Masih dalam ruang berukuran sedang, dengan uap pemanas sekaligus aroma peralatan medis menguar sepanjang lengang.
"Eih... seharusnya kau tetap berbaring saja, Jaehyung-ah," Detektif Seo kembali mendumal untuk yang kesekian sembari membantu Jae bangkit dari ranjang.
Sedang anak berpola kian tirus itu hanya cengengesan, merasa kondisinya sudah cukup normal untuk bertingkah macam-macam. Dasar ayam.
"Kau tidak perlu melakukan interogasi ini sekarang, Hyeong. Kita bisa melakukannya nanti jika kau sudah benar-benar pulih," Sungjin mengimbuh, level cemasnya meningkat berkali lipat mengingat kondisi kakaknya yang pulih terlampau cepat.
Dan Jae, sekali lagi, hanya tersenyum samar menanggapi.
"Gwaenchana," hingga ia lantas berucap, "Lagi pula, aku harus cepat bersaksi agar kasus ini bisa segera ditangani."
Giliran Detektif Seo menghela udara panjang,
"Geurae," kemudian mengambil posisi duduk di samping ranjang, berseberangan dengan Sungjin yang masih erat menggenggam jemari kakaknya di sisi kanan, "Kalau begitu, kau bisa mulai bercerita tentang kejadian malam itu. Ceritakan seluruh kronologis kejadian yang kau tahu."
Jae sejenak diam, mengambil udara.
"Malam itu,"
Kilas balik.
Saat anak berkacamata itu bernegosiasi dengan sakit dalam perutnya yang kian menjadi, berkat alergen yang tidak sengaja ia cerna—sekali lagi—membuatnya harus membuka-tutup kenop pintu toilet berulang kali. Arloji sudah malas hendak menjejak angka sembilan dan dua belas, sedang kongsi dagang mereka dengan kepala sekolah Gangyoo mengenai prosesi olimpiade belum juga tuntas.
"Aigoo... kenapa juga aku mau memakan roti isi itu tadi!" Jae melontar umpatan yang kesekian, ketika ia sudah hendak keluar dari toilet namun rasa dalam perutnya masih juga tak sejalan.
Ia terpaksa harus kembali, lagi, menikmati suasana toilet sekolah tetangga. Ia bahkan enggan memikirkan pendapat Profesor Kim maupun kepala sekolah Gangyoo tentang dirinya yang tak keluar toilet selama hampir satu jam.
Atau mungkin, tidak benar-benar demikian.
Malam itu, selaiknya malam yang wajar, sekolah sudah lengang. Hanya tersisa satu-dua ruang yang masih tampak terang, ruang ekskul. Tak ada pula suara yang semestinya tersisa. Namun, syaraf dengar anak berkacamata itu mendadak bekerja, menangkap frekuensi yang tak seharusnya ada.
Suara teriakan. Meski samar, namun cukup membuat Jae tak lagi menghiraukan sakit dalam perut.
"Igo... mwo-yya?" Sejenak ia terdiam, demi mendengar suara yang kian jelas merasuk ruang dengar, membuatnya tak jadi membuka kenop pintu lagi. Tengkuknya sekejap meremang.
Alih-alih melarikan diri—karena ia memiliki fobia pada hal-hal tak kasat mata—langkahnya malah membawa raga keluar menuju sumber suara, menderap pelan kotak per kotak lantai koridor yang sama sekali tak ia ketahui pasti.
Anak berkacamata itu bahkan tak bisa mengira sedang menuju ke mana. Ia hanya menurutkan insting pendeteksi kebohongan yang kini sibuk berkongsi dengan syaraf dengar. Ia yakin tak sedang berhalusinasi, apalagi sedang dipermainkan oleh makhluk dalam sinetron horor yang belakangan kian menjadi.
Ia yakin bahwa suara itu nyata. Seseorang sedang tidak baik-baik saja.
"PERGIII!!! PERGIIIIIIII!!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ERASER [Sudah Terbit]
Fanfiction[Under Revision] "Jika kau dan aku menjadi kita, maka kuyakin semua akan baik-baik saja." -ERASER- 🍁BLURB🍁 Berawal dari insiden kematian Hanna, sebuah band akhirnya dibentuk demi meredam perundungan yang menyeret nama Younghyun dan Dowoon sebagai...