Pendadaran Johan benar-benar mampu membuatku membuka mata, sebaja apapun keinginan dan kemampuan kita, kalau tidak diimbangi dengan usaha apalagi doa, maka akan sia-sia belaka.
Akhirnya aku mengirim pesan ke kroni-kroni terbaikku dan mengajak mereka mengerjakan tugas akhir selain di rumah, kosan, kontrakan ataupun PERPUSTAKAAN. Aku dan Gusti akhirnya mengerjakan di internet café dekat rumahku. Tugas akhir yang sempat membuatku mencintai perpustakaan akhirnya kini membuatku membencinya lagi. Terlalu banyak adik angkatan yang juga mengerjakan sesuatu dan selalu bertanya tentang tugas akhir. Itu berhasil menimbulkan suasana disturbing di kepalaku.
Yang unik ketika aku datang ke internet café ini adalah orang-orang yang sama yang menggunakan area wifi di waktu-waktu tertentu. Berkali-kali aku bertemu dengan adik angkatanku atau teman kontrakan Gusti. Menurutku orang-orang yang sebenarnya tidak aku kenalpun menjadi sangat familiar karena seringnya aku melihat mereka di sini. Aku berani bertaruh, kalau aku bertemu dengan mereka atau penjaga internet café di Dubai pun aku akan mengenalinya.
Ternyata itu benar, setengah jam kami di sini, salah satu teman dari program studi lain memanggil kami. Kebetulan dia bersama dengan teman lelakinya. Entah kenapa dia kemudian bertanya pertanyaan yang sangat aneh.
"Hayoo, kalian kok berdua saja di sini?"
Berdua? Yang benar saja! Disini banyak orang begini, masih dibilang berdua.
"Mengerjakan tugas akhir dong, kami kan mahasiswa yang sangat dicintai dosen."
Mereka berdua tertawa. Aku terpaksa merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja karena mereka berdua duduk di sebelah kami. Padahal bila di rumah, aku tak pernah merapikan kertas di meja ketika aku sedang mengerjakan karena sebenarnya itu mengganggu konsentrasiku.
Ternyata temanku itu hanya menunggui "teman lelakinya" mengerjakan tugas akhir karena dia sudah wisuda dari jaman batu. Itu sedikit mengangguku karena duduk mengerjakan tugas akhir bersebelahan dengan adik angkatan yang sudah lulus jauh lebih dulu daripada kita merupakan tantangan sendiri. Dan melihat mereka berdua melemparkan pandangan memuakkan adalah tantangan yang lain. Berkali-kali mereka berdua hamper berpegangan tangan, namun kemudian urung. Apalagi ketika pesanan makanan mereka dating. Lagian, kalau bisa beli dua piring kenapa sok imut pesan satu piring sih? Kan mereanya jadi repot harus menggeser-geser piring bergantian. Kalau saja sampai kuah mie mereka menyetuh kabel laptopku, aku tak akan segan-segan menumpahkan mie itu ke mukanya. Oke aku mulai emosi.
Kulihat Gusti malah senyum-senyum sambil melihat layar laptopnya. Memangnya apa yang dia lakukan? Dasar laki-laki! Maksudku, mungkin saja dia sedang menonton Two and A Half Man di internet.
Ponselku berdering.
"Ya bunda,"
"Kamu jadi pulang pas tunangan Rudi kan Nak?" Tanya bunda dari seberang.
Aku terdiam sesaat. Rudi sebentar lagi menikah dan aku bahkan belum lulus? Padahal dulu siapa yang katanya nasibnya paling tidak jelas? "Iya bunda." Jawabku pada akhirnya
"Bagaimana revisinya? Sudah beres?"
Aku terdiam. Kenapa sih bunda selalu menanyakan revisi setiap kali menelepon? Harus kujawab seperti apa? Belum tentu aku bisa maju bulan ini. Kemarin aku bertemu dosenku dan beliau terlihat kecewa karena aku tak juga menyelesaikan revisi seperti yang beliau harapkan. Awalnya kalau memang kondisinya tak bisa optimal, ya sudah, asal sudah ada perbandingan dengan metode lain dan aku bisa mengambil kesimpulan bahwa metodeku tak cocok untuk tujuan optimasi kasus tersebut. Berikutnya ketika aku hampir tak konsultasi dalam waktu satu bulan, katanya aku bisa kena marah kalau metode yang aku ajukan tidak bisa optimal. Itu tak ada gunanya. Bisa-bisa aku dimarahi habis-habisan ketika pendadaran. Jadi maksud sebenarnya apa? Apa maksudnya seperti apapun pekerjaanku, aku tetap akan kena omel di ruang siding? Duh.
Akhirnya aku hanya menjawab kalau aku sedang mengerjakan revisi yang super banyak. Bunda kemudian menceritakan tentang apa yang dialami oleh Yosa di kantornya. Bunda bilang Yosa salah memberikan laporan keuangan untuk sebuah perusahaan, yang katanya sih akibatnya fatal. Aku tak yakin mana yang lebih fatal, masalah Yos atau isu dunia akan diinvasi oleh zombie? Oke cukup.
Tapi sepertinya masalah Yos memang fatal, seperti ketika dompetmu disita oleh guru dan ketahuan membawa uang banyak padahal kamu punya hutang dua puluh ribu ke temanmu. Seharusnya aku meminta maaf pada Yos karena sudah berprasangka buruk. Tapi aku malas. Aku tahu dia akan bertingkah memuakkan bila aku mengakui kesalahanku kepadanya dengan berkata, "Kan sudah kubilang." Kalau sudah seperti itu dia benar-benar pantas mendapat satu tendangan tsubasa dariku.
"Kemarin tante sudah menjahitkan baju untuk kamu Na. Ukurannya M."
"Kenapa M bunda? Bunda kan tahu semua ukuran bajuku L." bahkan kadang XL untuk baju SD. Tambahku dalam hati.
"Kata tante Mia biar kamu diet."
"Itu tidak mungkin Bunda, aku tidak akan mengerucut menjadi kerdil hanya dalam waktu beberapa hari."
Kudengar bunda menarik napas.
"Ya sudah, pokoknya Tante Mia bilang baju ini harus dipakai. Entah nanti akan kita tambal pakai apa di bagian perutnya."
"Tapi bukan perutku satu-satunya yang besar!"
Orang-orang membuang muka ketika aku sadar mereka memperhatikan dan memelototi balik.
"Oke, yang penting kamu jaga makan mulai dari sekarang dan kita lihat nanti sesampainya kamu di rumah. Sudah ya, bunda mau ikut pengajian."
Aku menggeram, kenapa tiba-tiba bunda bertingkah aneh? Seumur-umur bunda tak pernah sekalipun mengerjaiku seperti itu. Aku tidak gemuk sih, serius! Maksudku, yang benar saja manusia dengan tinggi 165 cm harus memakai baju ukuran M. Apa maksudnya M for Monster? Ah entahlah. Jangan sampai gara-gara baju aku jadi malas mengerjakan tugas akhir dan memilih jogging.
Kulirik Gusti yang masih senyum-senyum seperti tadi. Karena penasaran aku bertanya.
"Kamu kayaknya santai banget sih? Memangnya kamu sudah selesai?"
"Sudah, tinggal finishing-nya saja."
"Tidak mungkin." Sahutku skeptis. Gusti Mengangkat dagunya, bibirnya membentuk cekungan keatas. Matanya lurus-lurus menatap laptop. Dari situ aku tahu dia benar-benar sudah selesai. Cara menampakkan kesombongan mirip sekali dengan Yos.
Aku memegang kepalaku. Bagaimana dia bisa selesai secepat itu? Padahal kemarin baru saja dia bilang kalau harus membuat desain tambahan lagi. Aku tak mau kalah. Apapun yang terjadi aku harus mengirim pesan ke dosen pembimbingku. Itu satu-satunya motivasi sekaligus ketakutan terbesar untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Aku masih saja mengerjakan tugas akhir ketika teman kami akhirnya pindah ke meja lain yang kosong. Mungkin dia merasa tak enak karena berkali-kali aku sengaja menyodok sikunya atau meletakkan kertas-kertas ke "wilayahnya". Ini sudah lebih dari satu jam dan dosen pembimbingku belum membalas pesanku. Setiap kali aku akan mengirim pesan ke dosen pembimbingku dan belum dibalas dalam waktu lebih dari satu jam, rasanya seperti aku sedang berada di pinggir jurang, memakai baju merah sedangkan di depanku ada banteng dengan tanduk sepanjang 30 cm, hampir seperti kijang.
Satu-satunya yang bisa aku harapkan hanyalah banteng itu buta warna. Dan ketika dosenku akhirnya membalas, maka hal yang pertama dilakukan adalah menghapusnya. Karena, it's too thrilling. Terlalu mengerikan bila setiap kali aku membuka aplikasi pesan, yang kulihat adalah nama dosenku berikut jam deadline eksekusi laporan. Ooh, aku benar-benar ingin ini segera berakhir. Secepatnya.
an","7?t*

KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
General FictionSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...