The Next Step of The Life

14 1 0
                                    

"Kamu tahu Nagisa, Rudi bulan depan sudah mau tunangan lho." Kata bunda beberapa waktu lalu lewat telepon.

"Rudi? Si Rudi Harlan?" tanyaku histeris pura-pura tak tahu. Padahal sebenarnya aku tahu dari jauh-jauh hari.

"Iya." Jawab bunda nyaring, seolah sambil melompat saking senangnya.

"Rudi tetangga kita itu Bunda? Yang suka menginjak-injak tanaman Bunda? Rudi yang dulu selalu membuntuti kami kemanapun?"

Bunda tertawa lepas. "Sebanrnya kamu yang sering membuntuti mereka Nagisa. Tetangga kita dulu berpikir kalau Yos dan Rudi seperti anak kembar."

Rudi adalah tetangga kami yang selalu satu kelas denganku dan Yos sampai kelas 3 SMA. Di kelas berapapun, dia adalah anak paling bandel dan suka menjahati semua orang (bahkan bunda dan ayah), kecuali aku dan Yos. Waktu dulu kelas 1 SMP, beberapa anak suka mengolok-olok aku dan Yos karena kami kembar dan menurut mereka kembar itu aneh. Rudi datang menghampiri mereka dan mengancam mereka. Dia bilang kalau ada yang berani menganggu saudaranya, dia akan membuat mereka menyesal. Rudi bahkan menaruh ulat bulu ke kotak pensil Chika karena dia pernah dengan sengaja mendorongku sampai terjatuh ketika pelajaran olah raga. Meski setelah itu Rudi harus menghormat bendera selama setengah jam. Tapi yang paling mengesankan adalah ketika dia berkata kepada guru bahwa dia tidak akan meminta maaf kepada Chika kalau Chika tidak meminta maaf terlebih dahulu kepadaku.

"Bunda saja kaget sekaligus senang. Anak-anak Bunda sekarang dewasa. Rudi saja mau menikah. Katanya dulu mereka ketemu di Australia pas Rudi pertukaran pelajar di sana."

Aku jelas tahu. Rudi berkali-kali meneleponku sebelum dia memutuskan untuk bertunangan.

Nikah? Jodoh? Entah kenapa bulu kudukku merinding mendengar itu. Kenapa sepertinya kata-kata itu seolah belum jadi kata-kata baku di kamusku. Seolah aku harus naik Gunung Everest dan membenamkan kepalaku di salju untuk mengesahkannya. Dulu aku pernah bertanya pada Yos,

"Bagaimana kita tahu kalau kita menikah dengan jodoh kita?"

"Semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Suatu saat kamu akan bertemu dengan orang yang kamu inginkan dan menginginkanmu, yang kamu cintai dan mencintaimu dan kamu tahu kalau dia adalah orang yang tepat untukmu."

"Mungkin saat itu kamu merasa bahwa semua itu adalah kebetulan, tapi bila kamu runtut lagi perjalananmu, kamu akan tahu kalau semua itu sebenarnya memang sudah seperti itu jalannya." Ujar Yos. Setidaknya menurutku itu bijak, sampai aku berhasil menemukan definisi "jodoh" yang sebenarnya.

Rudi pernah memprotesku bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan the next step of the life itu adalah menikah, bukan lulus strata satu seperti yang aku pahami selama ini. Karena ketika menikah, kehidupan seseorang akan berubah.

Aku bingung, apa jangan-jangan the next step of the life itu memiliki definisi yang berbeda-beda bagi setiap orang bergantung tujuan hidup masing-masing. Menurutku, Edo dan Gusti the next step of the life itu adalah lulus strata satu lalu melanjutkan ke jenjang berikutnya, baik kuliah lagi, kerja jadi karyawan, atau jadi bos. Intinya, bagi kami, dunia ini akan benar-benar berputar kalau kami sudah memakai toga, memegang ijazah dan berfoto di studio bersama keluarga. Harapan kami tentang the next step of the life sebenarnya sesederhana itu.

***

Aku sedang ada di kota kelahiranku sekarang. Ketika di rumah aku benar-benar tak mau memikirkan tugas akhir dan ingin hibernasi saja. Tapi kebetulan Yos juga sedang libur hari ini, jadi Rudi mengajak kami makan siang di sebuah restoran taman tak jauh dari rumah orang tua kami.

Sepanjang perjalanan, Rudi banyak bercerita tentang bagaimana dia bertemu dengan Laudya dan bagaimana akhirnya mereka memutuskan untuk bertunangan. Kami saling bergantian menanggapi. Tak terasa kami bertiga memang sudah dewasa sekarang. Aku masih ingat bagaimana dulu nakalnya Rudi.

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang