Ini sudah dua bulan sejak Yos wisuda sementara aku masih saja berkutat dengan tugas akhir. Tiga bulan lagi genap satu tahun aku mengerjakan tugas akhir dan bila dalam jangka waktu tersebut tidak bisa selesai maka aku dinyatakan tidak mampu menyelesaikan topik itu dan harus mengganti judul dan mengerjakan lagi dari awal. Amazing!
Masih jelas ketika Yos melambaikan tangannya ke arahku. Dia terlihat sangat bahagia. Begitu juga dengan ayah dan bunda. Gusti yang juga datang waktu itu berkali-kali hanya berkata, "Tenang Na, dua bulan lagi kita juga pasti bisa nyusul Yos."
This life is so amazing! Yang benar saja.
Yos sekarang sudah bekerja di perusahaan konsultan internasional karena kemampuan bahasa Inggris dan Prancis-nya yang luar biasa. Sedangkan aku masih berkutat dengan tugas akhir yang menakutkan seperti monster. Jogja memang istimewa. Sebenarnya aku dulu pernah berdoa agar aku bisa menetap di Jogja, dan mungkin Tuhan sedang mengabulkan doaku.
Tumpukan revisi ini selalu saja berhasil membuatku lemas dan berakhir mengumpat. Oke, aku memang terlalu banyak mengumpat ketika mengerjakan revisi terakhir. Tapi itu karena revisi memang menyebalkan. Dan sekarang aku malah mulai berhalusinasi! Kertas itu tiba-tiba berubah seperti surat makian seperti dalam film Harry Potter dan menyumpahiku agar aku tak lagi menyumpahinya. Aku menelengkan kepala dan menggeleng keras.
Aku melempar pandang ke foto Yos yang tergantung di ruang keluarga. Dia tersenyum. Entah apa yang terjadi dengan otakku, tapi sepertinya senyum Yos terlihat sedikit aneh bagiku. Bibir sebelah kirinya ditarik lebih tinggi ke atas seolah mengejek. Apa sejak dulu Yos selalu tersenyum seperti itu? Aku menyilangkan mata. Ini gila! Kenapa mulut Yos bergerak-gerak dan mengeluarkan umpatan paling familiar di telingaku sambil tertawa?
Tidak mungkin! Yos bahkan tak pernah mengumpat di depanku. Kenapa aku merasa seolah semuanya sedang menyumpahiku sekarang? Bahkan televisipun sedang menampilkan variety show yang isinya orang memasak sambil mengumpat. Itu tentu membuatku semakin terstimulasi untuk mengumpat kan? Jadi aku tak salah dong kalau sekarang malah bernyanyi sambil mengumpat.
Handphoneku berdering. Dan setelah aku cek, Yos yang baru saja mengirim pesan. Sekarang, setiap kali Yos bertanya tentang tugas akhirku, aku hanya diam. Kalau dulu ketika masih sama-sama jadi mahasiswa aku akan menjawab sejujurnya. Tapi sekarang Yos memiliki posisi yang sama dengan ayah dan bunda. Sebelumnya aku selalu bilang kalau aku akan sidang bulan depan. Dan ketika sudah sampai bulan yang dimaksud aku akan berkata bulan depannya lagi. Lama-lama itu membuatku pusing dan memilih menjawab dengan kata, "secepatnya". Dan akhirnya, pesan dari Yos pun malah tak ku balas.
***
Bisakah orang-orang berhenti bertanya kapan aku akan selesai mengerjakan tugas akhir? Atau, bisakah mereka berhenti bertanya kapan aku wisuda yang akhirnya berujung sarkasme? Tahukah mereka pusing juga membutuhkan waktu untuk sembuh? Maksudku kadang aku memang harus berhenti sebentar bila pusing mengerjakan tugas akhir. Dan parahnya pusing di kepalaku terlalu sering.
Ada saja orang yang mengatakan kalau aku pusing karena masalah psikis, seolah aku ini selemah itu. Dan bila itu terjadi, bagian belakang kepalaku akan serasa di hantam dengan benda panas yang membuat mulutku sulit untuk di kontrol. Padahal katanya aku tidak boleh terlalu banyak mengumpat. Tapi aku juga tak akan mengumpat bila tidak ada orang yang memancingku atau mengumpat duluan.
Seperti kata beberapa tokoh antagonis dalam hidupku yang bila dirangkum akan menjadi seperti ini,
"Kamu, baru tugas akhir saja sudah depresi seperti itu, bagimana besok kalau sudah kerja? Menikah? Punya anak?"
Meski aku tahu itu benar, tapi tetap saja itu semua terdengar sangat-sangat menyebalkan.
"Kenapa sih jadi mahasiswa harus menderita? Itu belum ada apa-apanya. Uang saja tinggal minta. Padahal besok pas kerja bakal lebih menderita. Emang apa sih yang bikin tak selesai juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
Ficción GeneralSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...