredam perundungan yang menyeret nama Younghyun dan Dowoon sebagai...