"Hyeong...? Kau.. sedang apa di sini?"
Atmosfer lengang jalan kembali menjadi latar. Yang dicecar tanya tanpa gugup mengulas sedikit tawa, sedang yang bertanya kini beralih menunduk dengan air paras nan redup.
"Kau sendiri, sedang apa di sini?" Begitulah cara Jae menerka.
Begitulah cara anak berkaca-mata itu menjadikan adiknya seorang tanpa dusta. Karena membohonginya jelas akan menjadi klausa jawab yang percuma.
Hingga anak tiga anting itu lantas terdiam.
"Kau mencuri nomor telepon Kons---ah maksudku Detektif Moon, dari ponselku." Dan Jae kontan menambah tensi perbincangan untuk adiknya terhentak sepertiga detik kemudian,
"A-aniya, Hyeong..."
"Aku memberimu pernyataan, bukan pertanyaan." Tegasnya, yang lantas kian membuat muram.
Sungjin kembali bungkam.
"Wae? Untuk apa?"
"Geu---geugeon... aku.. hanya penasaran dengan konseling psikologismu. Itulah sebabnya aku bertanya pada Konselor Moon, apa sebenarnya maksud dari konseling psikologis itu."
"Ani, maksudku, untuk apa kau menanyakan hal itu pada Detektif Moon?" Jae dengan tangkas memangkas, lagi, "Kenapa kau tidak menanyakannya langsung terlebih dulu padaku?"
Sungjin memandang saudara sedarahnya lekat, dan hanya itu yang mampu ia perbuat.
Sedang Jae kembali mencecar, ragu, "Apa kau... curiga padaku?"
Skakmat.
Anak beranting tiga itu tertegun dengan kelopak sempurna membulat.
"Kau... tidak mempercayaiku?" Sementara kakaknya terus mengulang frasa terluka yang sama, membuat Sungjin tak lagi mampu menatap apalagi berucap.
Ia jelas ingin menyangkal, dan pula, ingin percaya. Namun kata demi alinea Detektif Moon seakan terus terdengar samar, tentang ia yang tak boleh percaya sepenuhnya (dalam situasi ini), bahkan pada seseorang yang teramat ia kenal.
Atau mungkin, tidak benar-benar demikian. Seharusnya Jae mampu bercerita, bahkan meski Sungjin belum mengisyaratkan tanya.
Hingga anak berkaca-mata itu lantas tertawa, kecil saja, namun cukup membuat sesak,
"Kau bahkan tidak bisa menjawab pertanyaanku, Sungjin-ah?" membuat rinai adiknya kontan berdesakan menjejali kelopak.
Anak tiga anting itu tertunduk, dalam.
"Geurae. Aku sudah cukup mengerti. Gwaenchana." Sedang Jae juga enggan menahan rinai apapun yang kini menutup jelas pandangan. Ia menghapusnya sekejap, sebelum lantas berlalu, menyisakan senyap.
Bagaimana pun, ia takkan bisa menunjukkannya. Bukan hanya ia saja yang lara.
"Mianhae, Hyeong..." Bahkan anak beranting tiga itu tak lagi bisa menahan isak dalam diam. Ia sembunyikan intonasi dalam dekap lengan, memeluk lutut di tepian jalan.
Ketika ia bahkan tak mempunyai cukup alasan untuk percaya, ketika ia tak punya cukup pilihan untuk bertanya.
Terlebih, setelah mengetahui Hana adalah figur utama bagi seseorang yang selama ini selalu berusaha ia jaga.
***
Di lain sisi.
Anak berpostur kecil itu juga nampak frustasi begitu lepas urusan dari kelakuan ayahnya yang kian menjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ERASER [Sudah Terbit]
Fanfic[Under Revision] "Jika kau dan aku menjadi kita, maka kuyakin semua akan baik-baik saja." -ERASER- 🍁BLURB🍁 Berawal dari insiden kematian Hanna, sebuah band akhirnya dibentuk demi meredam perundungan yang menyeret nama Younghyun dan Dowoon sebagai...