Ada kalanya dimana kita bahkan merasa malu pada orang tua kita sendiri. Bulan ini Yos diangkat menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan konsultan internasional. Jadi dia membawa kami sekeluarga ke sebuah restoran Korea. Yos berkata bahwa dia sengaja memilih tempat ini agar aku tambah semangat. Yos bahkan membelikan bunda sebuah tas yang sangat bagus dan membelikan ayah jam tangan yang mahal. Tak lupa dia juga membelikanku sebuah carrier yang tidak pernah kumiliki sebelumnya.
Yos yang awalnya ikut-ikutan tidak mengijinkanku naik gunung akhirnya luluh juga setelah aku menangis meraung-raung. Awalnya dia bilang bukan berarti kalau setelah membaca buku 5cm, aku boleh naik gunung. Sebenarnya tangisan itu juga bukan karena tidak boleh baik gunung, tapi itu tumpukan emosi dari sejak wisuda Yos, pendadaran Johan, dan tentu saja pertunangan Rudi.
Ayah dan bunda terlihat sangat bahagia menerima hadiah dari Yos. Aku tersenyum kecut. Bukan karena iri, tapi lebih tepatnya karena malu tingkat titan. Tadi pagi bunda memberiku uang bulanan. Bahkan ayah bertanya apakah aku membutuhkan uang lebih. Rasanya malu sekali menerima uang dari bunda dimana teman-temanku bahkan Yos sudah bisa mencari uang sendiri. Sempat tersirat dipikiranku untuk meminjam uang Yos mulai bulan depan sampai bisa menghasilkan uang sendiri.
Tapi kuurungkan niat ketika Yos memberiku uang yang cukup banyak. Dia bilang aku boleh membeli apapun yang kuinginkan dengan uang itu. Seharusnya aku bahagia, tapi entah kenapa rasanya malah seperti baru saja menelan biji alpukat yang membuatku tak bisa bernapas karena menahan tangis meski akhirnya pecah juga.
"Tidak perlu sedih sayang. Masing-masing anak kan punya jalannya sendiri. Pokoknya harus tetap semangat dan percaya diri. Kamu pasti bisa, percaya sama bunda." Bunda menenangkanku. Kami menempati sebuah gubug lesehan kecil segi delapan dengan empat tiang tanpa dinding. Seperti gubug-gubug yang ada di pematang sawah namun dengan kayu berkualitas berukiran mewah dan meja yang lebih bagus. Gubug ini berada di tengah-tengah di samping jalan setapak penuh bunga-bunga tempat lalu lalang pelayan restoran dan juga pengunjung. Wajar bila beberapa pasang mata melempar pandang ke arah kami ketika mendengarku menangis.
"Lebih banyak berdoa. Ayah percaya kalau anak Ayah semuanya punya kelebihan. Jadi tidak usah berkecil hati." Sambung ayah.
Itu benar. Tapi itu tak membuatku merasa lebih baik, apalagi saudaraku sekarang ada di hadapanku dengan kondisi 180 derajat berbeda.
***
Selalu ada tokoh protagonist dan antagonis dalam sebuah film. Terkadang kita merasa sangat membenci tokoh antagonis yang selalu membuat masalah terhadap tokoh utama yang sering diposisikan sebagai tokoh protagonist. Kita selalu menganggap bahwa kita adalah tokoh utama yang protagonis dalam skenario kehidupan yang kita jalani. Sama juga denganku. Sekarang ini aku berpikir bahwa aku sedang menjalani peran sebagai tokoh protagonis yang berjuang untuk menemukan jalannya keluar dari labirin seperti film Harry Potter and The Goblet of Fire (hanya itu film tentang labirin yang aku tahu).
Tanpa sadar terkadang kita menjadi tokoh antagonis dalam kehidupan orang lain. Seperti contohnya, mungkin kita tidak pernah menyangkanya, namun terkadang dalam hati kita mendoakan kegagalan teman kita sendiri dan bersedih karena keberhasilan mereka. Seperti ketika wisuda Yos. Aku akui kalau aku sempat jahat dengan membayangkan sebuah insiden seperti badai matahari paling dahsyat menimpa bumi sehingga kampus harus ditutup sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Aku akui kalau saat itu aku sangat egois karena berpikiran seperti itu. Sampai suatu hari bunda mengatakan sesuatu yang membuatku sadar.
"Kamu tidak bisa selamanya bergantung pada Yosa, Nagisa. Ada saat dimana kamu harus mandiri. Suatu saat Yosa akan punya sebuah keluarga dan kamu juga. Tidak ada salahnya mencoba untuk menghadapi masa depan tanpa bergantung pada siapapun. Masa depan itu memang terdengar belum jelas dan mungkin bagimu sekarang sedikit menakutkan. Tapi disitulah menariknya masa depan. Masa depanmu itu seperti sebuah kertas kosong yang siap kamu hias dengan pena warna-warni sampai membentuk sebuah gambar yang indah."
Aku mengangguk-angguk mendengar kata-kata dari bunda. Meski sampai sekarang aku tak pernah berhenti meneror Yos dengan pesan-pesan acak yang tak ada artinya, tapi kurasa ketergantunganku padanya sudah jauh berkurang. Tentu saja aku sudah tak lagi bergantung padanya untuk masalah kuliah atau ujian sekalipun.
Sebenarnya dulu aku bangga sekali kalau mendapat nilai A tanpa belajar sedangkan Yos yang terlihat lebih banyak belajar A/B. Rasanya seolah aku bisa melakukan apapun tanpa berusaha terlalu keras. Meski aku mendapatkan nilai A dan bisa mengerjakan dengan baik ketika ujian meski hanya belajar ketika akan masuk ruang ujian, aku selalu lupa tentang apa yang telah kupelajari sebelumnya. Ketika ada pelajaran ditingkat lebih lanjut yang memerlukan review dari matakuliah prasyarat, aku hanya akan diam dan lagi-lagi mengandalkan Yos. Meski di akhir ujian aku mendapatkan nilai yang "lumayan", tapi hal itu seperti suatu siklus yang terus berulang. Belajar instan, menyelesaikan ujian, dan menguap.
Sekarang aku bertanya-tanya, apakah aku pantas mendapatkan indeks prestasi sebesar itu tanpa mengingat sedikitpun yang dipelajari. Bagaimana dulu dosenku menilaiku sampai menyatakan bahwa aku pantas mendapatkan nilai A? Dan yang kusadari selanjutnya adalah "A" hanyalah sebuah huruf. Jadi inilah ujian yang sebenarnya untukku. Tanggung jawab, keilmuan, kesabaran, dan kegigihanku diuji saat ini.
Kalau aku ingat masa lalu-kuliahku, sebenarnya aku merasa malu. Tapi masa lalu itu bagaikan sesuatu yang takkan pernah tersentuh oleh perubahan. Sekeras apapun kita mencoba untuk melupakannya, orang lain akan mengingatnya, dan sekeras apapun kita mengingatnya mungkin orang lain justru akan melupakannya. Tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu selain berusaha sebaik mungkin untuk hari ini dan merencanakan yang terbaik untuk masa depan. Termasuk tidak akan pernah mengulangi sikap-sikap kurag ajar seperti itu.
an /:?z'

KAMU SEDANG MEMBACA
Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!
General FictionSeberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup ki...