"Aigo-yya... kuharap masih belum terlambat."
Siswa berpostur kecil itu bergegas menyusuri koridor demi koridor, menuju satu-satunya tempat yang menurutnya bisa ia andalkan untuk mencegah sahabatnya bertemu dengan siswa tiga anting itu.
Sementara di tempat yang ia tuju, si Ketua Osis benar masih setia dengan tatapan kosong dan bangkunya. Sesekali ia menarik napas berat, mengusap wajah. Berulang kali ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang jelas akan terjadi karena ulah anarkis adiknya, membuatnya frustrasi hingga tak sadar seseorang mengetuk pintu ruang Osis dari luar.
"Ou? Jaehyung-ah?" Vokal lembut gadis itu sontak membuat Jae mendongak.
"Kau tidak masuk kelas?" Lanjut Da Eun, yang lantas tak diacuhkan.
Siswa berkacamata itu kembali membenamkan wajahnya di atas meja, membuat Daeun kembali terdiam sesaat, sembari lalu mendekat dan menyentuh lengan sahabatnya perlahan.
"Neon... gwaenchana (kau baik-baik saja)? Sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu."
"Oh, wae (ya, ada apa)?" Jae balas menatap lekat meski tampak tak berminat, "Kuharap kau akan mengatakan sesuatu yang normal," ia memicing.
Daeun seketika menunjukkan lengkuk bibirnya, "Geureom (tentu saja)! Aku membawa kabar yang sangat normal untukmu," masih menatap lurus sahabatnya yang kini mulai dibungkus rasa penasaran. "Kau dipanggil kepala sekolah."
Spontan kelopak Jae membulat.
"MWO (APA)??? Aaiiissshhh... jeongmaaal... @#!?@#!" Siswa berkacamata itu berakhir mengacak rambut usai menuang seluruh sebal dalam berbagai macam umpatan.
"Kapan hidupku bisa tenang, hah!" Dan ia masih memaki pada dirinya sendiri saat melangkah menuju pintu, membuat Daeun terheran-heran menatap tingkahnya yang tidak seperti biasa.
Ya, ia tahu sahabatnya memang tidak pernah waras. Namun, belum pernah ia merasa harus mengantar Jae ke UGD rumah sakit jiwa terdekat, hingga detik ini.
"Wae geurae-yyo? Sebenarnya ada apa denganmu? Bukankah panggilan kepala sekolah adalah kabar yang sudah biasa kau dengar? Tapi kenapa wajahmu mendadak berubah jadi semuram itu? Yya, AYAM!" Serentetan pertanyaan yang mentah-mentah tak diacuhkan. Siswa berkacamata itu dengan cepat menutup pintu, membiarkan sahabatnya berdiri termangu.
Sementara di luar ia terus saja mendumal. Harinya menyebalkan, begitu juga dirinya. Hingga mendadak ia berpapasan dengan seseorang yang seketika itu pula membuat langkahnya tertahan.
"Ommo! Jaehyung Sunbae!" Kim Wonpil lantas bergegas membungkukkan badan, bersamaan dengan napasnya yang masih tersengal.
"Neon mwo (mau apa kau)?" Sementara wajah tampan dan muram Jae yang sama sekali tidak bisa diajak berkompromi sontak membuat junior di hadap tergagap.
"Mmmh.... aku... aku ingin... ingin.... meminta tolong padamu, Sunbae."
"Meminta tolong?"
"Ne (benar). Mmmh... sahabatku... sedang dalam masalah, Sunbae. Dia—dia ingin sekali bertemu dan meminta-maaf pada Sungjin Sunbaenim. Dan—dan aku takut kalau terjadi sesuatu padanya."
Jae menghela napas sesaat, beralih melipat kedua tangan di depan dada, menunjukkan wajah sebal level maksimal. "Geuraesso (lalu)?"
"Geuraesso... mmm..." sedangkan Wonpil kian terbata pula melihat ekspresi Jae yang seolah bisa mencakarnya kapan saja, membuat pikirannya buyar kemana-mana, "Iya, itu, temanku—ehm, dia ingin meminta maaf pada Sungjin Sunbae, begitu," dan ucapan terakhirnya sontak membuat senior di hadap tertawa. Wonpil memasang wajah heran seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
ERASER [Sudah Terbit]
Fanfic[Under Revision] "Jika kau dan aku menjadi kita, maka kuyakin semua akan baik-baik saja." -ERASER- 🍁BLURB🍁 Berawal dari insiden kematian Hanna, sebuah band akhirnya dibentuk demi meredam perundungan yang menyeret nama Younghyun dan Dowoon sebagai...