The Runaway

7 1 0
                                    

Ponselku berbunyi. Kulihat ada pesan masuk dari Dira. Partner in crime-ku jaman-jaman masih suka bolos kuliah.

Dira : Na, apa kabar nih? tak pernah kelihatan?

Sudah pindah ke ruang angkasa? Berteman dengan alien?

Sudah pendadaran belum sih?

Aku memang senang Dira menghubungiku. Tapi ketika dia menanyakan pendadaran, semua kebahagiaanku seolah tersedot ke dalam lubang hitam yang besar. Aku benci sekali ditanya masalah tugas akhir apalagi pendadaran oleh orang yang bahkan jarang kutemui.

Dira : Grup asisten masih aktif? Minta adminnya invite aku dong Na.

Grup asisten? Dia bertanya tentang forum asisten laboratorium yang ada di salah satu aplikasi smartphone? Aku memang tergabung dalam grup tersebut, tapi aku tak pernah benar-benar membacanya. Salah satu yang membuat penantianku semakin berat adalah karena dulu aku pernah menjadi asisten laboratorium paling mentereng di program studi selama hampir dua tahun. Dan image yang melekat bahwa asisten laboratorium itu adalah mahasiswa rajin dan pintar terpatahkan olehku yang sudah lebih dari lima tahun belum pendadaran juga.

Jadi ini rasanya lari dari komunitas? Feeling challanged? Tidak. Sangat tidak.

Ketika kita terpuruk, kita memiliki kecenderungan untuk lari dari komunitas. Kalau bukan kita, mungkin hanya aku. Tidak membalas pesan yang dikirimkan teman melalui media apapun adalah salah satu contohnya. Dan itu yang sedang terjadi padaku sekarang.

Ketika kemarin pulang, aku benar-benar hanya mengunci diriku di kamar (selain pergi dengan Rudi dan keluargaku), bahkan ketika saudaraku datang aku hanya menyalaminya dan memilih merenung di kamar. Rasanya seperti menelan segumpal kapas yang membuatku tersedak dan tak bisa bernapas ketika orang-orang membanggakan pencapaian mereka di the next step of the life. Ketika aku mengadu pada bunda, bunda hanya berkata kalau pembicaraan seperti itu justru bagus untuk memotivasiku.

Itu benar, tapi kembali lagi, apa yang protagonis menurut orang lain bisa berubah menjadi antagonis bagi kita. Karena dalam kehidupan kita masing-masing, kitalah pemeran utamanya. Karena terkadang mendengarkan orang lain membicarakan kehebatan orang lainnya sama seperti ada orang yang memaksa memberi gula di atas mie goreng yang aku pesan dan memaksaku untuk memakannya. Memuakkan.

Gusti juga sempat tidak membalas beberapa pesan yang kukirim. Padahal sebenarnya dialah satu-satunya pelarian dari komunitas yang sama denganku. Mestinya kami bisa sharing dan membentuk komunitas sendiri. Komunitas pelarian.

Sabtu besok giliran Johan yang wisuda. Aku mengirim beberapa pesan ke Gusti sejak hari Rabu yang intinya mengajaknya datang ke "pesta" kelulusan sahabat kami itu. Pesan pertama tidak dibalas, sampai akhirnya aku putus asa setelah mengirim pesan untuk yang ketiga kalinya dengan interval waktu 1 jam untuk masing-masing pesan. Hampir saja aku menyumpahinya dan berjanji untuk tidak pernah menemuinya lagi sampai malam ini, dia akhirnya membalas pesanku. Mungkin sebenarnya pesannya cukup lucu karena dia menyertakan kata autis di dalamnya dimana definisi autis itu sendiri tidak bisa dikatakan main-main.

Kenapa orang sering menggunakan suatu ungkapan serius untuk hal-hal yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan definisi aslinya?

Gusti :Nagisaaaaaa... maafkan diriku yang sedang autis ini. Aku pusing banget. Aku akhirnya pendadaran bulan depan. Ayo kita datang ke wisuda Johan.

Pertama, autis itu bukan musiman dan itu bukan kata-kata yang seenaknya bisa dipakai untuk mengkonotasikan sesuatu. Kedua, pendadaran bulan depan? Bukannya dulu dia bilang mau mengumpulkan berkas untuk bulan ini? Dia juga bilang sudah selesai. Kenapa malah bulan depan?

Setelah beberapa pesan, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke upacara wisuda Johan tepat diwaktu para wisudawan keluar dari auditorium. Rancananya sih kami akan langsung menarik Johan dari kerumunan dan mengajaknya berfoto dan setelah itu kami pun pulang.

Itulah salah satu ciri orang yang lari dari komunitas berikutnya. Aku juga menyeret Edo yang entah kenapa mau padahal sebenarnya dia mungkin tidak ingin datang ke wisudaan karena reputasinya sebagai ketua organizing committee acara paling spektakuler di kampus, atau bahasa gampangnya ospek, membuatnya dikenal banyak sekali adik angkatan. Mungkin malu adalah salah satu pekerjaan borongan karena aku tidak mau malu sendirian.

***

Karena besok kami berencana untuk datang sangat tepat waktu, kuputuskan untuk membeli bunga malam ini. Aku bersepeda ke kios-kios bunga yang agak jauh dari rumah dan memilih sendiri bunga untuk Johan, bukan membeli paket yang sudah ada agar bunga yang didapat Johan tak terlalu mainstream. Yang benar saja, masak aku membeli bunga yang seragam untuk sahabatku itu? Dia kan wisuda S1 cuma sekali.

Sesampainya di rumah aku baru menyadari sesuatu ketika memandangi buket itu. Pita buket itu berwarna pink, bahkan mawar-mawarnya juga berwarna pink. Intinya buket itu didominasi oleh warna pink. Itu seolah-olah aku membeli buket untukku sendiri! Semoga saja Johan tidak menyadarinya.

Lagi-lagi aku menangis. Ini sebenarnya terlalu cengeng. Menangis hanya karena sahabatnya wisuda? Sepertinya tak pernah ada cerita seperti itu di masa lalu orang sukses. Tapi tetap saja, aku ingin berbicara pada orang, bukan pada tembok yang kuteriaki setiap hari. Sialnya, nomor bunda, ayah, atau bahkan Yos sedang sibuk! Mana Gusti juga mengatur call divert di ponselnya.

"Iya Na, ada apa?"

Aku hanya bisa menelan ludah mendengar Edo menjawab telepon dengan sangat santai. Rasanya malu sekali untuk bercerita. Aku hanya berpura-pura bertanya tentang apakah besok dia jadi datang ke wisuda atau tidak. Akhirnya akupun menyadari kalau menangis itu juga bukan perkerjaan borongan.

Dulu Yos, sekarang Johan, dua minggu lagi pendadaran Edo, dan kemudian pendadaran Gusti. Ini menyedihkan. Entah aku harus melompat dari gedung mana agar penat di kepala ini hilang.

Nagisa's Story: Don't Curse at Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang